Tonakodi-Perlu Pembuktian Makar


oleh: Temu Sutrisno


Sebulan terkahir, pascapemilu, kata makar sangat popular di masyarakat Indonesia. Kata makar menghiasi pemberitaan media mainstream, media sosial, pembicaraan kaum ibu, hingga komunitas warung kopi.
Jauh hari sebelum Pemilu, kata makar sangat populer pasca aksi 411, yang melibatkan jutaan orang menuntut kepolisian segera memproses hukum dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, gubernur petahana DKI Jakarta. Kata makar dan adanya kepentingan politik yang disinyalir menunggangi aksi damai jutaan ummat Islam tersebut, menjadi kata yang paling popular saat itu. Kata makar makin santer jelang aksi 212.
Kata makar sering kita jumpai dalam literatur bidang hukum dan ketatanegaraan/pemerintah yang memiliki interpretasi perbuatan melanggar hukum pidana seperti pembunuhan juga merupakan aksi penumbangan sebuah pemerintahan oleh sebuah kelompok.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia kata makar, diartikan akal busuk; tipu muslihat. Makar dalam arti akal busuk, tipu muslihat adalah perbuatan seseorang atau kelompok yang berniat negatif terhadap seseorang untuk kepentingan orang atau kelompok yang melakukannya. Arti lainnya, makar adalah perbuatan dengan maksud hendak menyerang atau membunuh.
Makna makar berkaitan dengan pemerintahan adalah perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Arti kata Makar yang ketiga ini merupakan usaha menjatuhkan pemerintahan yang sah di sebuah negara.
Pertanyaan krusial, apakah gerakan aksi demonstrasi dan suara-suara kritis serta merta dapat dikategorikan tindakan makar?
Demonstrasi atau dalam bahasa konstitusi menyampaikan pendapat di muka umum, adalah alat sah rakyat untuk menagih hak-haknya dari negara. Dalam UUD NRI 1945, demonstrasi atau penyampaian pendapat di muka umum diperkenankan. Malah menjadi hak konstitusional setiap warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945. Dengan demikian, secara hukum, demonstrasi tidak serta-merta dapat didefinisikan sebagai tindakan makar, melainkan salahsatu instrumen yang sah sebagai alat menagih hak-hak rakyat kepada negara.
Dimana delik makar dalam penyampaian pendapat di muka umum? Ada beberapa pasal dalam KUHP yang berhubungan dengan aspek delik makar. Namun delik formilnya sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi. Pada delik formil, suatu perbuatan menjadi kejahatan semata karena perbuatan itu disebut oleh Undang-Undang. Ketika dilanggar, langsung menjadi kejahatan tanpa perlu membuktikan niat jahat (mens rea) dari perbuatan itu. Demonstrasi bukan delik formil, tapi delik materil. Dimana delik materilnya? Delik materiilnya, jika demonstrasi diarahkan untuk makar terhadap Kepala Negara (Pasal 104 KUHP), memasukkan Indonesia dalam penguasaan asing (Pasal 106 KUHP), menggulingkan pemerintahan (Pasal 107 KUHP), memberontak (Pasal 108 KUHP) atau permufakatan jahat (Pasal 110 KUHP), yang pada prinsipnya menjatuhkan kekuasaan yang sah.
Pasal-pasal makar ini pada galibnya sangat multitafsir. Tafsir terhadap pasal-pasal makar sangat subyektif terhadap perlindungan kekuasaan. Pasal ini sejatinya merupakan pasal-pasal karet haatzai artikelen yang dalam sejarahnya dibuat untuk melindungi kedudukan raja/ratu Belanda-melindungi penguasa.
Namun demikian, juga perlu definisi jelas mengkritik pemerintahan (penguasa). Kritik adalah menyikapi secara kritis program, kegiatan dan/atau kebijakan pemerintah dengan melakukan koreksi secara konstruktif. Kritik seperti ini bukan makar. Demikian halnya mempertanyakan tanggungjawab atau kerja-kerja pemerintah, tidak masuk kategori makar. Kritik harus dibedakan dengan fitnah, ujaran kebencian, dan jauh dari skenario menjatuhkan pemerintahan atau merebut kekuasaan yang sah.
Upaya-upaya yang dilakukan siapapun untuk makar, harus disikapi dengan tegas. Aparat harus bersikap tegas menegakkan hukum tanpa pandang bulu, sejauh bisa membuktikan ada tindakan makar. ***


Tana Kaili, 16 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu