Negeri Sejuta Pengamat
Oleh: Temu Sutrisno
MERCUSUAR-Tahun
1938 Hindia Belanda lolos ke putaran final piala dunia. Setelah koloni Belanda
lenyap dari nusantara dan berdiri Negara Indonesia, piala dunia hanya
meninggalkan pengamat dan komentator bagi banyak orang di Indonesia. Timnas
tidak pernah lolos putaran final piala dunia.
Nyaris
350 juta penduduk Indonesia sangat fasih mengomentari, dan bahkan mengritik
jalannya pertandingan sepak bola. Apakah mereka semuanya bisa bermain bola?
Tidak! Lebih mudah mengomentari dan mengritik daripada main bola.
Kini
dengan perkembangan teknologi informasi, komentar dan kritik bisa ditayangkan,
bisa dirilis di media apa saja. Bukan hanya platform media cetak, elektronik,
dan online semata, namun juga media sosial.
Komentar
dan kritik bukan saja muncul dari dunia olahraga. Dalam kehidupan sosial
politik dan pemerintahan, jutaan orang di Indonesia menasbihkan diri sebagai
pengamat dan komentator. Ada yang sadar, menempatkan amatan dan komentar
sebagai profesi, ada juga (lebih banyak) yang sekadar komentar dan kritik.
Pokoknya asal beda, komentari dan kritik.
Apakah
mereka benar-benar paham dengan kondisi sosial, politik, dan pemerintahan? Setali
tiga uang dengan pengamat bola, yang belum tentu lihai bermain bola, komentator
dan kritikus sosial, politik, dan pemerintahan juga belum pasti semua paham
kondisi yang ada.
Satu
fakta diamati, dikomentari beramai-ramai, dan kerapkali juga dibumbui dengan
pelbagai kritik.Satu fakta melahirkan jutaan perspektif sesuai persepsi
masing-masing. Orang tidak lagi berpedoman pada keahlian untuk mengomentari dan
mengritik sesuatu. Mereka tidak sadar, selalu merasa lebih baik dari yang
dikomentari atau bahkan dikritik. Jika hanya sekadar merasa lebih baik dari
orang lain, itulah sifat kibir.
Mengomentari sesuatu dan mengritik sepertinya menjadi budaya
baru. Dari ruang privat rumah tangga, hingga area publik seperti kaki lima,
warung kopi, kantor tempat kerja sangat mudah ditemukan orang mebicarakan,
mengomentari, dan mengritik sesuatu. Malah dalam perkembangannya, orang
terjebak pada komentar atas komentar. Komentar dikomentari, walhasil substansi
awal yang dikomentari jadi bias. Waktu berlalu, habis hanya untuk mengomentari
dan mengritik sesuatu. Tidak keliru kiranya, jika ada yang menyebut negeri ini,
Negeri Sejuta Pengamat. Negeri para komentator dan kritikus hidup nyaman.
Bahkan dalam hal tertentu pengamat, komentator, dan kritikus jadi profesi yang
menjanjikan.
Mengekspresikan pendapat sejatinya bukan sekadar
gagah-gagahan, bukan asal beda, bukan juga untuk sekadar curah pemikiran, atau
mengisi waktu luang dengan memainkan jari-jari berselancar di media sosial.
Core value pendapat, dalam pendekatan orang beragama
mestinya dimaksudkan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).***
Komentar
Posting Komentar