Tonakodi-Dorang Samua


oleh: Temu Sutrisno


Amirul Mukminin Umar bin Khattab, beberapa saat sebelum wafat menitip pesan agar tidak mengangkat anaknya, Abdullah bin Umar sebagai khalifah menggantikannya. Umar berkeras, meski sebagian ummat mendesak untuk menetapkan Abdullah sebagai pucuk pimpinan ummat Islam. Diakhir hayatnya, Umar menolak politik dinasti, dan lebih memilih sistem permusyawaratan untuk menentukan penggantinya. Umar semasa hidupnya juga dikenal tegas terhadap pejabat yang melakukan penyimpangan, meski dia kawan seiring sejalan, sejawat dalam perjuangan.
Langkah Umar sepertinya berbanding terbalik dengan kondisi politik tanah air. Di negeri ini, prinsip berkuasa untuk diri sendiri dan keluarga dipraktikkan banyak orang.
“Jangan ada orang lain di kekuasaan!” Kira-kira begitu alam pikiran para pejabat yang duduk di kursi kekuasaan. Kenapa? Karena kekuasaan dengan segala fasilitasnya dirasakan ‘menyenangkan’.
Lihat, banyak suami, istri, atau anak pejabat ramai-ramai maju dalam ajang kontestasi lima tahunan. Suami menduduki jabatan gubernur, bupati atau pejabat tinggi birokrasi, istrinya maju sebagai calon anggota legislatif. Ada juga istri pucuk pimpinan perangkat daerah, suami anggota DPRD. Anak pejabat juga ramai-ramai berebut masuk lingkaran kekuasaan. So dorang samua.
Bagaimana bisa menjalankan fungsi pengawasan jika harus mengawasi pasangan hidup, atau anak mengawasi orang tua? Bagaimana masyarakat yakin, tidak terjadi pengaturan anggaran diantara mereka?
Sejatinya, apa yang dipraktikkan pejabat tersebut adalah bentuk politik dinasti. Istilah dinasti merujuk pada sistem kekuasaan tradisional yang mengandalkan keturunan dari sekelompok orang atau keluarga. Sistem dinasti berlawanan dengan sistem Republik, pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat.
Politik dinasti, secara substansial tidak melanggar konstitusi.  Namun secara etik, sulit menjalankan fungsi sebuah jabatan jika kekuasaan menumpuk pada satu keluarga dan orang-orang dekat semata. Dalam sejarah politik kekuasaan, sistem dinasti seringkali melahirkan pula lingkaran korupsi dan praktik nepotisme. Selain itu, politik dinasti juga akan memperbesar munculnya pejabat yang tidak kompeten.
Politik dinasti berdampak buruk dalam sistem republik. Pertama, politik dinasti menghambat fungsi ideal partai poitik. Calon dipilih bukan atas dasar seleksi dan melalui proses kaderisasi, hanya berdasarkan popularitas dan kekerabatan dengan pemegang kekuasaan. Politik dinasti menciptakan ketidaksetaraan dalam berpolitik.
Kedua, tertutupnya kesempatan bagi masyarakat yang memiliki kapasitas dan keunggulan untuk tampil sebagai pemimpin, karena bukan berasal dari lingkaran elite kekuasaan. Hal ini dapat memicu terjadinya negosiasi dan konspirasi kepentingan dalam pelaksanaan tugas pemerintah.
Ketiga, sulitnya mencapai clean and good governance karena fungsi kontrol melemah dan semakin tingginya potensi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Jelang Pemilu, masyarakat pemilih hendaknya kritis terhadap sosok yang disodorkan partai politik. Jika calon hanya mengandalkan popularitas dan jejaring politik yang terbentuk dalam suatu dinasti, maka masyarakat perlu berpikir ulang. Pelajari rekan jejak setiap calon. Kualitas calon dari sisi kapasitas dan integritas jadi pertimbangan, visi misi jadi ukuran pilihan.
Jangan karena salah pilih, so dorang samua di puncak kekuasaan. Padahal rakyat pemilih tidak mengetahui kapasitas dan integritas mereka.***




Tana Kaili, 4 April 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu