Polemik Impor Beras, Pertanu Dukung Bulog



KETUA Pertanu, Asgar Djuhaepa, saat panen raya 
bersama petani di Karawang Jawa Barat, Agustus 2018 lalu. 
FOTO: DOK. ASGAR AD
PALU-Terkait polemik impor beras antara Menteri Perdagangan dengan Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso, Persatuan Tani Nusantara (Pertanu) mendukung kebijakan Bulog agar tidak dilakukan impor beras sampai 2019.
Ketua DPP Pertanu, Asgar Ali Djuhaepa, di Palu (20/9/2018) menyatakan menyambut gembira pernyataan Budi Waseso. Impor beras saat ini kata Asgar, sangat merugikan petani.
“Pertanu juga meminta Menteri Perdagangan untuk tidak mengimport beras. Petani sangat dirugikan adanya kebijakan impor, karena baru panen Agustus - September 2018,” kata Asgar.
Dicontohkan Asgar, di Karawang Jawa Barat sebagai salah satu sentra produksi beras nasional, petani pada awal September menjual Beras dengan harga Rp 8.900.000,-/Ton kepada Pedagang beras Pasar Karawang. Namun pertengahan September harga turun menjadi Rp 8.500.000,-/Ton.
“Kenapa begitu? Karena banyak beras impor di pasar. Dengan harga Rp 8.900.000,-/ Ton saja, petani sudah sulit mendapat keuntungan, setelah dikurangi biaya buruh atau kerja, pupuk, perawatan, biaya panen dan pasca panen,” ulasnya.
Ironisnya lanjut Asgar, bidang pertanian saat ini tidak menarik bagi angkatan kerja muda. Banyak pemuda yang enggan bekerja sebagai petani.
“Pertanian bukan lagi pekerjaan yang diinginkan banyak kelompok muda. Artinya, pertanian saat ini, berpotensi tidak berkembang sepadan dengan kebutuhan pangan nasional. Untuk itu, pemerintah harus hati-hati mengeluarkan kebijakan soal pertanian, seperti impor yang tidak memihak pada petani,” ujarnya.
Pertanu selain mengadvokasi dan memberdayakan petani Indonesia, juga mengampanyekan kesadaran pentingnya peran sektor pertanian dalam menyangga pembangunan.
“Pemerintah juga perlu mendorong pola pertanian produktif  dan melindungi petani. Selama ini salah satu penyebab semakin berkurangnya minat masyarakat menjadi petani adalah dikarenakan rasio antara kerja dan penghasilan yang mereka peroleh tidak imbang. Mereka, para petani ini mendapat laba yang sangat kecil dari usaha mereka menggarap lahan pertanian. Hal ini disebabkan antara lain oleh mahalnya bibit, mahalnya pupuk dan obat-obatan kimia, dan mahalnya peralatan pertanian yang harus dibeli petani. Biaya yang sangat tinggi yang harus dikeluarkan petani menjadi persoalan pelik yang menyebabkan masyarakat, menganggap berprofesi sebagai petani sama sekali tidak menguntungkan,” imbuh Asgar.
“Untuk itu pemerintah perlu menyeriusi masalah pertanian dengan berbagai terobosan yang melindungi dan memberdayakan. Tentu saja, anggaran juga harus digelontorkan dengan persentase yang cukup besar. Jika pertanian mati, bangsa kita tidak akan pernah mandiri. Bangsa ini akan menggantungkan pangannya pada bangsa lain, dengan kebijakan impor berbagai komoditi pangan,” tegas Asgar. TMU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu