Mewaspadai Munculnya Pasal yang Melemahkan Pers

Oleh: Temu Sutrisno

DISKUSI PERADI-Bersama Dr. Surahman, Dr. Jubair, dan Ishak P. Adam, SH.,MH 
membedah RKUHP. FOTO: HAIRULLAH

PRESIDEN Joko Widodo diharapkan menunda pemberlakukan RKUHP. Banyak pihak mengkritisi berbagai norma yang diatur dalam RUU tersebut. Ada beberapa pasal dalam RKUHP dinilai berpotensi sebagai pasal karet. DPR dan Pemerintah berupaya mengesahkannya menjadi UU pada 24 September 2019 ini.

Sejatinya, upaya melakukan pembaharuan KUHP tinggalan belanda telah berjalan lebih setengah abad. Gagasan menggulingkan KUHP peninggalan penjajah Belanda dimulai pada tahun 1963. Hal itu terlontar dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang salah satunya membahas RKUHP. Alhasil, perdebatan RKUHP menjadi perdebatan lintas generasi, pemerintahan dan politik.

Diskursus RKUHP telah melintasi 7 Presiden, yaitu Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, Presiden SBY, dan Presiden Jokowi.

Di DPR, perdebatan RUU KUHP juga telah melintasi 13 kali periode. Dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) 26 Jun 1960 - 15 Nov 1965,  hingga DPR periode 1 Okt 2014 - 1 Okt 2019.

Perdebatan penting tidaknya juga telah melampui 19 Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM), yaitu Sahardjo, Wirjono Prodjodikoro, Astrawinata, Oemar Seno Adji, Mochtar Kusumaatmadja, Mudjono, Ali Said, Ismail Saleh, Oetojo Oesman, Muladi, Yusril Ihza Mahendra, Baharuddin Lopa, Marsilam Simanjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaluddin, Andi Mattalata, Patrialis Akbar, Amir Syamsuddin, dan kini Yasonna Laolly.


RUU KUHP DAN PASAL ‘BERMASALAH’
Ada beberapa pasal dalam RKUHP yang oleh sebagian besar masyarakat dinilai berpotensi sebagai pasal karet. Pasal-pasal itu dinilai ‘bermasalah’ dan berpotensi mengancam beberapa provesi, diantaranya pers dan advokat.

Pasal-pasal yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers diantaranya Pasal 309. Pasal tersebut mengatur tentang pemidanaan terhadap pelaku yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat. Termasuk apabila hal tersebut patut diduga bohong.

Sedangkan Pasal 310, mengatur tentang pemidanaan pelaku yang menyiarkan berita tidak pasti, berlebihan atau tidak lengkap juga dibatasi, termasuk apabila hal tersebut patut diduga dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat.
Pasal 771, mengatur tentang pembatasan seseorang menerbitkan hal yang sifatnya dapat dipidana karena disuruh oleh orang yang tidak diketahui, atau karena disuruh oleh orang yang diketahui atau patut diduga bahwa orang tersebut tidak dapat dituntut atau menetap di luar negeri.

Pasal 772, mengatur pembatasan seseorang untuk mencetak tulisan atau gambar atas ketentuan suruhan orang yang sama dengan pasal sebelumnya. 

Pasal 773 menjelaskan bahwa pasal 771 dan 772 tergantung dari sifat tulisan atau gambar yang diterbitkan atau dicetak. Apabila tulisan dan gambar itu dikategorikan delik aduan, maka penerbit dan pencetak dapat dituntut berdasarkan aduan. Namun apabila tulisan dan gambar dikategorikan sebagai delik umum, maka penerbit dan pencetak dapat dituntut tanpa perlu ada aduan.

Pasal 328 dan 329, mengatur tentang pembatasan ekspresi yang dapat mempengaruhi hakim dalam memimpin persidangan. Artinya, segala ekspresi yang dinilai dapat mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara berpotensi dipidana.

