Tonakodi-Memilih Mantan Koruptor
Oleh: Temu Sutrisno
MERCUSUAR-Komisi Pemilihan Umum (KPU) umumkan 32
nama tambahan calon legislatif mantan narapidana korupsi. Jumlah ini
menambah daftar panjang Caleg mantan koruptor. Jika ditambahkan dengan daftar Caleg mantan koruptor yang sudah lebih dulu
diumumkan KPU ,
total ada 81 caleg mantan napi korupsi.
Tambahan 32 caleg eks koruptor, rinciannya tujuh caleg
maju di tingkat DPRD provinsi dan 25 caleg maju di tingkat DPRD
kabupaten/kota. Sementara itu, tak ada nama tambahan Caleg mantan koruptor yang maju di tingkat Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Caleg DPD yang tercatat punya riwayat kasus
korupsi berjumlah sembilan orang.
Jika ditambahkan dengan jumlah Caleg mantan koruptor yang diumumkan KPU terdahulu, maka, total
ada 23 Caleg mantan koruptor tingkat DPRD provinsi, 49 Caleg mantan koruptor tingkat DPRD kabupeten/kota,
dan 9 caleg DPD. Dari 16 Parpol peserta pemilu, 14 partai mengajukan caleg mantan napi
korupsi.
Meminjam pernyataan mantan Hakim agung Artidjo Alkostar, Caleg mantan koruptor memiliki kaitan erat dengan kondisi masa depan bangsa. Masa depan bangsa ini harus kita berikan pencerahan, bangsa kita ini berhak untuk melihat masa depan negara kita ini lebih baik. Bebas dari korupsi. Jangan dibebani lagi oleh orang-orang yang sebenarnya telah mengkhianati amanah rakyat ini. Jadi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, seharusnya kita ini bersifat zero tolerance terhadap korupsi. Bangsa kita ini bangsa besar dan didesain untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, kata Artidjo.
Meminjam pernyataan mantan Hakim agung Artidjo Alkostar, Caleg mantan koruptor memiliki kaitan erat dengan kondisi masa depan bangsa. Masa depan bangsa ini harus kita berikan pencerahan, bangsa kita ini berhak untuk melihat masa depan negara kita ini lebih baik. Bebas dari korupsi. Jangan dibebani lagi oleh orang-orang yang sebenarnya telah mengkhianati amanah rakyat ini. Jadi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, seharusnya kita ini bersifat zero tolerance terhadap korupsi. Bangsa kita ini bangsa besar dan didesain untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, kata Artidjo.
Sejatinya, pernyataan Artidjo mewakili kegundahan
sebagian besar anak bangsa. Ada cita dan keinginan, bangsa ini tumbuh besar,
maju tanpa beban hukum masa lalu para penyelenggara negara. Pemilu seharusnya
menjadi momentum untuk melahirkan pemimpin bangsa, para penyelenggara negara
yang bersih dan terbebas dari catatan hitam tindak pidana korupsi. Sekalipun
hukum menyatakan mantan koruptor memiliki hak pilih sebagaimana warga negara
lainnya, moral bangsa menyatakan sebaliknya. Moral bangsa tidak menolelir
adanya perilaku korup. Pada akhirnya pemilih harus memilah untuk memilih patut
dan tidaknya mantan koruptor dipilih. Batasan moral atau hukum, menjadi
sandaran masing-masing pemilih.
Pada satu sisi, ajaran agama menjunjung tinggi muruah
pribadi agar tidak terjatuh dalam lembah kemaksiatan dan dosa besar. Perilaku korupsi bisa dianggap sebagai dosa besar bagi seorang pejabat, karena
telah menyelewengkan wewenang dan merugikan negara untuk kepentingan pribadi,
kelompok atau keluarga.
Perilaku korupsi merupakan salah satu yang dilarang dalam
Islam. Korupsi di dalam Islam dikenal dengan istilah risywah atau suap dan ghulul-hadiah untuk
pejabat. Islam melarang keras praktik tersebut. Sebagaimana dalam hadis Nabi, “Allah melaknat orang yang menyogok dan
disogok”.
Imam al-Munawi menyebut bahwa risywah merupakan
sesuatu yang mengarah pada upaya membatalkan sebuah kebenaran.
Pada masa Nabi, ghulul (gratifikasi) merupakan
pemberian harta di luar harta rampasan perang (ghanimah), mereka yang
berperang dibolehkan untuk mendapatkan hartanya. Namun, jika ada yang mengambil
lebih, maka itu adalah ghulul. Karena itulah, kemudian Nabi menyebut
hadiah kepada pejabat merupakan ghulul yang diharamkan.
Sekali lagi, ini bukan persoalan hak untuk memilih dan
dipilih. Ini soal sikap amanah, soal kejujuran. Pengumuman KPU menjadi
perenungan pada pemilih, akankah menjatuhkan pilihan pada mantan koruptor atas
alasan hak yang diatur dalam hukum, atau mengedepankan nilai moral untuk
menjaga integritas hasil Pemilu, sehingga terpilih orang-orang bersih sebagai
penyelenggara negara. Jawabannya ada pada pemilih. ***
Tana Kaili, 21 Feb 2019
Tana Kaili, 21 Feb 2019
Komentar
Posting Komentar