Pemimpin Bijak dan Bajik

Oleh: Temu Sutrisno

TIDAK mudah menjadi pemimpin bijak dan bajik. Bajik dan bijak, yang merupakan dasar kebajikan dan kebijakan, mudah diucapkan teramat sulit dilakukan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (online), bajik atau kebajikan diartikan sebagai sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, keberuntungan, dan sebagainya perbuatan baik. Padanannya adalah amal, etika, jasa, kebaikan, keelokan, moralitas, dan tata susila.
Sementara bijak berarti selalu menggunakan akal budi, pandai, mahir. Bijak, suatu cerminan sikap dan perilaku terhadap sesuatu yang dilihat, berdasarkan apa yang dipikirkan secara tepat dalam kondisi seperti apapun, dan mampu mengambil makna penting dari setiap kejadian.
Bijak juga berarti oaring yang mampu bersikap obyektif, mampu berinteraksi dengan orang lain dengan baik dan adil, tenang, tidak terburu-buru, dan mampu bersikap ‘mengorangkan’ orang lain.
Kedua kata bijak dan bajik, merupakan pijakan moral bagi setiap orang. Lebih-lebih bagi pemimpin. Dengan memegang dan mengamalkan dua kata sakti ini, setiap pemimpin bakal jernih melihat setiap persoalan, tidak mudah tersinggung, apalagi marah pada orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang bijak, akan senantiasa menjalankan kebajikan. Pemimpin yang berjalan pada rel kebajikan, akan mengedepankan kepentingan dan kebutuhan rakyat atau orang-orang yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, berselingkuh dengan pikiran dan keinginannya sendiri.
Dalam sejarah peradaban Islam,  Khalifah Umar bin Khattab menyontohkan perilaku bijak penuh kebajikan, dengan membela kepentingan seorang Yahudi miskin. Umar bin Khattab suatu hari didatangi seorang Yahudi tua yang mengeluh kepadanya mengenai masalah rumahnya yang terancam digusur penguasa demi kepeningan umum, ketertiban, dan keindahan.  Dia pun keras memprotes program Gubernur Mesir, Amru bin Ash, yang akan membangun rumah megah di atas tanah miliknya.
Dia menceritakan kepada Khalifah Umar, bila Gubernur Mesir Amr bin Ash meminta kepada agar meninggalkan tempat yang kumuh dan rumah yang reyot karena di situ akan dibangun sebuah rumah gubernur dan masjid yang megah. Amr bin Ash memutuskan melalui surat untuk membongkar gubuk reyotnya dan mendirikan masjid besar di atas tanahnya dengan alasan yang sama, yakni demi kepentingan bersama dan memperindah pemandangan mata. Yahudi tua itu menolak.
Kepada Umar dia mengatakan tetap tak mau memberikan tanah dan rumahnya untuk dijual kepada sang Gubernur Mesir tersebut. Warga pemeluk agama Yahudi ini tetap berkeras tak mau menjual tanahnya. Yahudi tua itu menangis.
Melihat itu, Umar bin Khattab mengirimkan sebuah tulang yang digaris lurus dengan pedangnya pada Amru bin Ash, melalui Yahudi tua. Mendapati tulang tersebut, Amru bin Ash terduduk lunglai dan menangis.
Kenapa engkau menangis ya Gubernur? tanya si Yahudi tua heran.
Tahukan engkau wahai orang tua, Khalifah Umar mengingatkan aku agar selalu bertindak lurus. Khalifah ingin aku memberlakukanmu dengan adil. Jika tidak, maka Khalifah akan datang padaku dan menghukum dengan pedangnya, terang Amru bin Ash.
Apa hikmah yang dapat ditarik dari kisah Umar, Yahudi Tua, dan Amru bin Ash? Pertama, setiap permimpin harus mendengar kritik, aspirasi, kepentingan, dan kebutuhan rakyat atau orang yang dipimpinnya. Pemimpin bijak tidak akan mudah tersinggung, atau memarahi rakyatnya. Harus disadari, bahwa rakyat terdiri dari banyak golongan, beda latar sosio kultural, beda taraf pendidikan dan beda cara komunikasi. Pemimpin yang bijak mesti arif memahaminya.
Kedua, pemipimpin harus adil pada siapapun, meski yang bermasalah seseorang yang bukan dari kelompok atau golongannya. Itulah kebajikan seorang pemimpin. ***

Tana Kaili, 24/1/2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu