Belajar Kejujuran dari Penjual Kopi



Jika kejujuran menjadi hati dan jati diri bangsa, setan pun akan stres berat, karena kesulitan melahirkan koruptor-koruptor baru. Eh...Jangan-jangan setan tidak pernah stres dan tak perlu rumah sakit khusus? Entahlah. Toh setan memang jiwa yang rusak dari sananya.


Oleh: Temu Sutrisno


Senin sore penghujung bulan April 2014, saya bersama kawan Itho menemani Habib Farid Alhabsyi, kolega di organisasi dulu saat masih aktiv di gerakan mahasiswa. Habib Farid datang ke Palu dalam rangka tugas dari tempat kerjanya saat ini, di sebuah kementerian negara.
Seperti biasa, teman-teman dari luar daerah kalau ke Palu ingin menikmati suasana pantai atau mencicipi makanan khas Palu. Setelah sehari sebelumnya mencicipi Kaledo, giliran sore jalan-jalan ke pantai Talise.
Di ujung Jalan Komodo kami memilih salahsatu lapak yang menjual kopi, saraba, pisang goreng, kentang goreng, dan jagung bakar. Panorama Pantai Talise sore hari, dengan belaian angin sedikit keras, kami banyak berbincang tentang kondisi bangsa.
Perbincangan tidak jauh dari tema-tema saat jadi aktivis mahasiswa dulu. Mulai dari banyaknya kasus korupsi, dugaan permainan suara dan money politic dalam Pemilu, penegakkan hukum, hingga perkembangan Indonesia di era otonomi daerah.
Perbincangan aktivis beda angkatan makin terasa hangat dengan teman secangkir kopi, pisang geppe, dan jagung bakar.
Asyik menikmati minuman dan cemilan, tak terasa azan maghrib mengumandang. Kami pun bergegas menuju masjid Jalan Domba, tidak jauh dari pantai. Usai salat, kami menuju makam Habib Sayid Idrus bin Salim Al Jufri, penyiar Islam di Kota Palu dan kawasan timur Indonesia, yang lebih dikenal dengan sebutan Guru Tua, untuk ziarah.
Sampai di makan GuruTua, Habib Farid mengambil mushaf Al Quran dan mengaji. Setelah itu membaca doa secara khusyu. Ziarah ke makam Guru Tua, sepertinya bagi Habib Farid merupakan tradisi. Saya sendiri telah tiga kali menemani Habib Farid ziarah ke makam Guru Tua, disela-sela kunjungan kerjanya ke Palu, sebelum kunjungan hari ini.
Setelah ziarah dan berdoa, Habib Farid baru sadar, dompetnya tidak ada. Akhirnya kami harus kembali menyusuri tempat yang telah disingahi. Pilihannya ke masjid di jalan Domba dulu atau pantai.
Saya sarankan, kami ke pantai dulu di lapak penjual kopi.
"Kalau hilang, bukan soal uangnya. Tapi mengurus kartu-kartu yang ada di dompet itu," kata Habib Farid.
Sampai di lapak yang kami tempati tadi, ibu penjual kopi tergopoh-gopoh mendekati mobil, sebelum mobil yang kami tumpangi berhenti.
Begitu pintu saya buka, ibu tadi langsung menyodorkan dompet dan mengatakan," ini dompet bapak ketinggalan. Saya tidak tahu isinya, saya tidak buka".
Dompet saya terima langsung saya serahkan ke Habib Farid dan tidak lupa menyampaikan terima kasih pada ibu tadi.
Habib Farid membuka dompetnya dan menarik beberapa lembar rupiah, sekadar ucapan terimakasih dan rasa syukur dompetnya ketemu.
Ibu tadi menolak dan terus menolak saat disodorkan Habib Farid. "Tak usah pak, begitu memang disini. Tidak boleh ambil barang orang," katanya.
Malam itu, kami pun mendapat pelajaran berharga. Kejujuran dari ibu penjual kopi. Bahkan kami tidak mengenal namanya. Tapi dia tetap menjunjung kehormatan dirinya, dengan tidak mengambil barang yang bukan haknya.
Ia menolong menyelamatkan milik orang lain tanpa pamrih. Ibu penjual kopi, kami belajar darimu: Ternyata masih ada kejujuran di hati rakyat, meskipun di Indonesia banyak pejabat yang korup. Meski disana-sini banyak orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Seandainya pendidikan di Indonesia mampu membentuk sikap jujur secara massif pada seluruh masyarakat, akan banyak bermunculan ‘kejujuran ibu penjual kopi’ di Indonesia.
Bukankan salah satu tujuan pendidikan membangun karakter bangsa yang beriman dan bertakwa. Bukankah melatih kejujuran dan melahirkan jiwa yang bersih bagian dari tugas pendikan? Karena kejujuran menunjukkan iman dan takwa. Jika kejujuran menjadi hati dan jati diri bangsa, setan pun akan stres berat, karena kesulitan melahirkan koruptor-koruptor baru. 
"Jangan-jangan setan tidak pernah stres dan tak perlu rumah sakit khusus? Entahlah. Toh setan memang jiwa yang rusak dari sananya". ***



Tana Kaili, 28 April 2014


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu