Fungsi dan Asas Kode Etik Jurnalistik

Oleh: Temu Sutrisno

Negara demokrasi adalah Negara yang mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu hak dasar rakyat yang harus dijamin Negara adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran baik lisan maupun tulisan, serta hak atas informasi.
Hak menyampaikan pikiran dan hak atas informasi diakui sebagai salah satu hak asasi manusia yang perlu mendapat jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Dalam instrumen hukum internasional yang mengatur soal hak asasi manusia, hak menyampaikan pikiran (pendapat) dan hak atas informasi dicantumkan di dalamnya sebagai salah satu hak asasi yang dijamin oleh hukum internasional.
Oleh karena itu universalitas perlindungan dan jaminan terhadap hak menyampaikan pendapat dan hak atas informasi (rights to know) sudah tidak diragukan lagi, karena hak atas informasi telah mendapat pengakuan secara universal sebagai salah satu hak yang paling mendasar yang melekat pada setiap individu manusia. Namun demikian pelaksanaan dan pemenuhannya disetiap negara diserahkan kepada negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing negara. [1]
Universal Declaration of Human Rights 1948  (UDHR 1948) telah merumuskan jaminan perlindungan terhadap hak atas informasi. Pasal 19 UDHR 1948 menyebutkan:
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”

Artinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.”

Meskipun deklarasi tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum terhadap negara-negara peserta atau penandatangannya, namun deklarasi tersebut mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif, sehingga rumusan hak-hak yang terdapat di dalamnya, termasuk juga hak atas informasi,  dihormati oleh negara-negara di dunia.[2]
Pada perkembangan global selanjutnya, Komisi HAM PBB menyusun dan mengesahkan dua kovenan internasional sebagai tindak lanjut atas UDHR 1948 agar rumusan perlindungan HAM yang terdapat dalamnya dapat dielaborasi lebih lanjut dan mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis bagi negara-negara peratifikasinya. Dua kovenan internasional tersebut ialah International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Kedua kovenan tersebut disahkan (diterima baik oleh Sidang Umum PBB) pada 1966 dan baru berlaku sepuluh tahun kemudian, yaitu pada 1976 setelah memenuhi persyaratan jumlah negara peratifikasi sebanyak 35 negara.
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan bagian dari hak sipil dan politik, oleh karenanya hak tersebut dimasukan/diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Hak atas informasi dirumuskan dalam Pasal 19 ayat (2) ICCPR yang tiada lain merupakan derivasi dari ketentuan Pasal 19 UDHR 1948. Berikut adalah bunyi Pasal 19 ayat (2) ICCPR:
“Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.”

Artinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional tentu tidak terlepas dari kesepakatan tersebut. Melalui jalan yang cukup panjang dan perdebatan yang melelahkan akhirnya tiba  giliran bagi Indonesia untuk meratifikasi ICCPR pada tahun 2005 dengan mengesahkannya melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Ratifikasi ICCPR tentu bukan hanya sekedar tindakan pengesahan oleh legislatif semata, melainkan menimbulkan konsekuensi yuridis bagi Indonesia untuk melaksanakan segala ketentuan yang terdapat di dalamnya kerana telah disahkan melalui undang-undang dan menjadi hukum positif, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai jaminan perlindungan terhadap hak atas informasi.
Di Indonesia, jauh sebelum meratifikasi ICCPR Tahun 2005, kebebasan mendapatkan informasi merupakan hak konstitusional setiap warga Negara yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI), sebagaimana termaktub dalam Pasal 28F:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

        Dalam konteks kebebasan mendapatkan informasi, pers merupakan salahsatu wahana bagi setiap warga Negara atau masyarakat mengetahui  dan  mendapatkan  informasi.  Pada dasarnya pers meruapakan lembaga atau wahana komunikasi massa yang melaksanakan tugas jurnalistik untuk pemenuhan hak masyarakat atas informasi, sebagaimana dsebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers). Kegiatan  jurnalistik  yang  dimaksud  pasal tersebut adalah proses mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan (6M) informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
        Pers selain berfungsi untuk memenuhi hak atas informasi, pada dasarkan merupakan wahana bagi warga Negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam Negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggungjawab memegang peranan penting masyarakat dan Negara demokratis.[3]
        Dalam perjalanan sejarah pers Indonesia, dapat dilacak praktik kebebasan mendapatkan informasi dan kerja-kerja jurnalistik, salahsatunya dari peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah. Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat[4], bahwa peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda dituangkan tahun 1856 dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, yang di tahun 1906 diperbaiki sesuai dengan tuntutan keadaan waktu itu, karena peraturan tersebut lebih bersifat preventif dibandingkan dengan peraturan yang muncul 50 tahun berkiutnya yang lebih represif.
         Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai Presbreidel Ordonantie. Selain Presbreidel Ordonantie, pada zaman pemerintahan kolonial Belanda juga dikenal tindakan terhadap pers yang dikenal sebagai Hatzai Artikelen, yaitu pasal-pasal mengancam hukuman terhadap siapa paun yang menyebarkan rasa permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Hindia Belanda.
        Setelah kemerdekaannya, ada usaha dari pemerintah Indonesia untuk mencabut Persbreidel Ordonantie, tepatnya pada 2 Agustus 1954, yang didasarkan pertimbangan bahwa pembredelan pers bertentangan dengan pasal 19 dan 33 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
        Pada 14 September 1956, terdapat peraturan dengan No. PKM/001/0/1956 yang dikeluarkan oleh kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer. Isinya antara lain melarangmencetak, menerbitkan, dan menyebarkan serta memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise, atau lukisan-lukisan yang memuat atau mengandung kecaman, persangkaan atau penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, suatu kekuasaan ataumajelis umum atau “seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab menjalankan pekerjaan dengan sah”.
      Peraturan tersebut dicabut karena mendapat protes keras dari beberapa kalangan surat kabar, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta Serikat Penerbit Surat kabar (SPS). Tekanan terhadap pers semakin terasa ketika diberlakukan darurat militer dan keadaan perang pada 14 Maret 1957 yang membuat tidak kurang 13 penerbitan di Jakarta dibredel.
      Awal bulan Oktober 1958 keluarlah peraturan dari Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya tentang Surat Izin Terbit (SIT) bagi koran dan majalah di Jakarta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah publikasi yang sensasional dan dinilai bertentangan dengan moralitas.
      Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, muncul program Manipolisasi Pers yang pada waktu itu Indonesia sedang berada pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Ketetapan tersebut menggariskan bahwa media massa harus diarahkan untuk mendorong aksi massa revolusioner di seluruh Indonesia. Rakyat harus didorong untuk memiliki keyakinan dan teguh tentang sosialisme agar dukungan bagi kelangsungan revolusi dan perannya dalam pembangunan nasional dapat terwujud.
         Kemudian, muncul peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) Nomor 10 tanggal 12 Oktober 1960 yang harus ditaati oleh peminta izin terbit, berupa 19 pasal yang harus disetujui oleh penerbit surat kabar saat itu.
         Peraturan Peperti Nomor 2/1961 khusus mengatur tentang pengawasan dan pembinaan atas perusahaan percetakan swasta. Prinsip dasarnya adalah bahwa percetakan harus menjadi alat menyebarluaskan manifestasi politik (Manipol) dan untuk memberantas Imperialisme, Kolonialisme, Liberalisme, dan Federalisme serta Separatisme.
Penetapan Presiden tentang SIT baru dicabut setelah munculnya Undang-Undang Pokok Pers No. 11/ 1966 yang disahkan pada 12 Desember 1966. Namun, dalam Undang-undang yang sama dimungkinkan adanya surat izin dikaitkan dengan masa peralihan sampai ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
         Pada 1967, Undang-Undang No. 11/ 1966 dilengkapi dengan satu pasal yang mencabut larangan peredaran Pers nasional berupa buletin, surat kabar, harian, majalah, dan penerbitan berkala lainnya. Pencabutan pelarangan ini merupakan suatu perjuangan untuk melawan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum, yang menyatakan bahwa Jaksa Agung berwenang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat menganggu ketertiban umum.
         Pada 1982, Undang-Undang Pers No. 11 Tahun 1966 yang telah disempurnakan pada 1967 ditinjau kembali sehingga menghasilkan Undang-Undang Pers No. 21 1982. Dalam Undang-Undang Pers yang baru ini muncul konsep baru yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP dikhawatirkan akan terjadi bentuk pengontrolan baru terhadap surat kabar.
         Setelah lengsernya Soeharto sebagai Presiden pada Mei 1998, Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupan bernegara yaitu era Reformasi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pers di Indonesia. Hal ini ditandai dengan diubahnya Undang-Undang Pers No. 21/ 1982 menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Undang-Undang  yang baru ini sangat berbeda dari dua Undang-Undang Pers yang sebelumnya dibuat pada era Orde Baru yang represif terhadap pers dengan dilakukannya bredel terhadap pers, walaupun pada Undang-Undang Pers-nya dinyatakan menjamin kebebasan pers.
         Pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers segala peraturan perizinan, seperti SIUPP, dicabut. Departemen Penerangan juga dihapus. Kebebasan pers menjadi suatu yang nyata pada saat itu. Pers berkembang pesat dan mendapatkan kebebasannya serta melakukan fungsinya sebagai alat kontrol sosial dengan baik. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers ini menjamin kemerdekaan pers dengan tidak memberlakukan tindakan-tindakan represif terhadap pers, seperti pressbreidel (pembreidelan atau penutupan perusahaan pers).
      Pentingnya peran pers dalam kehidupan masyarakat membuat pers memiliki kekuatan besar, bahkan sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi disamping legislatif, eksekutif dan yudikatif. Meski demikian Satjipto Rahardjo berpandangan, bagi bangsa   Indonesia   sesungguhnya yang penting bukan bagaimana pers menjadi satu kekuatan besar, namun hal mendasar yang perlu dipahami, untuk apa kekuatan besar itu?[5]
      Pendapat tersebut diungkapkan berdasarkan penilaian, dalam perkembangannya pers bisa bersifat merusak, apabila tidak mampu tampil menjadi pengawal rakyat (guardian of the people), dan memiliki hati nurani (conscience of the press). Kebebasan pers harus diikuti profesionalisme wartawan. Wartawan dituntut menguasai landasan unsur-unsur etika dan rasa tanggungjawab atas pekerjaan mereka.[6] Setidaknya wartawan harus menguasai dan melaksanakan dua norma dalam profesi kewartawanan. Pertama, norma teknis yang terkait ketrampilan meliput, menulis, menyunting dan menyajikan berita. Kedua, norma etis seputar nilai tanggungjawab, peduli, adil, obyektif, tidak memihak dan hal lain yang ditetapkan dalam standar etik profesi kewartawanan.
      Era kebebasan pers di Indonesia diikuti dengan meningkatnya jumlah media massa di berbagai daerah di Tanah Air, baik media massa cetak, elektronik maupun media siber (online). Sebagai contoh di Palu, sebelum tahun reformasi 1998 media cetak yang ada hanya Mercusuar, Media Alkhairaat, Nuansa Pos dan beberapa media mingguan/bulanan. Pasca reformasi, media yang tumbuh di Kota Palu antara lain Radar Sulteng, Info Baru, Suara Sulteng, Rakyat Sulteng, Metro Sulteng, Sulteng Post, Kaili Post, Pos Palu, Logis, Deadline News, Palu Ekspress, Tinombala, Formasi, Teropong dan Lacak. Media elektronik juga bermunculan seperti TVRI, Radar TV, Nuansa TV, PNM TV (televisi berjaringan) dan Palu TV. Jika sebelum 1998 Palu hanya mengenal RRI, Nebula FM dan Ramayana. Beberapa radio juga tumbuh dan melakukan siaran diantaranya Best FM, Bula Betue, Radio Patra, Suara Pendidikan Rakyat, dan beberapa media online seperti satusulteng.com, kabarselebes.com, koransulteng.com dan redaksisulteng.com.
      Pertumbuhan media, sangat berkorelasi dengan bertambahanya pekerja pers atau wartawan di Kota Palu. Pertumbuhan itu belum terhitung dengan media nasional yang memiliki kantor atau contributor di Kota Palu seperti LKBN Antara, Trans Media (Trans7 dan Trans TV), Kompas, Republika, MNCTV, Global TV, TVOne, Indosiar, Net TV, Radio 68H, Jakarta Post, Metro TV, ANTV dan SCTV.
Pers sebagai penyampai informasi, dengan kebebasan yang dimiliki rentan menimbulkan masalah atau sengketa informasi, jika  wartawan  tidak  memahami dan memiliki kesadaran hukum yang baik. UU Pers menjamin kemerdekaan pers dengan tidak memberlakukan tindakan-tindakan represif terhadap pers. Tidak ada izin untuk mendirikan perusahaan pers, tidak dikenakan pressbreidel (pembreidelan atau penutupan perusahaan pers) dan sensor. Sejatinya UU Pers menerapkan asas tanggung jawab (responsibility) media terhadap publik melalui self cencored (sensor internal). Kebebasan pers dalam praktiknya menimbulkan potensi atau kerentanan wartawan melanggar etika profesi dan hukum dalam menjalankan peran dan tugasnya. Dalam konteks sensor internal, Kode Etik Jurnalistik menjadi salah satu alat pengendali wartawan dalam melaksanakan tugasnya.
      Sebagai alat ukur profesionalitas wartawan, salah satunya bagaimana wartawan memiliki kesadaran hukum dan memahami etika profesi yang berkaitan dengan pers. Bahkan Dewan Pers pada tanggal 2 Februari 2010, menetapkan Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan, yang didalamnya menjadikan kesadaran etika profesi dan hukum sebagai sandaran pertama kompetensi wartawan.
      Kesadaran (awareness) wartawan, selain memahami etika profesi, juga pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan (hukum) yang terkait UU Pers. Selain itu   wartawan dipandang perlu mengetahui dan memahami hal-hal mengenai penghinaan, pelanggaran terhadap  privasi, serta berbagai ketentuan lain yang berkenaan dengan narasumber. Kompetensi wartawan di bidang hukum menuntut adanya penghargaan terhadap hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi.

Etik Sebagai Kehendak Umum
Menurut Jean Jacques Rousseau, keberadaan sejati manusia adalah sebagai oknum yang memiliki otonomi etis. Berdasarkan pemikiran tersebut, kemudian ia mengkonstruksikan satu teori hukum dengan memunculkan perenungan yang diwujudkan  dalam  satu  pertanyaan,  yakni  apa  sebenarnya  yang  mendorong individu “rela terbelenggu” oleh satu aturan. Dikemukakan bahwa manusia yang semula hidup dalam keadaan alamiah, bebas dan merdeka, rela menjadi oknum yang terbelenggu aturan karena memandang hukum sebagai milik publik, yang karena itu objektif sifatnya. Dasar pemikirannya, karena hakikat yang paling mendasar dari hukum adalah wujud volonte generale (kehendak umum), bukan volonte de corps (kemauan atau kehendak golongan).[7]
Menurut Rousseau, dalam wujudnya sebagai kehendak umum, hukum
berfungsi  sebagai  tatanan  yang  melindungi  kepentingan  bersama  sekaligus
kepentingan pribadi, termasuk miliki pribadi. Dapat dipahami kemudian bahwa
meskipun tunduk terhadap aturan hukum, masing-masing individu tetap merasa
bebas dan merdeka. Hal itu terjadi karena apa yang menjadi hak dan kewajiban
tiap  orang  tetap  dihormati.  Bagaimana  individu  hidup  dalam  tertib  hukum
dirasakan  jauh  lebih  baik  karena  hidup  dalam  tertib  hukum  niscaya  akan
membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan. Dalam keadilan dan kesusilaan,
kebebasan individu masih tetap ada, hanya dibatasi oleh kemauan umum (volonte
generale).[8]

Fungsi Kode Etik
a. Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malpraktek oleh praktisi yang kurang profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi;
e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber

Asas Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret 2006, misalnya, sedikitnya mengandung empat asas, yaitu:

1. Asas Demokratis
Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan publik
Asas demokratis ini juga tercermin dari Pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan Indoensia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional. Sebab, dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu secara proposional.

2. Asas Profesionalitas

Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya.Misalnya Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap nilai-nilai filosofi profesinya.
Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang , dan off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.

3. Asas Moralitas
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan  Kode Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesi wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain Wartawan tidak menerima suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat atau keliru.

4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah.

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
***

Penulis adalah Wartawan Utama Harian Mercusuar Palu, Mahasiswa Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako





[1] . Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 213.
[2] . Ibid, hal. 219
[3] . Yosep Adi Prasetyo, Dewan Pers 2016-2019, Mengembangkan Kemerdekaan Pers dan Meningkatkan Kehidupan Pers Nasional, Dewan Pers Jakarta 2016, hal ix
[4] . www.wikipedia.com
[5] . Satjipto  Rahardjo, Sosiologi  Hukum,  Esai-esai  Terpilih,  Genta  Publishing, Jogjakarta. 2010, hal. 189.
[6] . Ilham Bintang, Tantangan Media Menegakkan Kode Etik Jurnalistik, PWI Pusat, Jakarta 2016, hal xix
[7]. Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta 2013, hal 79.
[8]. Sudikno  Mertokusumo, Meningkatkan  Kesadaran Hukum  Masyarakat,  Liberty Yogyakarta 1981, hal 2.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu