Tonakodi-Golongan Penunggu Uang Tunai
Oleh: Temu Sutrisno
MERCUSUAR-Golongan putih (Golput) dilekatkan pada
orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Biasanya Golput,
dilandasi kekecewaan terhadap sistem atau pilihan rasional, tidak ada kandidat
yang layak dipilih karena tidak bersesuaian visi,misi, dan program yang
ditawarkan. Program yang
ditawarkan peserta Pemilu tidak berangkat
dari apa yang diinginkan pemilih,
tetapi idealisme politik peserta Pemilu.
Golput model ini merupakan anak kandung
demokrasi, dan selalu muncul dalam setiap Pemilu. Dalam konteks demokrasi,
mereka adalah kelompok yang menggunakan hak pilihnya untuk tidak memilih.
Fenomena Golput sejatinya bentuk
kegagalan pendidikan politik peserta dan penyelenggara Pemilu. Idealnya, kampanye sebagai salah satu pendidikan politik, dapat memantapkan
pemilih untuk melakukan kontrak sosial melalui pemberian suara di TPS. Artinya Pemilu sebagai sarana
kontrak sosial dapat menjadi solusi atas perilaku Golput dan ketidakhadiran
pemilih di TPS. Golput
dan ketidakhadiran pemilih di TPS, berkaitan dengan legitimasi politik
pemerintah. Tinggi rendahnya partisipasi
pemilih berbanding lurus dengan legitimasi pemerintah hasil Pemilu.
Selain Golput model ini, Pemilu juga
memunculkan fenomena ‘Golput’ model lainnya, yakni Golongan Penunggu Uang
Tunai. Kelompok penunggu serangan fajar. Golput, golongan penunggu uang tunai merupakan bentuk pragmatisme
politik masyarakat. Sikap ini juga berawal dari kekecewaan terhadap calon atau
kandidat yang telah duduk dalam jabatan. Banyak pejabat terpilih tidak
menunaikan janji-janjinya saat duduk dalam kekuasaan. Akhirnya, muncul sikap
jual beli suara. Biar sedikit asal dapat sesuatu, daripada menunggu lima tahun
tidak jelas program yang diperjuangkan atau dilaksanakan kandidat setelah duduk
di kekuasaan.
Golput model kedua ini, dibarengi
munculnya politisi Machiavellianisme. Politik Machiavellianisme bersumber pada
pemikiran Niccolo Machiavelli,
yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Dalam studi
psikologi, Machiavellianisme menunjukkan sifat interpersonal
pendusta, pengabaian moralitas secara sinis, kurangnya simpati, dan fokus pada
kepentingan pribadi dan keuntungan personal. Penggunaan cara-cara yang
tidak etis dapat dibenarkan demi mencapai tujuan yang diinginkan. Politik
Machiavellianisme membenarkan apa yang dilarang menurut regulasi Pemilu.
Politik uang merupakan wujud nyata politik
Machiavellianisme.
Perilaku Golput yang kedua ini, bertentangan dengan
prinsip demokrasi elektoral di Indonesia yang
diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 beserta peraturan turunan yang
dikeluarkan lembaga penyelenggara Pemilu.
Aturan soal
politik uang dalam Undang-Undang Pemilu terbagi ke sejumlah pasal. Beberapa pasal itu diantaranya Pasal
278, 280, 284, 515, dan 523. Aturan-aturan itu melarang politik uang dilakukan
tim kampanye, peserta Pemilu serta penyelenggara selama masa kampanye. Aturan yang sama juga mengatur larangan semua orang melakukan politik uang di
masa tenang dan pemungutan suara. Sanksi yang menunggu mulai dari sanksi pidana
3-4 tahun, hingga denda Rp36-48 juta.
Apapun bentuk aturannya, selama pendidikan politik tidak
berjalan baik, peserta Pemilu masih menhalalkan Politik Machiavellianisme, Golput masih akan mewarnai
setiap hajatan Pemilu.Pengurangan Golput dan gerakan tolak politik uang, harus
dimulai dari kesadaran bersama, bahwa politik adalah jalan mulia yang harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Jangan kotori Pemilu sebagai mekanisme
politik dengan perbuatan yang membelakangi nilai-nilai kemanusiaan.***
Tana Kaili, 11 April 2019
Komentar
Posting Komentar