ASPEK HUKUM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA INFORMAL

Oleh: Temu Sutrisno, S.H.,M.H
 
Jaminan sosial telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945 Pasal 34 ayat (2) “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu”. Dalam dunia internasional, jaminan sosial juga tercantum dalam Declaration of Human Right menyebutkan, “setiap warga negara berhak mendapat perlindungan jika mencapai hari tua, sakit, cacat, menganggur dan meninggal dunia”. Setiap pekerja, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan social, merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan seluruh pekerja terdaftar pada BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. UU SJSN ditindaklanjuti dengan Undang–Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga aturan tersebut telah menjadi dasar pentingnya jaminan sosial oleh negara untuk warganya. Jaminan sosial dikelola oleh pemerintah, berbeda dengan asuransi sosial yang dikelola BUMN dan swasta, serta bantuan sosial yang pesertanya tidak perlu membayar premi.
Sistem jaminan sosial nasional dibuat sesuai dengan paradigma tiga pilar yang direkomendasikan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Pilar-pilar itu adalah Program bantuan sosial untuk anggota masyarakat yang tidak mempunyai sumber keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka. Program asuransi sosial yang bersifat wajib, dibiayai oleh iuran yang ditarik dari perusahaan dan pekerja. Iuran yang harus dibayar oleh peserta ditetapkan berdasarkan tingkat pendapatan, dan berdasarkan suatu standar hidup minimum yang berlaku di masyarakat; Asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela, yang dapat dibeli oleh peserta apabila mereka ingin mendapat perlindungan sosial lebih tinggi, daripada jaminan sosial yang mereka peroleh dari iuran program asuransi sosial wajib.
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan, berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang, dan pelayanan sebagai peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Jaminan sosial tenaga kerja sangat diperlukan oleh tenaga kerja diluar hubungan kerja (TKLH) yang pada umumnya berusaha pada usaha-usaha ekonomi informal.
Keberadaan sistem jaminan sosial dewasa ini sangat penting, seiring dengan meningkatnya risiko ketidakpastian sosial ekonomi yang dirasakan masyarakat, terutama masyarakat miskin, sehingga menganggu ketahanan keluarga, karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hidup. Jaminan sosial sebagai salah satu bentuk jaminan kesejahteraan sosial merupakan sistem asuransi sosial untuk memberikan perlindungan, pertanggungan bagi masyarakat miskin, terhadap risiko menurunnya tingkat kesejahteraan sosial akibat pencari nafkah utama mengalami sakit, kecelakaan ataupun meninggal dunia. Pekerjaan di sektor informal sangat rentan terhadap resiko kecelakaan kerja, sakit bahkan kematian. Mereka umumnya belum terjangkau oleh jaminan sosial tenaga kerja.
Jaminan sosial tenaga kerja dalam konteks ini juga sebagai upaya kebijakan yang ditujukan kepada tenaga kerja, terutama yang berada di lingkungan perusahaan dalam hal penyelenggaraan, perlindungan, dengan interaksi kerja yang saling menguntungkan tenaga kerja dan pengusaha. Definisi pekerja informal berdasarkan BPJS Ketenagakerjaan adalah mereka yang bukan penerima upah, seperti tukang ojek, supir angkot, pedagang keliling, dan lain sebagainya.
Pemerintah mewajibkan semua perusahaan di Indonesia untuk mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Jaminan yang diberikan meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pmeliharaan kesehatan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perlindungan menyeluruh atau universal coverage ini sendiri ditargetkan terlaksana paling lambat pada 31 Desember 2019.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan hingga akhir Maret 2019, mencatat baru menjangkau 56% peserta atau 51 juta dari 91 juta angkatan kerja yang diperkirakan memenuhi syarat sebagai peserta. Dari 51 juta peserta BPJS Ketenagakerjaan yang terdaftar di Indonesia hanya 34,5 juta peserta yang aktif. Dari angka itu, 97 persen disumbang dari sektor formal, sementara sisanya 3 persen atau sekitar 3 juta peserta berasal dari sektor informal.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya mengakomodasi pekerja formal. Padahal, dengan adanya Industri 4.0, tren hubungan kerja lebih mengarah pada fleksibilitas pasar kerja seperti freelance. UU Ketenagakerjaan masih sebatas mengatur tenaga kerja yang mendapatkan pekerjaan dari pemberi kerja. Regulasi yang ada belum menampung perlindungan bagi mereka yang melakukan pekerjaan secara mandiri tapi tetap terhubung dengan orang lain, sebagaimana pengertian pekerja. Pekerja dikategorikan menjadi dua, yakni Pekerja Penerima Upah yang selanjutnya disingkat PPU adalah setiap orang yang bekerja pada Pemberi Kerja dengan menerima Gaji atau Upah dan Pekerja Bukan Penerima Upah yang selanjutnya disingkat PBPU, adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri. Pasal 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial, peserta bukan penerima upah sebagaimana dimaksud meliputi, pemberi kerja, pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, dan pekerja yang bukan penerima gaji atau upah.
Tanpa mengesampingkan regulasi yang sudah ada, melihat manfaat jaminan sosial bagi pekerja, jamiman sosial ketenagakerjaan sama pentingnya dengan jaminan kesehatan yang harus dimiliki oleh setiap orang dan/atau pekerja.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu