Tonakodi-Baliho Masuk Surga


Oleh: Temu Sutrisno



MALAM makin larut. Mata Tonakodi tak juga terpejam. Beberapa buku habis dibaca. Tiba-tiba Tonakodi seperti tersedot ke dunia lain. Tonakodi mendarat di sebuah tanah agak tinggi. Di hadapannya terbentang tanah lapang. Tonakodi merasa asing dengan tempat dan suasana itu. Banyak manusia berkumpul di tempat itu.

Sekumpulan orang di ujung lapangan tampak rebut. Mereka melakukan protes pada beberapa sosok putih bersinar. Tonakodi tidak beranjak dari tempatnya. Ia terus memerhatikan orang-orang yang protes.

“Hei, kenapa kami diarahkan dan digiring ke gerbang neraka. Padahal kami banyak berbuat kebajikan. Ini tidak adil,” protes salah satu dari mereka.

Sosok putih dengan kalem menjawab. Bahwa ia hanya menjalankan perintah Tuhan. Kelompok itu makin ribut dan terus protes.

“Baiklah, kalau kalian minta keadilan. Biarkan malaikat pencatat amal kalian membuka dan membaca catatannya. Apa yang membuat kalian harus masuk ke gerbang neraka, tercatat di buku itu,” kata sosok putih tadi.

Sosok putih lainnya segera maju. Ia membuka catatannya. “Kalian hai si Fulan, kerjanya hanya mengotori lingkungan tempat ibadah. Setiap saat pasang spanduk dan baliho, di tempat ibadah. Kalian, alih-lih ke tempat ibadah, beribadah pun tidak”.

Kalian punya telinga. Tapi tidak pernah digunakan untuk mendengar nasehat, ceramah agama dan kebenaran. Kalian memiliki mata. Tapi tidak untuk melihat penderitaan orang. “Hai Fulan, kalian punya mulut, tapi hanya digunakan untuk janji-janji, hanya mengumbar ujaran kebencian pada lawan politik. Bukan untuk menyeru kebaikan dan berzikir pada Tuhan”.

“Tapi kami telah berjuang untuk masyarakat. Apakah itu bukan kebaikan, apakah itu sama sekali tidak bernilai ibadah?” sergah Fulan.

Baik. Mari kita buka catatan ini, kata Malaikat. “Saat menjabat, adakah niat untuk beribadah, untuk kemaslahatan banyak orang karena Tuhan? Tidakkah kalian hanya memperjuangkan kepentingan diri sendiri, keluarga dan kelompok kalian. Masyarakat mana yang kalian perjuangkan? Bukankah kalian sudah ambil keuntungan di dunia, terima fee kanan kiri?, kalian jual nama masyarakat, padahal untuk kepentingan diri sendiri. Apakah itu bukan kebohongan?”

Tidakkah kalian ingat, hanya spanduk dan baliho yang tersenyum pada masyarakat? Saat kalian lewat, bukan sapa bukan senyum. Kalian tutup rapat kaca kendaraan kalian? Ya, kalian hanya tersenyum manis hanya pada masa-masa kampaye dan waktu pemilihan.

“Masih banyak cacatan di sini. Apakah perlu dibacakan semua? Cukup, cukup hanya itu diungkap. Bagaimana langkah kaki kalian, bagaimana gerak tangan kalian? Ini terimalah kitab catatan kalian masing-masing dan baca. Biarlah spanduk dan baliho kalian saja masuk surga. Selama ini hanya spanduk dan baliho yang mendekat ke rumah ibadah. Kalian? Bahkan sepatu dan sandal kalian pun tidak pernah menyentuh emperan rumah ibadah. Hanya spanduk dan baliho kalian yang mempersaksikan ceramah agama, ajakan kebaikan, kejujuran dan menepati kebenaran yang disampaikan para alim ulama. Biarlah spanduk dan baliho yang masuk surga, karena itu yang tersenyum pada setiap orang yang lewat, orang yang menatapnya. Sementara kalian, berperilaku sebaliknya,” seru Malaikat.

Tonakodi terus memerhatikan orang-orang di tanah lapang. Sebagian kelompok digiring ke kanan, ke gerbang terang benderang. Kelompok yang protes tadi digiring ke kiri, ke arah lorong gelap.

Assalatu khairum minan naum…assalatu khairum minan naum.

Tonakodi terhenyak, buku jatuh ke lantai. Adzan subuh telah berkumandang.
Segera Tonakodi bangkit menuju sumber mata air. Dinginnya air wudhu membuat Tonakodi kembali segar. Ia bersyukur, hari itu telah diberikan penglihatan mencerahkan.***




Tana Kaili, 7 Mei 2018











Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu