PPRA DAN PENGUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Oleh: Temu Sutrisno[1]
PENDAHULUAN
Negara demokrasi adalah Negara yang mengikutsertakan partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan, serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu hak dasar rakyat yang harus
dijamin Negara adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran baik lisan maupun
tulisan, serta hak atas informasi.
Oleh karena hak atas informasi telah mendapat pengakuan
secara universal sebagai salah satu hak yang paling mendasar yang melekat pada
setiap individu manusia. Namun demikian pelaksanaan dan pemenuhannya di setiap
negara diserahkan kepada negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan
kondisi di masing-masing negara. [2]
Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR 1948) telah merumuskan jaminan perlindungan
terhadap hak atas informasi. Pasal 19 UDHR 1948 menyebutkan:
“Everyone
has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom
to hold opinions without interference and to seek, receive and impart
information and ideas through any media and regardless of frontiers.”[3]
Meskipun deklarasi tersebut tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum terhadap negara-negara peserta atau
penandatangannya, namun deklarasi tersebut mempunyai pengaruh moral, politik,
dan edukatif, sehingga rumusan hak-hak yang terdapat di dalamnya, termasuk juga
hak atas informasi, dihormati oleh negara-negara di dunia.[4]
Pada perkembangan global selanjutnya, Komisi HAM PBB
menyusun dan mengesahkan dua kovenan internasional sebagai tindak lanjut atas
UDHR 1948 agar rumusan perlindungan HAM yang terdapat dalamnya dapat
dielaborasi lebih lanjut dan mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis bagi
negara-negara peratifikasinya. Dua kovenan internasional tersebut ialah International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik). Kedua kovenan tersebut disahkan (diterima baik oleh Sidang
Umum PBB) pada 1966 dan baru berlaku sepuluh tahun kemudian, yaitu pada 1976
setelah memenuhi persyaratan jumlah negara peratifikasi sebanyak 35 negara.
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan
bagian dari hak sipil dan politik, oleh karenanya hak tersebut dimasukan/diatur
dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Hak atas informasi dirumuskan dalam Pasal 19 ayat (2) ICCPR yang tiada lain
merupakan derivasi dari ketentuan Pasal 19 UDHR 1948. Berikut adalah ketentuan
Pasal 19 ayat (2) ICCPR:
“Everyone
shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom
to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of
frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or
through any other media of his choice.”[5]
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional tentu
tidak terlepas dari kesepakatan tersebut. Indonesia meratifikasi ICCPR pada
tahun 2005 dengan mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik).
Di Indonesia, sebelum meratifikasi ICCPR Tahun 2005,
kebebasan mendapatkan informasi merupakan hak konstitusional setiap warga
Negara yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI),
sebagaimana ketentuan Pasal 28F hasil amandemen, “Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.”
Dalam
konteks kebebasan mendapatkan informasi, pers merupakan salah satu wahana bagi
setiap warga Negara atau masyarakat mengetahui dan
mendapatkan informasi. Pada dasarnya pers meruapakan lembaga atau
wahana komunikasi massa yang melaksanakan tugas jurnalistik untuk pemenuhan hak
masyarakat atas informasi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers).
Kegiatan jurnalistik yang dimaksud pasal tersebut adalah proses
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan (6M)
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pers
selain berfungsi untuk memenuhi hak atas informasi, pada dasarkan merupakan
wahana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki
peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggungjawab
memegang peranan penting masyarakat dan negara demokratis.[6]
Pentingnya
peran pers dalam kehidupan masyarakat membuat pers memiliki kekuatan besar, bahkan sering disebut sebagai pilar keempat
demokrasi disamping legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Dalam perkembangannya pers bisa bersifat
merusak, apabila tidak mampu tampil menjadi
pengawal rakyat (guardian of the people),
dan memiliki hati nurani (conscience of the press).[7] Kebebasan pers harus diikuti profesionalisme wartawan.
Wartawan dituntut menguasai landasan unsur-unsur etika dan rasa tanggungjawab
atas pekerjaan mereka.[8] Setidaknya wartawan harus menguasai
dan melaksanakan dua norma dalam profesi kewartawanan. Pertama, norma teknis
yang terkait ketrampilan meliput, menulis, menyunting dan menyajikan berita.
Kedua, norma etis seputar nilai tanggungjawab, peduli, adil, obyektif, tidak
memihak dan hal lain yang ditetapkan dalam standar etik profesi kewartawanan.
Pers
sebagai penyampai informasi, dengan kebebasan yang dimiliki rentan menimbulkan
masalah atau sengketa informasi, jika wartawan tidak memahami
dan memiliki kesadaran hukum yang baik. Di sisi lain, UU Pers menjamin
kemerdekaan pers dengan tidak memberlakukan tindakan-tindakan represif terhadap
pers. Tidak ada izin untuk mendirikan perusahaan pers, tidak dikenakan pressbreidel (pembreidelan
atau penutupan perusahaan pers) dan sensor. Sejatinya UU Pers menerapkan asas
tanggung jawab (responsibility) media terhadap publik
melalui self cencored (sensor internal). Kebebasan pers dalam
praktiknya menimbulkan potensi atau kerentanan wartawan melanggar etika profesi
dan hukum dalam menjalankan peran dan tugasnya. Dalam konteks sensor internal,
Kode Etik Jurnalistik menjadi salah satu alat pengendali wartawan dalam
melaksanakan tugasnya.
Salah satu alat ukur profesionalitas wartawan,
wartawan dituntut memiliki kesadaran hukum dan memahami etika profesi yang
berkaitan dengan pers. Terkait kesadaran hukum dan etika profesi wartawan,
Dewan Pers pada tanggal 2
Februari 2010, menetapkan Peraturan Dewan Pers No.
1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi
Wartawan, yang didalamnya menjadikan kesadaran etika profesi dan hukum sebagai
sandaran pertama kompetensi wartawan.
Kesadaran (awareness)
wartawan, selain memahami etika profesi, juga
pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan (hukum) yang terkait UU Pers.
Selain itu wartawan
dipandang perlu mengetahui dan memahami hal-hal mengenai penghinaan,
pelanggaran terhadap privasi, serta berbagai ketentuan lain yang
berkenaan dengan narasumber. Kompetensi wartawan di bidang hukum
menuntut adanya penghargaan terhadap
hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang
tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan menjaga
demokrasi. Dengan demikian, wartawan profesional selain dituntut
mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, juga wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan dan peraturan-peraturan lain yang memiliki kaitan secara
langsung maupun tidak langsung dengan tugas-tugas jurnalistik dan/atau pers.
Salah
satu peraturan yang harus dipahami pelaku pers adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2012 Tentang Pengesahan Optional Protocol To The Convention On The Rights
Of The Child On The Sale Of Children, Child Prostitution And Child Pornography
(Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi
Anak, Dan Pornografi Anak) atau yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang
Konvensi Hak Anak (UU KHA). Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak.
KODE
ETIK JURNALISTIK
Kode
Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan
selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti UU Pers, juga harus berpegang
kepada kode etik jurnalistik.
Pasal
7 ayat (2) UU Pers menyatakan, Wartawan
memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Tujuannya adalah agar
wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Jimly Asshiddiqie
menyatakan norma etik difungsikan sebagai filter dan sekaligus penyanggah serta
penopang bagi efektifitas norma hukum.[9]
Kode
Etik Jurnalistik mempunyai kedudukan yang sangat vital bagi wartawan. Bahkan
dibanding peraturan perundang-undangan yang memiliki sanksi fisik, Kode Etik
Jurnalistik dinilai memiliki kedudukan yang istimewa bagi wartawan.[10]Selanjutnya, Alwi Dahlan dalam Jimly
Asshiddiqie menyatakan Kode Etik Jurnalistik memiliki fungsi melindungi
keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya, melindungi
masyarakat dari malpraktik oleh praktisi yang kurang profesional, mencegah
kecurangan antar rekan profesi, dan mencegah manipulasi informasi oleh
narasumber.[11]
Kode
Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi pers
dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik yang berlaku secara nasional
melalui keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret 2006,
menurut Jimly Assiddiqie mengandung empat asas[12], yaitu:
1. Asas Demokratis
Demokratis berarti berita harus disiarkan
secara berimbang dan independen, selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan
hak koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan publik Asas demokratis ini
juga tercermin dari pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan Indoensia melayani
hak jawab dan hak koreksi secara proposional. Sebab, dengan adanya hak
jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua
pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan
pendapatnya secara proposional.
2. Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini
adalah wartawan Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis
maupun filosofinya.Misalnya Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan
berita yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan indonesia terampil
secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap
nilai-nilai filosofi profesinya.
Hal lain yang ditekankan kepada wartawan
dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan identitas kepada narasumber,
dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji
informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang,
dan off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan
memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.
3. Asas Moralitas
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau
pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai,
kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan Kode
Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan
profesi wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi
oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik
Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain Wartawan
tidak menerima suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan
orang miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan
berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas
korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan
anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang
tidak akurat atau keliru.
4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini,
wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Untuk itu,
wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam
memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak
bersalah. Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi
manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat
untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan
meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu,
wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab
sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap
orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh
masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral
dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik
dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan
Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
PPRA
MENGUATKAN KODE ETIK JURNALISTIK
Bertepatan
dengan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2019, Dewan Pers mengeluarkan
Peraturan Dewan Pers Nomor : 1/PERATURAN-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan
Ramah Anak (PPRA). Pedoman tersebut disusun dengan tujuan untuk menjamin
hak-hak dan masa depan anak. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk melindungi
wartawan dari pidana terkait hak-hak anak. Sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA)sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyebut jurnalis bisa
dipidana jika melanggar ketentuan Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 59, dengan ancaman
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ancaman pidana tersebut berkaitan dengan
perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Sanksi pidana tersebut
diatur dalam Pasal 78 UU PA.
Pemberitaan
dengan penyebutan identitas ana yang berhadapan dengan hukum juga
melanggar Pasal 19 ayat (1)Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Penyebutan identitas anak diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 97.
PPRA
sebagai panduan teknis pemberitaan, berupaya mengakomodir beberapa perbedaan
norma yang diatur dalam KUHP, UU PA, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
(UU SPPA), Undang-Undang Administrasi Kependudukan, dan Kode Etik Jurnalistik.
Perbedaan tersebut adalah dalam hal pengaturan usia anak. KUHP menetapkan
batasan usia anak 16 tahun, Kode Etik Jurnalistik (16 tahun), Undang-Undang
Perlindungan Anak (18 tahun), UU SPPA (18 tahun), dan Undang-Undang
Administrasi Kependudukan (17 tahun). PPRA secara implisit menggunakan batasan
usia anak 18 tahun, sebagaimana diatur dalam Poin 12, bahwa dalam peradilan
anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
PPRA
menurut pandangan penulis, tidak menegasikan atau menggugurkan Kode Etik
Jurnalistik, namun menguatkan. Terkait pemberitaan anak, Kode Etik Jurnalistik
mengatur pada Poin 5, bahwa wartawan Indonesia
tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Terkait hal yang
sama, PPRA mengatur lebih terperinci bukan hanya identitas korban dan pelaku,
namun juga hal-hal lain yang berkaitan dengan anak sebagai korban, saksi,
dan/atau pelaku pelanggaran hukum. Identitas Anak yang dilindungi
adalah semua data dan informasi yang menyangkut anak yang memudahkan orang lain
untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, nama saudara kandung,
orangtua, paman/bibi, kakek/nenek, dan keterangan pendukung seperti alamat
rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan yang diikuti, dan benda-benda khusus
yang mencirikan sang anak.
Secara
terperici, PPRA yang telah ditetapkan Dewan Pers sebagai berikut:
1. Wartawan merahasiakan identitas
anak dalam memberikan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka,
didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual
dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau
tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan
sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau
menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya
seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya dan/atau
keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan
dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual
untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum,
namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita
yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian mempertimbangkan dampak
psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali
informasinya dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam
perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi
anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan
identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga
antara korban anak dan pelaku. Apabila identitas sudah diberitakan, maka
wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media
siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, di edit ulang agar
identitas anak tersebut tidak terungkap.
9. Dalam hal berita anak hilang atau
disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak tapi apabila kemudian
diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya segala identitas
anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapus.
10. Wartawan tidak memberitakan
identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait
politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan
tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) semata-mata
hanya dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan
menghormati ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA).
STUDI KASUS
Untuk menguji keberlakukan Kode
Etik Jurnalistik dan PPRA, penulis mengangkat pemberitaan Koran Sulteng Raya
edisi Selasa 5 Maret 2019 berjudul “Siswi SD di Morut Dihamili Ayah Tirinya”.
Isi berita tersebut menyebut inisial korban M (11 tahun) dan pelaku L dg. M (43
tahun) dengan alamat Desa Uewaju Kecamatan Bungku Utara kabupaten Morowali
Utara.
Berita
tersebut dari pendekatan Kode Etik Jurnalistik, dinilai tidak melanggar
ketentuan Poin 5 Kode Etik Jurnalistik, bahwa wartawan
Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Namun dari
pendekatan PPRA, berita tersebut dinilai tidak ramah anak karena melanggar Poin
8, bahwawartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan
seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dan pelaku.
Apabila identitas sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan
pengungkapan identitas anak.
Identitas
anak dimaksud adalah semua data dan informasi yang menyangkut anak yang
memudahkan orang lain untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, nama saudara
kandung, orangtua, paman/bibi, kakek/nenek, dan keterangan pendukung seperti
alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan yang diikuti, dan benda-benda
khusus yang mencirikan sang anak, sebagaimana diatur dalam UU SPPA Pasal 19
ayat (1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan
dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik dan ayat (2) Identitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama
Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat
mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.
Pelanggaran
penyebutan identitas sebagaimana diatur dalam Pasal 19, dikenakan sanksi berupa
pidana penjara paling lama lima tahun dan denda lima ratus juta rupiah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 97, bahwa Setiap orang yang melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus
juta rupiah).
Berita
tersebut secara jelas menyebut alamat anak sebagai korban secara rinci hingga
wilayah desa. Bahkan identitas pelaku yang merupakan ayah tiri korban, mudah
dikenali meski ditulis dalam bentuk inisial (L Dg. M).
Meski
melanggar norma dalam UU SPPA, berita tersebut sebagaimana pandangan penulis di
atas, tidak melanggar ketentuan Kode Etik Jurnalistik. Penilaian akhir
pelanggaran terhadap PPRA dan/atau pedoman pemberitaan lainnya berada dalam
wewenang Dewan Pers, dan terhadap sengketa jurnalistik penyelesaiannya masih
berpegang pada pengutamaan (primaat/prevail) UU Pers. Mengacu pada UU Pers,
berita tersebut masih bisa diperbaiki/dikoreksi dengan menghilangkan identitas
anak pada berita berikutnya.
PENUTUP
Dari
uraian di atas, penulis menarik kesimpulan:
1. Wartawan selain menaati UU Pers dan Kode Etik
Jurnalistik, juga harus taat pada peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung dengan kerja-kerja jurnalistik
dan/atau peraturan-peraturan pers lainnya.
2. Penyusunan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
(PPRA) yang disusun dengan tujuan untuk menjamin hak-hak dan masa depan
anak serta melindungi wartawan dari pidana terkait hak-hak anak,
melengkapi dan menguatkan Kode Etik Jurnalistik.
Dengan
terbitnya PPRA, penulis menyarankan agar dilakukan sosialisasi secara massif
kepada seluruh wartawan dan masyarakat, agar PPRA menjadi salah satu alat
pengendali internal wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik dan
masyarakat dalam rangka melakukan pengawasan terhadap kerja-kerja
jurnalistik.***
Referensi:
Ilham Bintang, 2016. Tantangan
Media Menegakkan Kode Etik Jurnalistik, PWI Pusat, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2016. Peradilan Etik dan Etika
Konstitusi, Sinar Grafika Jakarta.
Miriam
Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Yosep Adi Prasetyo,2016. Dewan Pers 2016-2019, Mengembangkan
Kemerdekaan Pers dan Meningkatkan Kehidupan Pers Nasional, Dewan Pers
Jakarta.
Satjipto Rahardjo,2010. Sosiologi Hukum,
Esai-esai Terpilih, Genta
Publishing, Jogjakarta.
Kode Etik Jurnalistik
Pedoman Pemberitaan Ramah anak
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
[1] . Wakil
Ketua Bidang Pendidikan PWI Sulteng.
[2]. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008, hal. 213.
[3]. Terjemahan
bebasnya kurang lebih, setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan
menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada
suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa
memandang batas-batas wilayah.
[4]. Ibid, hal. 219
[5]. Terjemahan
bebasnya kurang lebih, setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan
pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan
informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara
lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain
sesuai dengan pilihannya.
[6]. Yosep Adi Prasetyo, Dewan Pers 2016-2019, Mengembangkan
Kemerdekaan Pers dan Meningkatkan Kehidupan Pers Nasional, Dewan Pers
Jakarta 2016, hal ix
[7]. Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum,
Esai-esai Terpilih,
Genta Publishing, Jogjakarta. 2010, hal. 189.
[8]. Ilham Bintang, Tantangan Media Menegakkan Kode Etik
Jurnalistik, PWI Pusat, Jakarta 2016, hal xix
[9]. Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika
Konstitusi, Sinar Grafika Jakarta 2016, hal xvi
[10]. Ibid, hal 214
[11]. Ibid, hal 214
[12]. Ibid, hal 214-215
Komentar
Posting Komentar