Tonakodi-Nilai Spiritual Tradisi Lebaran
Oleh: Temu Sutrisno
Jumat (7/5/2019), di sebuah masjid seorang khatib mengkritik
kebiasaan mudik yang dilakukan banyak orang, menjelang Idul Fitri tiba. Mudik,
kue (makanan), cat rumah, pakaian baru, dan sebagainya merupakan tradisi
lebaran. Tidak ada dalam ajaran Islam lebaran, yang ada Idul Fitri. Sementara Idul Fitri menurut
Sang Khatib, puncak kemenangan orang beriman yang berhasil melakukan puasa
Ramadan. Orang yang berhasil puasanya, adalah orang yang mampu menjaga dirinya
dari serangan hawa nafsu selama bulan-bulan pasca Idul Fitri.
Menurut saya, apa yang disampaikan khatib tidak salah. Namun
melihat mudik hanya sebatas tradisi, tanpa nilai religi, tanpa ada nilai
spiritual juga kurang tepat.
Dalam konsep tauhid Islam (pemahaman) khas orang Jawa dikenal istilah
sangkan paraning dumadi. Konsep ini berkaitan dengan kesatuan asal dan tujuan
dari penciptaan manusia dan alam semesta yang hulu dan muaranya adalah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sangkan paraning dumadi menjelaskan bahwa semuanya berasal dari adi kodrati
yaitu Tuhan. Dalam pemahaman orang Jawa, sangkan paran dumadi sebagaimana
diajarkan Sunan Kalijaga dalam Serat Kawedar, terkait dengan asal alam semesta,
tujuan manusia, dan pencipatan manusia.
Dalam bahasa Jawa, sangkan berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan
dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta. Dengan begitu bahwa yang dimaksud sangkan
paraning dumadi adalah pengetahuan
tentang dari mana manusia berasal dan akan kemana ia akan kembali.
Kenapa Mudik? dari kaca mata sosiologis , karena di kampung halaman
mereka memiliki sanak saudara dan orang tua yang ingin dikunjungi. Mudik
bermakna membangun kembali rasa guyub-silaturahim dengan sesama. Pemudik
bersilaturahim kepada yang masih hidup, dan berziarah kepada yang telah
meninggal dunia. Mengingat dan kembali ke kampung halaman adalah tingkatan
awal sangkan paraning dumadi. Pada tingkatan ini, manusia harus mengenal asal
usulnya, siapa orangtua, saudara, kerabat, moyangnya, dan kampung halamannya.
Dari kacamata keagamaan, mudik merupakan syiar nilai
silaturahim yang diajarkan Islam. Rasulullah SAW bersabda, orang yang
bersilaturahim akan mendapat keluasan rejeki dan dipanjangkan umur. Meminjam
pernyataan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir, jika budaya
silaturahim mati, kehidupan sosial akan kering dan tidak manusiawi.
Bagi mereka yang masih memiliki orang tua, mudik bagaikan kerinduan seruling pada pokok bambu. Semangat Mudik bagai debur ombak mengejar bibir pantai. Kenapa? dengan Mudik, mereka berharap bisa bertemu orang tua, sungkem, mencium tangan, merasakan kehangatan pelukan dan kasih sayangnya. Lebih dari itu, pemudik berharap doa restu dan ridha kedua orang tua. Bukankah ridha rang tua adalah ridha Yang Maha Kuasa?
Rasulullah SAW bersabda,"Ridha Allah tergantung ridha orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua". (HR. At-Tirmidzi, Al hakim, Ath-Thabarani).
Bagi mereka yang masih memiliki orang tua, mudik bagaikan kerinduan seruling pada pokok bambu. Semangat Mudik bagai debur ombak mengejar bibir pantai. Kenapa? dengan Mudik, mereka berharap bisa bertemu orang tua, sungkem, mencium tangan, merasakan kehangatan pelukan dan kasih sayangnya. Lebih dari itu, pemudik berharap doa restu dan ridha kedua orang tua. Bukankah ridha rang tua adalah ridha Yang Maha Kuasa?
Rasulullah SAW bersabda,"Ridha Allah tergantung ridha orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua". (HR. At-Tirmidzi, Al hakim, Ath-Thabarani).
Dalam pendekatan spiritual, mudik setiap tahun sebagai
sebuah ilustrasi yang pada akhirnya manusia akan pulang ke asalnya, yaitu Tuhan
Yang Maha Kuasa. Sangkan paraning dumadi, menyadarkan manusia bahwa, “wong urip
iku bakale nemoni mati” (Orang hidup itu akan menemui kematian).
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian
hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (Al ‘Ankabuut: 57).
“Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu
dikembalikan” (Al Anbiyaa’: 35).
Pada tingkatan ini, manusia dituntut dan harus memiliki kesadaran, bukan saja
tahu akan kembali pada Tuhan, tapi juga tahu cara dan jalan pulang kepada
Tuhan.
Selanjutnya soal makanan saat lebaran. Benar, bahwa Idul
Fitri juga identik dengan makanan. Salah satu makanan yang paling popular
adalah ketupat. Ketupat bagi masyarakat Jawa sebagaimana dakwah Sunan Kalijaga,
dimaknai secara filosofis dengan Laku Papat (empat tindakan), yakni Lebaran,
Leburan, Luberan, dan Laburan. Pertama, Lebaran berarti akhir puasa Ramadan dan
bersiap menyongsong hari kemenangan. Kemenangan apa? Kemenangan terhadap diri sendiri mengendalikan hawa nafsu selama Ramadan.
Kedua, Luberan berarti meluber (melimpah). Masyarakat Jawa
muslim diajarkan untuk berbagi atas kelebihan rejeki (harta) pada sesama,
khususnya sanak saudara fakir miskin. Mudik, biasanya juga dibarengi tradisi
membagi rejeki ke sanak saudara di kampung, setelah sebelumnya bekerja keras
dan mengumpulkan pundi rejeki di kota atau kampung orang.
Ketiga, Leburan. Leburan dimaknai sebagai sikap saling
mengakui kesalahan dan melebur dosa dengan saling maaf-memaafkan. Keempat,
Laburan. Laburan inilah yang selanjutnya menjadi tradisi mengecat rumah atau
secara umum bersih-bersih rumah menjelang Idul Fitri. Pada masa lalu saat cat
belum populer atau (mungkin) belum ada. Masyarakat menggunakan kapur untuk
melabur (mengecat) rumah. Kapur yang putih mampu menutupi noda pada dinding
rumah yang dilabur. Laburan dimaknai, bahwa hati seorang muslim harus kembali
jernih putih seputih kapur dan suci usai puasa Ramadan, saling maaf-memaafkan
dan memohon ampunan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jika mudik, cat rumah, dan makanan dimaknai dalam pendekatan
material, maka dia akan bersifat profan dan tidak substansial dalam pendekatan
agama. Namun jika dimaknai secara spiritual, maka mudik, cat rumah, dan makanan
saat Idul Fitri memiliki akar iman dan bersifat sakral. Wallahu alam bishawab. ***
Tana Kaili, 9 Juni 2019
Komentar
Posting Komentar