Sebanyak sembilan pasal di RKUHP mengatur tentang pemidanaan kepada seseorang yang bukan wewenangnya membocorkan informasi mengenai pertahanan negara, rahasia negara dan kepentingan negara. Sembilan pasal yang dimaksud, yakni Pasal 228, 229, 230, 234, 235, 236, 237, 238 dan 239.

Pada Bab VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, Draft pada Bagian kesatu tentang  Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan, Pasal 281, tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) diancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Adapun tindakan-tindakan yang termasuk dalam delik contempt of court antara lain ditujukan bagi setiap orang yang, a) Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; b) Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau c) Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.


UU PERS DINTERUSPI UU LAIN
Sebenarnya bukan hanya RKUHP yang berpotensi mengancam kehidupan pers. UU Pers sebagai panduan pers Indonesia juga telah ‘diinterupsi’ UU lain, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) danUndang-Undang Sistim Peradilan Pidana Anak (UUSPPA).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA)sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyebut wartawan bisa dipidana jika melanggar ketentuan Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 59, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ancaman pidana tersebut berkaitan dengan perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Sanksi pidana tersebut diatur dalam Pasal 78 UU PA.

Pemberitaan dengan penyebutan identitas anak yang berhadapan dengan hukum juga melanggar Pasal 19 ayat (1)Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Penyebutan identitas anak diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 97.

Untuk menjawab interupsi tersebut, Bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2019, Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/PERATURAN-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). Pedoman tersebut disusun dengan tujuan untuk menjamin hak-hak dan masa depan anak. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk melindungi wartawan dari pidana terkait hak-hak anak.

PPRA sebagai panduan teknis pemberitaan, berupaya mengakomodir beberapa perbedaan norma yang diatur dalam KUHP, UU PA, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Undang-Undang Administrasi Kependudukan, dan Kode Etik Jurnalistik. Perbedaan tersebut adalah dalam hal pengaturan usia anak. KUHP menetapkan batasan usia anak 16 tahun, Kode Etik Jurnalistik (16 tahun), Undang-Undang Perlindungan Anak (18 tahun), UU SPPA (18 tahun), dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (17 tahun). PPRA secara implisit menggunakan batasan usia anak 18 tahun, sebagaimana diatur dalam Poin 12, bahwa dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

PPRA menurut pandangan penulis, tidak menegasikan atau menggugurkan Kode Etik Jurnalistik, namun menguatkan. Terkait pemberitaan anak, Kode Etik Jurnalistik mengatur pada Poin 5, bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Terkait hal yang sama, PPRA mengatur lebih terperinci bukan hanya identitas korban dan pelaku, namun juga hal-hal lain yang berkaitan dengan anak sebagai korban, saksi, dan/atau pelaku pelanggaran hukum. Identitas Anak yang dilindungi adalah semua data dan informasi yang menyangkut anak yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, nama saudara kandung, orangtua, paman/bibi, kakek/nenek, dan keterangan pendukung seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan yang diikuti, dan benda-benda khusus yang mencirikan sang anak.

Semangat pembentukan/pembaruan hukum yang terlepas dari sejarah kolonialisme patut diapresiasi. Namun demikian, semangat ini harus dibarengi dengan penyusunan norma yang jauh dari nilai-nilai kolonialisme atau tidak boleh lebih kolonialis dari pada kolonialis itu sendiri.

DPR RI dan pemerintah harus mendengar masukan dari seluruh masyarakat dalam penyusunan RUU KUHP, sebelum ditetapkan sebagai sebuah UU. Harapannya KUHP yang baru benar-benar lahir dari jiwa Indonesia dan mempertimbangkan nilai-nilai filosofis, historis, sosiologis bangsa Indonesia, sehingga norma yang disusun benar-benar mencerminkan kepribadian bangsa. ***


Disampaikan dalam diskusi PERADI Cabang Palu, 14 September 2019



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu