Tonakodi-(kita belum) Merdeka




Oleh: Temu Sutrisno


MERCUSUAR-Bung Karno pernah berkata bahwa perjuangan merebut kemerdekaan amat berat. Namun memepertahankan dan mengisi kemerdekan jauh lebih berat. Perjuangan merebut kemerdekaan jelas musuhnya penjajah, sedangkan mengisi kemerdekaan menghadapi bangsa sendiri.
Pertanyaan mendasar bagi seluruh putra-putri republik ini, apakah bangsa Indonesia benar-benar telah merdeka?
Merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya. Medeka juga diartikan berdiri sendiri, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Mengacu pada pengertian kemerdekaan pertama di atas, mudah setiap orang memahami bahwa secara fisik Indonesia sudah terlepas dari penjajahan bangsa asing. Tidak ada lagi militer luar menduduki Indonesia. Tidak ada lagi yang menyiksa, dalam berbagai bentuk seperti yang dilakukan Belanda dan Jepang pada penduduk nusantara era 1590-an hingga 1945.
Jika merujuk pada pengertian kedua, rasa-rasanya Indonesia benar-benar belum merdeka. Kita masih merasakan aroma penjajahan. Ambil contoh, sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia masih terbelenggu dengan sistem hukum Belanda. Berulang kali upaya untuk melakukan pembaharuan hukum pidana, tak kunjung menemui hasil. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tinggalan Belanda masih berlaku hingga kini.
Sisi ekonomi juga tak jauh berbeda. Cita-cita menyejahterakan segenap tumpah darah Indonesia dengan sistem ekonomi gotong royong, kekeluargaan yang digelorakan Bung Hatta tak kunjung terwujud. Kebijakan ekonomi masih merujuk pada Kapitalisme. Akibatnya kemiskinan masih menjadi ‘penyakit endemik’ rakyat Indonesia. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin cukup menganga.
Baik buruknya ekonomi bangsa kita masih ditentukan dan tergantung pada bangsa lain. Persoalan fundamental ekonomi semisal ketahanan pangan, menjadi barang mahal. Indonesia sejauh ini menjadi salah satu negara agraris yang doyan impor bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahkan sebagai negara dengan garis pantai terpanjang, negeri ini juga harus mengimpor garam dari negara lain. Jika penjajahan Belanda mengeruk kekayaan Indonesia melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kini sumberdaya alam Indonesia banyak dikelola perusahaan-perusahaan asing melalui bendera transnational corporations (TNC) dan multinational corporations (MNC).
Setali tiga uang dengan ekonomi dan hukum, sistem politik negeri ini secara perlahan mengarah pada politik liberal. Demokrasi secara langsung dimaknai sebagai kebebasan individu tanpa batas. Euforia kebebasan kian membuncah dengan sikap tidak saling menghormati, mudah memaki, dan berbagai ujaran kebencian yang menggiring pada pembelahan kelompok masyarakat. Semangat kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, persatuan dalam keberagaman menipis tergusur makna semu demokrasi.
Tidak sebagaimana politik nasional, politik daerah sebagian mengarah pada sistem sebagaimana jaman kerajaan. Pejabat di daerah, banyak yang berupaya membangun politik dinasti. Suami, istri, anak, mertua, paman, kemenakan, ipar dan keluarga dekat ramai-ramai terjun ke dunia politik untuk menguasai berbagai jabatan. Suami kepala daerah, istri anggota legislatif, anak birokrasi atau sebaliknya. Perilaku seperti ini terlihat lumrah saat ini. Demokrasi rasa aristokrasi.
Benar yang dikatakan Bung Karno, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan termat berat. Anak bangsa diperhadapkan dengan anak bangsa lainnya. Korupsi, pembunuhan, penganiyaan, pemerkosaan, pencabulan, dan kriminalitas menjadi tontonan rakyat negeri.
Pada sisi lain, perbedaan pendapat kerapkali menperhadapkan kekuasaan dengan rakyat pemilik kedaulatan. Pada akhirnya, bukan hanya rakyat berhadapan dengan rakyat, tapi juga rakyat berhadapan dengan penguasa.
Tujuan kemerdekaan dan pendirian Negara sebagaimana Pembukaan UUD NRI 1945, “Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, entah kapan akan mewujud. Tujuan ini bukan tujuan utopis yang tidak bisa dicapai, tapi karena memang hari ini kita baru berhenti pada merdeka sebagai deklarasi, belum merdeka secara substansi. ***


Tana Kaili, 15 Agustus 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu