Tonakodi-Manusia Purba dan Tulisan


Oleh: Temu Sutrisno




ERA sejarah dimulai dengan penemuan tulisan. Tulisan menjadi penanda, batas antara manusia sejarah dan manusia prasejarah. Setidaknya, rumusan sederhana itu menjadi cara termudah menjelaskan perbedaan manusia sejarah dan prasejarah, manusia purba dan modern.
“Itu yang selalu saya ingat dari penjelasan guru SMP, saat saya kelas satu. Atas dasar itu, saya mencoba selalu menulis. Menulis apa saja,” kata Tonakodi, berbincang dengan karibnya dari Nusantara.

Ya, hari itu Tonakodi kedatangan sahabat lama yang kini berprofesi sebagai staf pengajar di sebuah perguruan tinggi. “Sayangnya, gerakan literasi, tulis menulis tidak menarik sebagian besar warga di Negeri Beribu Pulau ini. Banyak yang tidak tahu menulis. Padahal mereka mengklaim sebagai manusia modern,” cerocos Tonakodi.
Di negeri kami, sambung sahabat Tonakodi, gerakan tulis menulis juga menjadi hantu bagi banyak kalangan.

“Bukan hanya masyarakat umum, kami yang bergelut dalam dunia ilmiah, dunia akademis juga banyak yang enggan menulis. Alih-alih menulis untuk publikasi di jurnal internasional, sekadar nulis artikel atau opini di media bisa dihitung orangnya. Ada juga yang menulis, tidak dibarengi data dan analisis tidak akurat. Sekadar nulis. Itu pamali sebagai seorang akademisi. Tapi paling tidak dia sudah menulis, tidak seperti yang lain,” timpal sang sahabat.

Wah..sama kondisinya dengan banyak akademisi di Negeri Beribu Pulau ini, ujar Tonakodi. Beberapa waktu lalu, Menteri Negeri sempat mengeluarkan ancaman bagi Maha Guru dan Madya Guru tidak akan mendapatkan tunjangan kehormatan, lantaran mereka tidak menunaikan kewajiban publikasi di jurnal internasional. “Ribuan Maha Guru dan Madya Guru bakal kehilangan tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan, karena lupa menulis,” beber Tonakodi.

Mata Tonakodi menerawang, membayangkan betapa krusialnya masalh tulis menulis di negeri ini.

Ini kondisi darurat. Kalau Maha Guru dan Madya Guru tidak tahu lagi menulis, bagaimana nasib anak bangsa kedepan? Tidak menulis di jurnal ilmiah, tidak juga menulis di berbagai media. Akankah anak-anak kedepan kembali ke masa purba, masa prasejarah?

“Pemerintah harus tegas. Harus ada terobosan menyusun program kegiatan untuk mendorong gerakan literasi,” sahut sahabat Tonakodi.

Benar! Tonakodi sepakat dengan pernyataan sahabatnya. Penguasa negeri tidak boleh terlena dengan program-program populis semata, seperti peningkatan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi atau sekadar bagi-bagi sembako.

“Saya setuju, harus didorong terus gerakan literasi. Membaca dan menulis adalah pondasi peradaban. Menulis untuk keabadian, verba polant scripta manent. Omongan akan segera dilupakan, tulisan akan abadi,” kata Tonakodi.

Ya Tuhan, gerakkan hati dan berikan kemampuan hamba-hamba-Mu untuk menulis dengan benar. Jangan biarkan mereka kembali menjadi manusia purba, manusia prasejarah. ***




Tanah Kalili, 26 April 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu