Buaya, Pelakor, Pelapor


Oleh: Temu Sutrisno


Minggu pagi yang cerah. Pantai Tumbelaka tenang tanpa gelombang. Riak air pecah menyapa tepian pantai. Seperti biasa, saban akhir pekan pantai itu dipenuhi orang berenang.
Riuh rendah tawa, canda mewarnai sekelompok orang dewasa pagi itu. Mereka memang rutin berenang di pantai itu, sekadar refreshing. Pun ada yang memanfaatkannya sekadar untuk silaturahmi, ketemu teman sejawat ataupun kawan sepembawaan.

Suasana adem, santai tiba-tiba berubah. Geger! Hampir semua yang berenang menepi. Sebagian jatuh bangun untuk menjangkau bibir pantai. “Buaya, buaya, buaya. Cepat naik,” teriak beberapa orang.
Ditengah suasana panik penikmat pantai, agak ke tengah terlihat seekor buaya berenang perlahan. Semua heran dan merasa aneh, ada buaya di pantai. Tidak berani berbuat lebih, pengunjung pantai membiarkan buaya lewat.
Setelah dirasa aman, mereka kembali berenang dengan sesekali menoleh, melihat-lihat kanan kiri. Jangan-jangan masih ada buaya di sekitaran tempat mereka berenang.
Toma Yojo dengan beberapa temannya tidak lanjut berenang. Mereka memilih duduk-duduk di bawah Talise, atau pohon ketapang.
“Kenapa ada buaya di pantai. Baru sekali selama saya tinggal di sekitar pantai ini, lihat buaya lewat,” ucap Amar membuka perbincangan.
“Iya le, saya juga baru ini lihat. Kalau di sungai, biasa. Di dekat jembatan empat, jembatan satu dan dua memang biasa muncul buaya,” timpal Udin.
Toma Yojo terdiam. Tak kunjung menyahuti bincang kawan-kawannya. Setelah sekian lama, akhirnya ia turut meramaikan perbincangan seputar buaya.
“Bukan hanya di sini, di Papua, Jakarta, Sulbar, dan beberapa tempat lain juga muncul fenomena buaya. Buaya mulai berani menampakkan diri. Malah di Papua ratusan buaya dibantai, karena ada korban. Buaya mulai menyerang orang,” kata Toma Yojo.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Dedi.
Buaya-buaya ini, kemungkinan pertama terganngu habitatnya. Lingkungan mereka rusak dan terdesak oleh manusia, ujar Toma Yojo.
“Lingkungan rusak, makanan mulai berkurang. Sungai mulai tercemar, sampah di sana-sini. Akhirnya buaya mencoba mencari lingkungan alternatif. Mereka mencari habitat baru, yang lebih tepat untuk kehidupan mereka”.
Kemungkinan kedua, lanjut Toma Yojo, buaya protes. Selama ini buaya dihina dipersepsi buruk oleh manusia.
Buaya merupakan binatang yang setia dengan pasangannya. Tapi manusia hidung belang, dicap sebagai buaya darat. “Ini menyinggung perasaan buaya, hehehehe,” kata Toma Yojo disambut gelak tawa teman-temannya.
Ya, dalam kehidupan nyata, kesetiaan buaya jantan diwujudkan dengan selalu melindungi pasangan serta telur mereka dari ancaman para predator. Tapi manusia merampas kehormatan buaya, dengan istilah buaya darat untuk mendeskripsikan seorang pria yang mempunyai sifat tidak setia terhadap pasangannya.
Konon katanya, apabila si betina terlebih dahulu mati, maka buaya jantan tidak akan kawin lagi atau mencari pasangan lain. Wuih, luar biasa! Ini harusnya jadi pelajaran untuk manusia.
“Itu sebabnya, dalam budaya Betawi, buaya justru dijadikan simbol kesetiaan dan kelanggengan dalam sebuah hubungan. Roti buaya menjadi sajian wajib dalam acara pernikahan tradisional Betawi,” Toma Yojo mulai serius.
Alternatif ketiga, cuap Amar tiba-tiba, buaya ingin memberi pelajaran bahwa saat ini banyak ‘Pelakor’ bergentayangan.
“Maksudnya,” tanya Andi yang sedari awal perbicangan lebih banyak diam dan menikmati pisang goreng.
“Hahahahaha, bukan hanya laki-laki buaya darat yang tidak setia. Ada juga perempuan perebut laki orang, Pelakor. Kita kan tidak tahu, tadi buaya jantan atau betina yang lewat dan protes. Bisa jadi protesnya untuk laki-laki dan perempuan yang tidak setia,” jelas Amar.
Andi dan Dedi manggut-manggut.
Boleh juga untuk mengimbangi istilah Pelakor, sekaligus menenangkan buaya agar tidak protes, bagaimana kalau istilah buaya darat kita ganti dan populerkan dengan istilah ‘Pelapor’, celutuk Toma Yojo.
Apa itu Pelapor? Kepanjangan dari pembawa lari perempuan orang. Boleh juga untuk sebutan Pembuat layu anak perempuan orang.
“Dengan istilah baru, semoga buaya tidak protes dan mereka kembali ke habitatnya. Manusia dan buaya bisa kembali hidup berdampingan dalam keseimbangan alam,” usul Toma Yojo.
Hahahahaha..boleh, boleh. Sambut teman-teman Toma Yojo.
Tak terasa sinar matahari mulai memanas. Mereka pun bubar dengan satu harapan, buaya tidak lagi protes. Orang yang tidak setia dengan pasangannya sudah punya istilah baru, ‘Pelakor’ dan ‘Pelapor’. ***

Tana Kaili, 10 Agustus 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu