Tonakodi-The Envelope Country


Oleh: Temu Sutrisno


SELO Sumardjan dalam pengantarnya untuk buku “Membasmi Korupsi” karya Robert Klitgaard, menyatakan “Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia”.

Pernyataan Selo Sumardjan tersebut terasa tepat untuk menggambarkan kondisi bangsa saat ini. Korupsi ibarat penyakit yang sulit disembuhkan. Korupsi telah menjalar disetiap sendi kehidupan sehari-hari.

Salah satu bentuk korupsi tertua yang tercatat dalam sejarah nusantara, adalah kongkalikong antara pejabat dan pengusaha, jaman kolonialisme Belanda. Ada satu catatan laporan korupsi yang terungkap pada masa kepemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Korupsi tersebut dilakukan Patih Danureja IV, patih tertinggi di Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Danureja IV bisa melakukan korupsi karena posisi Hamengku Buwono IV yang tidak kuat. Saat itu umurnya masih 10 tahun, sehingga pemerintahannya diwalikan pada Sri Paduka Paku Alam I dan Danureja IV sebagai patihnya. Danureja IV sangat dekat dengan pemerintah Hindia Belanda. Karena kedekatan tersebut, pengusaha mengelilingi Danureja IV.

Kedekatan itu dimanfaatkan Danureja IV untuk memberikan izin penggunaan tanah kepada para pengusaha asing. Danureja IV mengambil keuntungan pribadi dari izin-izin yang diberikan. Ia meminta sejumlah uang kepada para pengusaha tersebut.
Korupsi kian langgeng dengan cultuur stelsel, sistem tanam paksa, yang mengesahkan komisi untuk penguasa diluar upeti. Pejabat seenaknya memungut upeti dari masyarakat. Dalam kekinian mungkin bisa disamakan dengan pungutan liar (Pungli) dan minta fee proyek. Puncaknya adalah pembangunan jalan yang melewati pemakaman leluhur Pangeran Diponegoro. Proyek jalan itu melenceng perencanaan. Danureja IV tidak peduli, asal pundi-pundi keuntungan masuk ke kantongnya.

Kisah Danureja IV yang berselingkuh dengan pengusaha, menjadi kisah abadi bangsa ini. Hampir setiap korupsi yang terungkap, selalu melibatkan kedua entitas ini, pejabat dan pengusaha. Metode usang, bekerja tidak sesuai perencanaan, tidak sesuai kontrak yang ada untuk keuntungan sepihak, juga masih bertahan hingga kini. Sogok menyogok, setor ‘amplop’ menjadi hal lumprah untuk menutupi borok pekerjaan, atau memuluskan pekerjaan. Proyek titipan hingga lelang diatur, menjadi rahasia umum. Semua lancar kalau ada ‘amplop’. Sehingga tidak berlebihan jika ada yang menyebut bangsa ini dengan sebutan The Envelope Country.

Praktik korupsi, sesungguhnya bisa dilawan dengan sikap qanaah-merasa cukup dengan yang ada- dan selalu merasa diawasi Tuhan. Banyak orang tidak sadar bermain amplop, padahal ada Yang Maha Melihat. Banyak orang bekerja sekadar mengejar laba dan menumpuk harta, tidak mempertimbangkan berkah sebagai tujuan kerja. Berkah menjadi nomor kesekian. Halal dan tayyiban menjadi halangan meraih keuntungan. The envelope country, tidak akan sirna selama keserakahan masih menjadi watak orang per orang. Peyimpangan pekerjaan dari perencanaan masih akan terus berlanjut, selama masih ada pejabat dan pengusaha berwatak Danureja.***


Tana Kaili, 1 Februari 2019



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu