Perjalanan Dinas Rp111 Miliar, Kesmas Rp3,2 Miliar
Oleh: Temu Sutrisno
Tingginya temuan kasus gizi buruk di beberapa
wilayah Sulteng, menunjukkan masih banyak masyarakat miskin dan hampir miskin. Kondisi
ini berbanding terbalik dengan kampanye pemerintah Sulteng, yang menyatakan
angka kemiskinan turun sekitar dua persen pertahun.
Data terbaru, seperti yang dirilis Mercusuar edisi
Senin (16/2), kasus gizi buruk di Kabupaten Morowali awal 2009 ini berjumlah
tujuh kasus. Dari sisi kuantitas, jumlah tersebut jauh melampaui angka
rata-rata kasus gizi buruk di Sulteng pada 2008 lalu dimana per bulannya tiga
kasus.
Tahun 2008, kasus gizi buruk pada Balita juga
terjadi pada hampir semua wilayah Sulteng. Kasus terbesar terjadi di Kabupaten
Donggala. Dinas Kesehatan Sulteng menemukan 102 kasus di kabupaten tertua di Sulteng ini. Menyusul
Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) sebanyak 39 kasus dan Buol 29 kasus. Kasus gizi buruk pada balita paling sedikit
terjadi di Kabupaten Poso, atau hanya 1 kasus.
Berdasarkan data data Ditjen Bina Kesehatan
Masyarakat Depkes, tingkat prevalensi
gizi buruk pada balita di Sulteng 8,9 persen, dari standar Depkes 5,4
persen. Artinya setiap 100 balita di Sulteng, 8-9 yang terkena gizi buruk.
Kabid Sarana dan Jaminan Kesehatan Dinkes Sulteng
Dra Masdiana Ain MKes mengatakan, total balita yang terkena gizi buruk di
Sulteng sebanyak 268 balita. 16 balita diantaranya meninggal dunia.
Masdiana mengatakan data tersebut berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Dinkes serempak pada sepuluh kabupaten/kota di Sulteng per
Juni 2008.
Tahun 2009, diungkapkan Masdiana total alokasi
anggaran APBD untuk Dinkes adalah Rp 21 miliar lebih. Sekira 5 persen
diperuntukkan untuk penanganan gizi buruk.
Berdasarkan data redaksi Mercusuar anggaran untuk kesehatan masyarakat miskin relatif sangat
kecil jika dibandingkan dengan pos anggaran lainnya. Tahun 2009 ini, APBD
Sulteng hanya menganggarkan Rp3,2 miliar untuk program upaya kesehatan
masyarakat (Kesmas), sedikit mengalami kenaikkan dari tahun 2008 yang
menganggarkan Rp2,258 miliar. Untuk perbaikan gizi masyarakat, diploting
anggaran Rp1 miliar. Anggaran ini sedikit mengalami penurunan dibanding tahun
2008 dengan ploting anggaran Rp1,1 miliar. Sementara program peningkatan
kesehatan ibu dan anak dan kesehatan keluarga miskin, masing-masing Rp500 juta
dan 1,7 miliar. Pada tahun 2008 untuk dua program itu masing-masing Rp476 juta
dan Rp1,5 miliar. Anggaran tersebut rata-rata masih dibebani biaya aparatur.
Jika dibandingkan dengan biaya peningkatan
kapasitas aparatur pada tahun 2008 yang mencapai Rp16 miliar, anggaran untuk
kesehatan masyarakat terlihat sangat kecil.
Demikian pula jika diperhadapkan pada program lain.
APBD Sulteng yang kini mencapai Rp1,062 triliun, sekira Rp111 miliar digunakan
untuk perjalanan dinas aparat dan anggota DPRD. Anggaran ini mengalami
kenaikkan dari tahun sebelumnya, Rp96 miliar. Padahal jika ditilik, anggota
DPRD hanya 45 orang dan SKPD di lingkup Pemprov Sulteng tidak lebih dari 40
instansi dengan jumlah pegawai sekira 7000 orang. Sementara masyarakat miskin
Sulteng kurang lebih 500 ribu orang. Fantastis! Rp111 miliar untuk ratusan
orang dan Rp3,2 milair untuk 500 ribu rakyat miskin.
Perbandingan lainnya, anggaran kesehatan
masyarakat dan penanggulangan gizi buruk semakin terhimpit, ketika
diperhadapkan dengan total anggaran rehabilitasi Gedung wanita yang mencapai
Rp40 miliar dan pembangunan Gedung DPRD Sulteng Rp17 miliar.
Jika dicermati data APBD diatas, patut dipertanyakan
keseriusan pemerintah Sulteng dalam pengentasan kemiskinan dan pelayanan
kesehatan masyarakat. Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD), sangat jelas pemerintah menjadikan program pengentasan kemiskinan dan
pelayanan kesehatan masyarakat miskin sebagai prioritas. Anehnya, tekad yang
diturunkan dari visi dan misi Gubernur/Wakil Gubernur HB Paliudju-Ahmad Yahya,
tidak nampak sama sekali dalam penjabaran APBD, khususnya pada anggaran
pelayanan kesehatan masyarakat. ***
(Berita Mercusuar 19 Februari 2009)
Komentar
Posting Komentar