Tonakodi-Bangun Lagi, Rusak Lagi, Bangun Lagi…
Oleh: Temu Sutrisno
MASIH ingat lagu Mbah Surip? Bangun tidur, tidur lagi,
bangun tidur, tidur lagi…banguuunnn…tidur lagi. Lagu Mbah Surip sepertinya
mirip dengan perbaikan beberapa infrastruktur di Palu. Bangun lagi, rusak lagi,
bangun lagi, rusak lagi.
Tana Kaili, 9 Agustus 2018
SALAH satu sudut jalan rusak di Kota Palu. Foto: Dok. Bappeda Palu (http://bappeda.palukota.go.id) |
Proyek infrastruktur jalan di Setia Budi-S. Parman satu
paket dengan Jl. MH Thamrin menghabiskan anggaran miliaran rupiah, belum genap
satu tahun mulai rusak di beberapa titik. Apakah kualitas pekerjaan bermasalah?
Sepertinya bukan karena kualitas pekerjaan. Kerusakan disebabkan kebocoran pipa
PDAM. Air merembes keluar dan mengalir di badan jalan. Air sejatinya menjadi
musuh utama jalan. Perlahan namun pasti, aliran air akan merusak aspal.
Di beberapa titik seperti perempatan S. Parman-Suprapto,
PDAM menggali badan jalan dan trotoar untuk perbaikan pipa. Jalan dan trotoar
rusak, air tetap mengalir. Sebelumnya penggalian juga dilakukan di perempatan
Setia Budi. Satu pihak, Pemkot membangun jalan, memperbaiki infrastruktur. Lain
pihak, PDAM dengan maksud memperbaiki pipa untuk peningkatan layanan air minum,
malah merusak jalan dan trotoar yang baru dibangun.
Di titik yang sama, bekas potongan pipa tiang traffic light
menonjol di badan jalan. Besi runcing tersebut bukan saja mengganggu keindahan,
tapi juga berbahaya untuk pejalan kaki
ataupun pemakai jalan lain.
Di beberapa ruas jalan lainnya seperti Ki Maja dan Haji
Hayun, masyarakat menambah aspal atau semen di bibir cansting jalan. Alasannya
agar kendaraan mudah naik melewati trotoar. Aneh dan terasa lucu. Masyarakat
dengan mudah akan menyalahkan pemerintah, jika infrastruktur jalan rusak dan
tak kunjung diperbaiki. Saat pemerintah membangun, ada yang merusaknya. Bangun
lagi, rusak lagi, bangun lagiiii…rusak lagi.
Di Jalan Dewi Sartika, masyarakat membongkar plat penutup
drainase. Air meluap, pemerintah dirasakan lambat melakukan penanganan.
Di Jalan Diponegoro setiap hujan, masyarakat di sebelah
jalan kebanjiran. Tidak jalan lain, air yang kebingungan mencari jalan,
diselamatkan warga dengan membongkar median jalan. Air yang menggenang
menemukan jalannya, tidak lagi kebingungan. Warga juga merasa nyaman, karena
air tidak lagi mengepungnya.
Kedua ruas jalan itu statusnya bukan jalan kota. Masyarakat
tidak mau tahu. Mereka hanya tahu jalan itu ada dalam kota. Soal status dan
kewenangan itu nomor seratus. Pemerintah harus bertanggungjawab mengurusnya.
Pemerintah terdekat, ya Pemerintah Kota.
Pemandangan yang sama juga Nampak di lorong-lorong atau
jalan permukiman. Saat jalan bolong-bolong, pemerintah salah. Begitu jalan
mulus, mulai dipasang irisan ban bekas, pasang ‘polisi tidur’ atau pita kejut
dari semen. Jalan yang pada awalnya nyaman, kembali bergelombang.
Siapa yang salah? Ah..sudahlah tidak usah saling tunjuk. Toh
satu jari menunjuk, tiga atau empat jari yang lain menunjuk kearah yang
berbeda.
Bisa jadi ini dimulai dari perencanaan yang tidak terintegrasi antara satu instansi dengan
instansi lainnya. Siapa kerja apa, kapan waktunya, berapa anggarannya bagaimana
metodenya dan seterusnya. Hari ini dibangun, besok atau lusa dibongkar instansi
lainnya. Bangun lagi, rusak lagi, bangun lagiiii…rusak lagi.
Bukan hanya perencanaan terintegrasi. Masyarakat juga harus
sadar dan disadarkan untuk menjaga dan
merawat hasil pembangunan. Harapannya bangun, rusak, bangun lagi tidak terjadi.
Habis anggaran hanya untuk proyek yang sama, itu dan itu lagi.
Bukan hanya infrastruktur jalan. Di beberapa taman sebagai
ruang terbuka hijau juga mengalami hal yang sama. Ada taman tanpa lampu. Tiang
berdiri, lampu mati. Kenapa? Karena masih ada warga yang suka kegelapan. Lampu
yang terang benderang sengaja dipecahkan. Gelap!
Jangan ada pembongkaran jalan, pembongkaran trotoar,
pembuatan ‘polisi tidur’ di tengah jalan mulus, jangan ada yang merusak
fasilitas taman. Siapa bertanggungjawab?***
Tana Kaili, 9 Agustus 2018
Komentar
Posting Komentar