Tonakodi-Anomali Kaum Elit


Oleh: Temu Sutrisno

PADA suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (62 101 H) sedang bekerja di ruangannya. Tiba-tiba suara pintu diketuk seseorang. ”Siapa?” tanya khalifah. 

”Saya, putramu!”

 "Silakan masuk!” jawab khalifah sambil memadamkan lampu di dekatnya. 

Melihat ruangan jadi gelap gulita, maka terkejutlah si anak itu. Ia mempertanyakannya. Dengan tersenyum Khalifah Umar bin Abdul-Aziz menjawab, ”Sebab, lampu itu, minyaknya dibeli dengan uang negara! Sedang urusan yang dibicarakan, adalah urusan pribadi!”  

Cerita Umar bin Abdul Azis ini sangat populer. Bahkan Tonakodi telah mendengar sejak usia dini saat menempuh pendidikan di Madrasah Dinniyah. Kini, perilaku yang dipraktikkan Umar bin Abdul Azis, rasa-rasanya jauh panggang dari api jika dibandingkan perilaku pejabat dan kaum elit negeri ini. Kaum elit dalam terminologi sosiologi politik, maupun ‘elit’ dalam arti guyon kaum ‘ekonomi sulit’.

Dalam teori sosiologi politik, elit adalah sekelompok kecil orang-orang berkuasa, misalnya oligarki, yang menguasai kekayaan atau kekuasaan politik dalam masyarakat. Kelompok ini memiliki posisi yang lebih tinggi dan hak lebih besar daripada kelompok masyarakat di bawahnya atau rakyat umumnya.
Masyarakat bisa dengan kasat mata menyaksikan kaum elit dalam pengertian pertama, tidak lagi mempertimbangkan kepatutan, etis tidak etis atas tindakannya. Contoh terbaru misalnya, ada seorang pejabat di daerah miskin ngotot mengadakan kendaraan dinas berupa mobil mewah. Bisa jadi, kas daerah mampu menutupi biaya pengadaan, operasional, dan pemeliharaan kendaraan tersebut. Namun kemampuan kas, harus diperhadapkan dengan banyaknya kepentingan dan kebutuhan masyarakat miskin di daerah. Apakah tidak lebih baik, menggunakan kendaraan yang sudah ada, dan anggaran untuk mobil baru dialihkan untuk program dan kegiatan yang berorientasi pada pemberdayaan rakyat miskin?

Apalagi jika pengadaan mobil mewah dilihat dari asas manfaat. Pejabat dengan mobil mewah, supaya kelihatan wah. Bukankah sudah jadi rahasia umum, hampir semua pejabat menggunakan kendaraan dinas bukan untuk urusan dinas? Lihat di pusat perbelanjaan, di acara keluarga, di tempat rekreasi banyak terparkir kendaraan berplat merah. Mereka di sana urusan dinas atau urusan pribadi? Belajarlah pada perilaku Umar bin Abdul Azis, yang bisa membedakan urusan dinas dan urusan pribadi!
Ada juga pejabat yang pulang kerja naik kendaraan umum, berdesak-desakan dengan masyarakat umum. Supaya bisa merasakan keringat dan susahnya rakyat menggunakan transportasi umum, tidak menggunakan fasilitas kendaraan dinas yang disiapkan negara. Apa iya? Bukankah itu sandiwara pencitraan atau sejenisnya? Masyarakat bisa menilai. Apalagi jika dilakukan ditahun politik. Politik kadang memaksa orang bersikap anomali, terbalik seratus delapan puluh derajat dari yang biasanya.

Di tempat berbeda, ada juga kaum elit yang tidak setuju negara membagi-bagi tanah untuk rakyat. Nanti habis tanah negara, katanya. Dibalik ucapannya, ternyata dia menguasai tanah beribu lipat luasan dari tanah rakyat umumnya. Ini juga anomali. Lagi-lagi karena politik.

Ada juga elit yang berteriak anti korupsi, tetapi berurusan hukum karena praktik korupsi. Setop penyalahgunaan Narkoba, tapi berkutat dengan permasalahan Narkoba. Penyimpangan sikap dan perilaku dari tutur kata.
Anomali sikap bukan hanya dipraktikkan elit dalam terminologi sosiologi politik. Elit dalam makna guyonan ‘ekonomi sulit’. Atas nama gaya hidup, kaum elit yang satu ini kerap terjebak utang. Seringkali orang berutang di luar kemampuan, hanya karena memenuhi tuntutan gaya hidup, pakaian dan perhiasan berkelas, rumah mewah, mobil kelas wahid, dan life style lainnya. Pada kondisi tertentu, akhirnya sebagian dari mereka harus berhadapan dengan hukum karena utang piutang. Pada kasus yang lain, ada yang minta penangguhan, pemutihan atau penghapusan utang dengan berbagai alasan dan kondisi tertentu.

“Kenapa mesti hidup dengan anomali? Bagong ingin seperti Arjuna, Petruk berpenampilan seperti raja. Ahh….entahlah. Allah lebih tahu apa yang terjadi. Allah lebih tahu apa yang ada di hati setiap anak manusia.” ***

 Tana Kaili, 18 Maret 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu