Tonakodi-Sandiwara Pejabat
Oleh: Temu Sutrisno
TONAKODI tersentak. Dalam sebuah rembuk
perencanaan pembangunan, seorang peserta berteriak agar kegiatan dihentikan.
Peserta itu minta agar peserta bubar. Hiruk pikuk peserta lainnya mendukung
usulan itu.
Bukan tanpa alasan, peserta rembuk kecewa
karena pejabat teknis dan perwakilan mereka di dewan negeri tidak hadir. Rakyat
tidak ingin jadi obyek pembangunan, mereka ingin partisipasinya dihargai. Mereka
menilai, tidak ada penghargaan pada rakyat. Rakyat hanya disuguhi klaim
keberhasilan dalam sandiwara birokrasi dan politisi.
Nanar mata Tonakodi menerawang, teringat
cerita Umar bin Khattab. Ya, Umar merupakan salah satu pemimpin Islam yang
sangat memerhatikan rakyatnya, memuliakan ummat, menjunjung nilai kemanusiaan
tanpa harus memakai mahkota kebesaran dan jubah keagungan laiknya raja atau
politisi penuh pencitraan. Tidak ada sandiwara dalam kepemimpinan Umar bin
Khattab, seperti para pejabat dan politisi saat ini.
Suatu malam, Umar bin Khattab berjalan
keluar kota Madinah. Umar ingin melihat keaadaan penduduk Madinah dan ingin
memastikan, semua penduduk aman, nyaman, dan kecukupan.
Di tengah perjalanan, Umar melihat tenda dan ada seorang
wanita yang sedang menangis. Umar bertanya tentang keadaannya. Si wanita itu
menjawab, “Aku akan melahirkan, namun aku tidak memiliki apapun.”
Umar bin Khattab merasa terharu dan menangis. Umar
buru-buru berlari menuju rumah istrinya, Ummu Kultsum. Umar pun menyeritakan
keadaan wanita yang hendak melahirkan. Lalu, mereka berdua segera menuju
ke kemah si wanita tadi. Umar memanggul satu karung gandum beserta daging.
Sementara Ummu Kultsum membawa peralatan yang untuk membantu kelahiran.
Sesampainya di tenda, Ummu Kultsum segera masuk ke tempat
wanita itu. Sedangkan Umar menunggu di luar tenda bersama suami dari wanita
tersebut. Setelah proses persalinan selesai, Umar memberikan nafkah dan apa
yang mereka butuhkan.
Pada malam yang lain, Umar bin Khattab bersama Aslam
menemukan seorang wanita yang sedang memasak, sementara anak-anaknya menangis
di dekatnya.
Umar bin Khattab segera mendekat dan bertanya, “apa yang
terjadi dengan kalian?”
Wanita itu menjawab, “Kami kemalaman dalam perjalanan,
kami kedinginan. Aku memasak air agar dapat menenangkan mereka hingga tertidur.
Allah kelak yang akan jadi hakim antara kami dengan Umar.”
Mendengar jawaban itu, Umar menangis dan segera berlari
menuju gudang tempat penyimpanan gandum. “Wahai Aslam, naikkan karung ini ke
atas pundakku.”
Aslam berkata, “Biar aku saja yang membawanya untukmu.”
“Apakah engkau mau memikul dosaku kelak di hari Kiamat?”
sergah Umar.
Umar pun segera memanggul karung tersebut dan mendatangi
kemah wanita itu. Sesampai di sana, Umar segera memasak gandum. Setelah matang,
Umar menyajikan sendiri makanan itu kepada wanita dan anak-anaknya. Si wanita tidak
tahu, orang yang membantunya adalah Umar bin Khattab.
Mungkin terlalu berlebihan, jika berharap
pejabat dan wakil rakyat mempraktikkan kesalehan, kepedulian, dan kecintaan
Umar pada rakyat. Namun satu hal yang pasti, ketidakpedulian pada rakyat, bukan
hanya dimintai pertanggungjawaban publik dan politik oleh rakyat, tapi juga
akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Adil.
“Semoga ketidakhadiran mereka, bukan
karena tidak peduli. Bukan karena sandiwara,” guman Tonakodi.***
Tana Kaili, 14 Februari 2019
Komentar
Posting Komentar