Jalur Kucing di Likuefaksi Petobo
Oleh: Temu Sutrisno
Tak terbayang di pikiran Reni (29), dirinya beserta
anaknya Naya (10) selamat dari gulungan tanah likuefaksi Petobo. Bagaimana
tidak, ia bersama anaknya berjibaku dan kejar-mengejar waktu menghindari amukan
tanah dari arah timur rumahnya.
Reni mengenang hidupnya sepanjang 28 September 2018, kala
gempa menggoncang Palu dan sekitarnya. Sore itu, ia bersama anaknya menghadiri
ulang tahun teman anaknya di Pemandian Milinium Jl. Emy Saelan. Lantaran acara
itu, ia harus minta izin dari tempat kerjanya, Mall Tatura.
Saat gempa pertama menggoncang Pantai Barat kabupaten
Donggala, ia memutuskan pulang ke rumah dan meninggalkan acara ulang tahun.
Sampai di rumah, di komplek perumahan Petobo, Reni
langsung memasukkan motor ke rumah dan istrirahat sejenak. Anaknya duduk
menonton di depan televisi.
Sore makin beranjak. Suara tahrim di masjid terdengar.
Reni bangkit membersihkan diri dan mengambil air wudhu untuk salat maghrib.
Tiba-tiba tanah berderak, bumi bergoncang. Gempa, pikir Reni.
Ia langsung keluar dan memanggil anaknya.
Ia berdiri di jalan, di depan kios tetangga. Motor
tetangga tiba-tiba jatuh. Suara retak tanah makin keras. Reni panik dan
memanggil anaknya agar keluar ke jalan. Tanah bergoncang makin keras. Reni
terduduk jatuh sambal memeluk buah hatinya. Tanah terasa makin berayun.
Tetangga depan rumah, keluar terhuyung-huyung jatuh. Bangkit,
jatuh lagi. Akhirnya tetanganya sampai di tempat Reni dan anaknya duduk.
Merekapun berpelukan, karena goyangan tanah tak kunjung berhenti.
Tiba-tiba bunyi letupan terdengar dimana-mana. Reni makin
panic dan pasrah. Dia lihat pohon kelapa dan rumah-rumah dari (atas) arah timur
bergerak, berjalan menuju tempat ia terduduk. “Ya Allah selamatkan kami,” doa
Reni disela tangisan anaknya.
Reni melihat banyak orang berlarian tak tentu arah.
Sebagian masuk tertelan bumi, tak tertolong. Kepanikan, jerit dan teriakan
orang makin membuat Reni kebingungan. Ia tidak tahu mau lari kemana.
Tiba-tiba, jalan yang ia duduki terputus. Rumahnya
tertimbun lumpur dan rumah yang bergerak dari arah timur. Anaknya terlepas dari
pelukan dan terbawa lumpur.
Naluri seorang ibu memenuhi dada Reni. Ia bangkit,
seperti ada tenaga tambahan, mengejar anaknya yang terbawa lumpur dan terus
berteriak minta tolong.
“Mama, mama, tolong Naya ma,” teriak Naya.
Beberapa puluh meter, akhirnya Reni berhasil menangkap
tangan Naya. Lumpur sudah sampai di leher. Dengan sisa-sisa tenaga, Naya
berhasil diangkat dan mereka kembali duduk berpelukan di sisa-sisa badan jalan.
Badan jalan terus bergerak, bergelombang mengikuti arah
likuefaksi. Reni mengingat seperti naik gelombang di lautan. Badan jalan kadang
naik ke atas, kadang turun dan bergerak meliuk ke samping kanan dan kiri.
Tiba-tiba batang kelapa menghantam dari arah belakang,
seperti menampar apa saja yang ada di dekatnya. Reni merunduk mendekap anaknya
rapat tanah.
Hatinya sedikit lega, terhindar dari pohon kelapa yang
terus bergerak menari menampar apa saja.
Belum hilang rasa takut, Reni melihat pagar besi berujung
runcing menerjang. Naya didorong untuk menghindari amukan pagar rumah. Pagar
lewat, Naya terpisah jarak.
Reni kembali bangkit dan mengejar Naya. Lumpur yang terus
bergerak tidak dipedulikan, asal bisa menyelamatkan anaknya.
Akhirnya Naya berhasil diselamatkan. Reni memegang satu
tangan Naya sembari menggaruk lumpur yang telah mencapai dagu Naya. Berhasil
mengankat Naya, Reni melihat seekor kucing di atap rumah yang terbawa lumpur
likuefaksi. Reni teringat cerita orang tua, jika datang bencana, biasanya hewan
mencari jalan selamat.
Teringat cerita itu, Reni menaikkan anaknya ke atap rumah
yang terus berjalan. Ia dengan sekuat tenaga naik kea tap, setelah posisi
anaknya dirasa aman. Kucing terus mengeong, Reni dan anaknya berpegang erat
pada atap seng yang terus berjalan di kegelapan malam.
Suara gemeretak tanah, aliran lumpur dan suara jerit
orang terus terdengar. Tangis dan teriakan minta tolong terdengar dari berbagai
arah.
Tiba-tiba, kucing melompat kea rah pohon kelapa yang
melintang terbawa lumpur. Melihat kucing melompat, tergopoh-gopoh Reni membawa
anaknya merayap ke ujung seng. Reni menyusul kucing di pohon kelapa. Reni turun
ke lumpur menuntun anaknya naik ke batang kelapa. Anaknya berteriak, “Mama, ada
yang ba ikat kakiku”.
Reni naik ke batang kelapa lebih dulu, baru menarik
anaknya. Ia meraba kaki anaknya, ada ikatan menggulung licin bersisik. Deg,
jantung Reni. “Ular,” batinnya. Antara rasa takut ular dan keinginan
menyelamatkan anaknya, Reni menarik keras ular itu dan membuangya. Sekali lagi
anaknya selamat.
Batang kelapa perlahan terus bergerak megikuti lumpur. Rumah
tempat Reni bersama anaknya dan kucing tadi, perlahan masuk ke tanah, dalam
pelukan lumpur. Ternyata cerita orang tua soal binatang mencari selamat saat
bencana ada benarnya. “Jika lambat pindah ke batang kelapa, mungkin kami sudah
tenggelam bersama rumah itu. Rupanya Allah, masih menyelamatkan kami,
Alhamdulillah”.
Batang kelapa tempat Reni bersama anaknya berhenti.
Lumpur tidak lagi bergerak. Reni bersama anaknya tak beranjak dari pohon
kelapa. Lantunan syukur dan doa terus mengelayuti hatinya.
Kira-kira tengah malam, sekira pukul 24.00 Wita, suara
orang mulai ramai, senter dan sinar HP mulai menerangi sekitar. Reni bersyukur,
di sekitarmya muncul banyak orang dari dalam lumpur. Haru biru menyeruak
diantara yang selamat. Tangis membuncah, memenuhi alam Petobo malam itu.
Pertolongan mulai datang. Warga yang selamat saling
menolong. “Sekitar jam satu malam, kami tembus jalan Karanjalembah. Rupanya batang
kelapa tadi, sudah dekat rumah sakit bersalin di jalan Dewi Sartika,” kenang
Reni.
Malam itu Reni, anaknya bersama warga yang selamat
bermalam di sepanjang jalan Karanjalembah, tanpa bisa menutup mata. Bayangan
gempa menghantui mereka.
Mata Reni melihat ke langit, yang dihiasi satu dua
bintang. Dia tidak tahu dimana suaminya. Suaminya biasa datang sebelum maghrib
untuk salat, usai seharian kerja menarik mobil angkutan kota.
Esok harinya, Reni bersama sebagian warga yang selamat
menuju arah timur, Kelurahan Biromaru kabupaten Sigi. Kondisi jalan rusak,
rumah di samping kiri dan kanan banyak yang rubuh.
Sampai di Biromaru Reni mencari kabar suaminya. Lelah,
Reni istirahat di sekitaran pasar Biromaru lama. Di tengah kepenatan tak
terkira, sekira pukul 13.00 Wita, Reni bertemu suaminya. Tiga anak beranak
berpelukan, syukur bahagia telah selamat dari terjangan likuefaksi, meski
hanya dengan pakaian dibadan.***
Komentar
Posting Komentar