Tonakodi-Menyikapi WTP

Oleh: Temu Sutrisno
Belum lama ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan penilaian atau opini wajar tanpa pengecualian (WTP)terhadap hampir semua pemerintah daerah di Sulteng. Kemarin, BPK juga memberikan opini WTP terhadap 81 laporan keuungan kementerian/lembaga atau LKKL dan satu laporan keuangan bendahara umun negara atau LKBUN. 
Apakah opini WTP berbanding lurus dengan sangkaan tindak pidana korupsi? Ketika berbicara tentang dugaan atau sangkaan terjadinya korupsi oleh pejabat, orang sering memperdebatkan, apakah sebuah laporan hasil pemeriksaan (LHP) oleh BPK yang telah memberi predikat WTP kepada sebuah instansi harus dianggap benar?

Jawabannya, Tidak! Mendapat WTP hanya bisa diartikan bahwa laporan keuangannya secara formal-administratif telah benar menurut standar pengelolaan keuangan yang ditentukan BPK. Di dalamnya masih mungkin terjadi korupsi.

Nyatanya tidak sedikit di instansi-instansi yang mendapat WTP terjadi tindak pidana korupsi. Bisa saja di sebuah instansi yang laporan keuangannya menurut BPK berpredikat WTP, ada korupsi di dalamnya.

Mengapa? Karena bisa saja BPK tidak tahu bahwa di balik laporan keuangan yang secara formal-administratif benar menurut BPK, ada banyak uang proyek, sogokan dan sejenisnya yang berputar di tangan pejabat, tidak terdeteksi oleh BPK.

Jadi dalam menyikapi LHP dari BPK, baik yang berpredikat WTP maupun tidak, dalam kaitan dengan pemberantasan korupsi, penegak hukum cermat dan menelisik dibalik laporan keuangan secara formal-adminsitratif.

Sudah banyak bukti, pejabat instansi yang mendapat WTP dipenjara karena korupsi. Predikat WTP tetap berpotensi melahirkan koruptor,  meski laporan keuangannya rapi dan benar menurut standar pengelolaan keuangan negara.

Malah, beberapa waktu lalu mencuat kasus jual beli WTP dari pejabat suatu instansi ke pejabat di BPK. KPK menahan empat tersangka kasus dugaan suap terkait WTP Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Jual beli predikat WTP di BPK disebut-sebut sudah menjadi mitos. Itu alasan lain mengapa WTP tidak harus dianggap selalu benar.***

Tana Kaili, 13 Juni 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu