Tonakodi-Hoax dan Kebencian bukan HAM


Oleh: Temu Sutrisno

“Bebas harus dimaknai dalam prinsip kemanusiaan. Jangan mencubit kalau tidak ingin dicubit”.



SEPEKAN terakhir Tonakodi diajak diskusi beberapa koleganya seputar kebebasan berpendapat. Mereka bersikukuh, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia (HAM), yang harus dihormati dan ditegakkan. Tidak boleh ada penangkapan dan pemidanaan terhadap ekspresi seseorang dalam menyampaikan pendapat. Peraturan perundang-undangan yang berisi pasal-pasal karet (haatzai artikelen) harus dicabut.
Tonakodi sependapat, tidak boleh ada pemberangusan terhadap ide, gagasan, dan atau pendapat. Pasal-pasal karet juga perlu dicabut, karena hukum harus mencerminkan aturan yang jelas, mudah dipahami, dan dilaksanakan secara adil (fair). Rumusan delik pemidanaan dalam Pasal-pasal yang tidak jelas, dapat berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang. Ketentuan dalam Pasal-pasal yang tidak jelas dan sumir merupakan bentuk pelanggaran atas konsep negara hukum.
Kebabasan berpendapat harus diatur sedemikian rupa, sehingga tidak melukai hak-hak orang lain. Tanpa hukum yang mengatur, kebebasan menjadi liar, dan bisa jadi akan saling bertabrakan antara hak satu orang dengan orang lainnya. Negeri ini telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum. Semua harus tunduk pada hukum.
Salah satu indikasi negara hukum, adalah ditegakkannya HAM. Dengan demikian negara hukum tanpa mengakui, menghormati dan melaksanakan sendi-sendi HAM tidak dapat disebut sebagai negara hukum. Negara hukum  akan lahir apabila bertambah kesadaran hukum dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, semakin dekat pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna.
Kebebasan berpendapat, hendaknya diletakkan pada nilai positif, bukan negatif. Kebebasan dinilai sebagai sesuatu yang negatif, saat kebebasan dianggap bebas dari ikatan-ikatan. Ketika manusia berada dalam konstruksi kemasyarakatan, maka ide kebebasan tidak bisa lagi dinilai secara sederhana, tidak lagi semata-mata bebas dari ikatan, namun ide kebebasan dianalogikan menjadi prinsip penentuan kehendak sendiri.
Dalam masyarakat, akan terbentuk pemilahan-pemilahan ide atau kehendak. Berbagai pendapat mengenai sebuah persoalan akan muncul secara acak. Dari titik inilah muncul pola kepentingan yang berujung pada adanya kelompok-kelompok suara masyarakat, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Inilah yang kemudian melahirkan kompromi.
Salah satu esensi demokrasi terletak pada ada tidaknya sebuah kompromi yang menyatukan perbedaan pendapat, untuk menentukan sebuah tatanan bagi landasan sebuah negara. Prinsip kompromi adalah penyelesaian sebuah masalah. Dalam konteks inilah kelompok-kelompok masyarakat bisa berperan dalam pembentukan hukum, yang mengatur kebebasan. Hukum mengatur kebebasan, agar tertib. Hukum mengatur kebebasan agar seseorang dimungkinkan dan tidak dipaksa untuk melakukan suatu perbuatan dan juga mengatur seseorang bebas berbuat untuk mencapai apa yang diinginkan. Inilah yang membatasi kebebasan.
Tonakodi teringat ajaran gurunya, kaitan kebebasan berpendapat dengan HAM. Sang Guru menyatakan keprihatinannya, atas perkembangan masyarakat akhir-akhir ini. Atas nama demokrasi, kebebasan berpendapat, dan bersembunyi di balik nama besar HAM, orang per orang ataupun antar kelompok masyarakat, kelompok kepentingan sangat mudah menghakimi orang dan kelompok lain, menebar kebohongan, menghujat, mencerca, dan bahkan menyatakan ujaran kebencian secara terang-terangan.
Kebebasan berpendapat bukan untuk menistakan orang dan kelompok lain. Kebebasan berpendapat harus dalam kerangka menghormati hak orang lain, perasaan orang lain. Dalam perspektif orang Jawa disebut tepo seliro. Kalau tidak seperti itu, yang terjadi adalah chaos, kekacauan, kata Sang Guru.
Tidak ada konsep HAM yang sempurna di dunia ini. Banyak negara bicara HAM dan berkiblat ke negara-negara seperti Amerika. Apa benar HAM di sana cocok untuk kita? Apa benar tidak ada pelanggaran nilai kemanusiaan atas nama HAM di sana?
Di Amerika tutur Sang Guru, apapun bisa dilakukan asal tidak menyerang kepentingan Yahudi. Prinsip universal HAM yang mereka ekspor ke berbagai negara, tidak berlaku di hadapan Yahudi. Bagi Amerika, Yahudi di atas nilai HAM. Yahudi yang terbaik.
Kita coba lihat Jerman. Orang Jerman sampai hari ini, di hati mereka masih mengakui dan mengunggulkan ras Arya. Di Prancis, Belanda, Italia, tidak bisa orang jadi presiden atau perdana menteri kalau tidak menganut agama tertentu. Di negara Eropa lainnya, bahkan agama tertentu dilarang. Lucunya, negara dan masyarakat kita selalu berkiblat soal demokrasi, HAM dan modernitas ke negara-negara itu, kata Sang Guru.
HAM universal itu lanjut Sang Guru, sederhana. Hak dasar untuk hidup dan selanjutnya menggunakan kehidupan untuk berbuat baik. Manusia dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabikul khairat. Artinya, siapa manusia yang berbuat baik itulah yang mengakui dan menjalankan HAM. HAM harus dimaknai sebagai perbuatan baik. Jangan perbuatan buruk disandarkan atas nama hak asasi. Hak dasar itu cuma satu, hak untuk hidup. Selebihnya itu hak turunan, kata kunci hak-hak turunan itu bagaimana bisa menjalani hidup dengan baik dan dipenuhi kebaikan.
“Masing-masing, orang, kelompok dan bahkan tiap peradaban kan punya batasan baik yang berbeda, Guru”.
“Benar. Tapi ada kebaikan yang tidak berbeda satu sama lain. Tanya nilai kebaikan itu pada dirimu, tanya pada setiap hati anak manusia pasti sama. Karena manusia itu diciptakan dengan bekal hanif, hati yang lurus. Hati yang terpaut pada Tuhan,” jelas Sang Guru.
Ambil contoh soal kebebasan berpendapat, tidak ada manusia satupun di dunia ini yang suka di caci maki, dicemooh, dihujat, dilecehkan, dan disajikan berita bohong atau hoax. Artinya, kalau kita tidak suka diperlakukan sama, jangan berbuat seperti itu. Bebas harus dimaknai dalam prinsip kemanusiaan. Jangan mencubit kalau tidak ingin dicubit.
“Tanyalah pada al hanif dalam hatimu yang cenderung pada kebaikan dan kebenaran. Itu titik awal untuk berlomba dalam kebaikan, fastabikul khairat. Sekali lagi, kebebasan dan HAM harus kita maknai dalam kerangka fastabikul khairat. Hoax, caci-maki, kebencian dan sejenisnya itu bukan HAM,” kata Sang Guru. ***


Tana Kaili, 28 Feb 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu