Tonakodi-Nasib Laporan Gubernur
Oleh:
Temu Sutrisno
MERCUSUAR-Dua bulan lalu, tepatnya 20 Mei 2019 Gubernur
Sulteng Longki Djanggola melaporkan YB ke Polda Sulawesi Tengah. Ia melaporkan
anggota DPRD Sulawesi Tengah itu karena diduga ikut menyebarkan berita yang
tidak benar di media sosial.
Selain YB, Longki juga melaporkan dua orang lainnya, yaitu
DQ dan MH. Keduanya juga diduga ikut menyebarkan berita bohong itu ke media
sosial.
Longki mengadu ke polisi akibat tersebarnya berita bohong di
media sosial. Berita head line halaman pertama Mercusuar terbitan Jumat, 9
November 2018, judul dan fotonya diganti. Foto berita diganti dengan foto
Longki Djanggola. Kemudian judul beritanya pun diganti bernada provokatif.
Judulnya, Longki Djanggola Membiayai Aksi People Power di Sulteng. Foto dan
judul berita itu seolah-olah diterbitkan Harian Mercusuar.
Polisi telah memerika pelapor dan ketiga terlapor. Namun
hingga kini, kasus itu tidak menemui titik terang. Penyidik seperti kehilangan
taji, tidak seperti kasus yang melibatkan beberapa pelaku berita bohong.
Pada beberapa kasus serupa, polisi langsung menangkap dan
memproses terlapor atau terduga pemproduksi dan penyebat berita bohong. Publik
masih ingat kasus Ratna Sarumpaet dan Rahman Ijal. Ratna yang mengaku dianiaya
orang langsung ditangkap dan diproses hokum. Demikian halnya dengan Rahman Ijal
warga Sulteng, yang memuat informasi tidak benar di media sosiai, aksi buruh
Morowali, langsung diseret ke sel.
Lambannya penanganan kasus yang dilaporkan Gubernur,
sepertinya tidak sejalan dengan pernyataan Kapolda Sulteng Brigjen Pol. Drs. Lukman Wahyu Hariyanto,
M.Si saat berkunjung ke Mercusuar, diawal tugasnya. Kapolda menegaskan akan
menindak tegas dan tidak berlama-lama menangani kasus gangguan keamanan di Poso
dan sekitarnya, berita hoax, dan tindak kriminal umum lainnya pasabencana,
seperti penjambretan yang kembali marak.
Sikap lamban penyidik Polda, bisa jadi berdampak buruk pada
penilaian masyarakat. Jika laporan gubernur saja lamban, bagaimana dengan
laporan masyarakat umum?
Sepertinya penyidik harus belajar pada penegakkan hukum yang
diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Rasul mengajarkan agar tidak membedakan
orang dalam penegakkan hukum, meskipun yang bersangkutan memiliki hubungan
darah sekalipun.
Dikisahkan, seorang wanita Bani Mahzum, salah satu kelompok
yang sangat terpandang dari etnis Quraisy, kedapatan mencuri. Untuk menutupi
aib dan rasa malu, para pemuka Bani Mahzum meminta tolong Usamah yang tergolong
dekat dengan Nabi Muhammad SAW agar melakukan pendekatan dan lobi kepada Rasul.
Ternyata, Usamah gagal total. Usahanya sia-sia belaka. Rasul
langsung memberi peringatan kepadanya. "Apakah kamu mau menyuap soal hukum
dari ketentuan Allah?" tegurnya.
Dalam kesempatan itu pula, Rasulullah SAW langsung naik ke
atas mimbar dan memberikan peringatan. "Inilah kebiasaan buruk yang telah
menghancurkan umat-umat terdahulu. Mereka binasa (diazab oleh Allah) karena
mereka tidak berani menghukum orang-orang terpandang dari kalangan mereka.
Sebaliknya, mereka menghukum berat orang-orang kecil. Kalau Fatimah, putriku,
mencuri, pastilah aku potong tangannya." (HR Bukhari dan Muslim dari
Aisyah).
Dari bumi Nusantara, kisah kejujuran dan penegakkan hukum
juga dipraktikkan Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga.
Ratu Shima dikenal memiliki peraturan yang tegas soal
pencurian. Hukum potong tangan diterapkan bagi siapa saja yang mencuri barang
milik orang lain. Hukum yang dibuat itupun berlaku untuk seluruh rakyat
termasuk keluarga kerajaan. Sebuah bentuk persamaan hak di mata hukum.
Ratu Shima mendidik dan mengajari rakyatnya agar selalu berlaku
jujur. Konon, ada seorang raja sahabat
sengaja datang ke Kalingga. Sekantung emas lalu dia letakan di persimpangan
jalan dekat pasar, untuk menguji kejujuran rakyat Kalingga.
Tak seorang pun rakyat Kalingga berani menyentuh, apalagi
mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian, kantung itu
disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum
menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Namun dewan menteri memohon agar Ratu
Shima mengampuni kesalahan putranya. Maka sang pangeran dijatuhi hukuman
dipotong kakinya.
Dua kisah inspirastif bagi masyarakat dan penegak hukum.
Akankah kasus yang dilaporkan gubernur lanjut ke meja hijau, atau berhenti
karena kurang alat bukti? Penyidik dan Polda Sulteng harus membuka secara
transparan, agar tidak ada syak wasangka dan isu di masyarakat berkembang liar.
***
Tana
Kaili, 4 Juli 2019
Komentar
Posting Komentar