Fungsi dan Asas Kode Etik Jurnalistik
Oleh: Temu Sutrisno
Negara demokrasi adalah Negara yang mengikutsertakan
partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, serta menjamin terpenuhinya hak
dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu hak dasar
rakyat yang harus dijamin Negara adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran baik
lisan maupun tulisan, serta hak atas informasi.
Hak menyampaikan pikiran dan hak atas informasi
diakui sebagai salah satu hak asasi manusia yang perlu mendapat jaminan
perlindungan dan kepastian hukum. Dalam instrumen hukum internasional yang
mengatur soal hak asasi manusia, hak menyampaikan pikiran (pendapat) dan hak
atas informasi dicantumkan di dalamnya sebagai salah satu hak asasi yang
dijamin oleh hukum internasional.
Oleh karena itu universalitas perlindungan dan
jaminan terhadap hak menyampaikan pendapat dan hak atas informasi (rights to
know) sudah tidak diragukan lagi, karena hak atas informasi telah mendapat
pengakuan secara universal sebagai salah satu hak yang paling mendasar yang
melekat pada setiap individu manusia. Namun demikian pelaksanaan dan
pemenuhannya disetiap negara diserahkan kepada negara yang bersangkutan dan
disesuaikan dengan kondisi di masing-masing negara. [1]
Universal Declaration of Human Rights
1948 (UDHR 1948) telah merumuskan
jaminan perlindungan terhadap hak atas informasi. Pasal 19 UDHR 1948 menyebutkan:
“Everyone
has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom
to hold opinions without interference and to seek, receive and impart
information and ideas through any media and regardless of frontiers.”
Artinya:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak
ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada
intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah
pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.”
Meskipun deklarasi tersebut tidak mempunyai kekuatan
mengikat secara hukum terhadap negara-negara peserta atau penandatangannya,
namun deklarasi tersebut mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif,
sehingga rumusan hak-hak yang terdapat di dalamnya, termasuk juga hak atas
informasi, dihormati oleh negara-negara di dunia.[2]
Pada perkembangan global selanjutnya, Komisi HAM PBB
menyusun dan mengesahkan dua kovenan internasional sebagai tindak lanjut atas
UDHR 1948 agar rumusan perlindungan HAM yang terdapat dalamnya dapat
dielaborasi lebih lanjut dan mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis bagi
negara-negara peratifikasinya. Dua kovenan internasional tersebut ialah International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik). Kedua kovenan tersebut disahkan (diterima baik oleh Sidang
Umum PBB) pada 1966 dan baru berlaku sepuluh tahun kemudian, yaitu pada 1976
setelah memenuhi persyaratan jumlah negara peratifikasi sebanyak 35 negara.
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
merupakan bagian dari hak sipil dan politik, oleh karenanya hak tersebut
dimasukan/diatur dalam International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR). Hak atas informasi dirumuskan dalam Pasal 19 ayat (2)
ICCPR yang tiada lain merupakan derivasi dari ketentuan Pasal 19 UDHR 1948.
Berikut adalah bunyi Pasal 19 ayat (2) ICCPR:
“Everyone shall have the right to freedom of
expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart
information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in
writing or in print, in the form of art, or through any other media of his
choice.”
Artinya:
“Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk
kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran
apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam
bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”
Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat internasional tentu tidak terlepas dari
kesepakatan tersebut. Melalui jalan yang cukup panjang dan perdebatan yang
melelahkan akhirnya tiba giliran bagi Indonesia untuk meratifikasi
ICCPR pada tahun 2005 dengan mengesahkannya melalui UU No. 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Ratifikasi ICCPR tentu bukan hanya
sekedar tindakan pengesahan oleh legislatif semata, melainkan menimbulkan
konsekuensi yuridis bagi Indonesia untuk melaksanakan segala ketentuan yang
terdapat di dalamnya kerana telah disahkan melalui undang-undang dan menjadi
hukum positif, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai jaminan perlindungan
terhadap hak atas informasi.
Di Indonesia, jauh sebelum
meratifikasi ICCPR Tahun 2005, kebebasan mendapatkan informasi merupakan hak
konstitusional setiap warga Negara yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUD NRI), sebagaimana termaktub dalam Pasal 28F:
“Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.”
Dalam
konteks kebebasan mendapatkan informasi, pers merupakan salahsatu wahana bagi
setiap warga Negara atau masyarakat mengetahui dan mendapatkan
informasi. Pada dasarnya pers
meruapakan lembaga atau wahana komunikasi massa yang melaksanakan tugas
jurnalistik untuk pemenuhan hak masyarakat atas informasi, sebagaimana
dsebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers
(selanjutnya disebut UU Pers). Kegiatan
jurnalistik yang dimaksud
pasal tersebut adalah
proses mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan (6M) informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis
saluran yang tersedia.
Pers
selain berfungsi untuk memenuhi hak atas informasi, pada dasarkan merupakan
wahana bagi warga Negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki
peranan penting dalam Negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggungjawab
memegang peranan penting masyarakat dan Negara demokratis.[3]
Dalam perjalanan sejarah pers Indonesia,
dapat dilacak praktik kebebasan mendapatkan informasi dan kerja-kerja
jurnalistik, salahsatunya dari peraturan perundang-undangan yang diterbitkan
pemerintah. Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
mencatat[4],
bahwa peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda dituangkan tahun
1856 dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, yang di tahun 1906
diperbaiki sesuai dengan tuntutan keadaan waktu itu, karena peraturan tersebut
lebih bersifat preventif dibandingkan dengan peraturan yang muncul 50 tahun
berkiutnya yang lebih represif.
Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial melahirkan apa
yang kemudian dikenal sebagai Presbreidel Ordonantie. Selain Presbreidel
Ordonantie, pada zaman pemerintahan kolonial Belanda juga dikenal tindakan
terhadap pers yang dikenal sebagai Hatzai Artikelen, yaitu pasal-pasal
mengancam hukuman terhadap siapa paun yang menyebarkan rasa permusuhan,
kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Setelah kemerdekaannya, ada usaha dari pemerintah Indonesia
untuk mencabut Persbreidel Ordonantie, tepatnya pada 2 Agustus 1954, yang
didasarkan pertimbangan bahwa pembredelan pers bertentangan dengan pasal 19 dan
33 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Pada 14 September 1956, terdapat peraturan dengan No.
PKM/001/0/1956 yang dikeluarkan oleh kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa
Militer. Isinya antara lain melarangmencetak, menerbitkan, dan menyebarkan
serta memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise, atau lukisan-lukisan yang
memuat atau mengandung kecaman, persangkaan atau penghinaan terhadap Presiden
atau Wakil Presiden, suatu kekuasaan ataumajelis umum atau “seorang pegawai
negeri pada waktu atau sebab menjalankan pekerjaan dengan sah”.
Peraturan tersebut dicabut karena mendapat protes keras dari
beberapa kalangan surat kabar, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta
Serikat Penerbit Surat kabar (SPS). Tekanan terhadap pers semakin terasa ketika
diberlakukan darurat militer dan keadaan perang pada 14 Maret 1957 yang membuat
tidak kurang 13 penerbitan di Jakarta dibredel.
Awal bulan Oktober 1958 keluarlah peraturan dari Penguasa
Militer Daerah Jakarta Raya tentang Surat Izin Terbit (SIT) bagi koran dan
majalah di Jakarta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah publikasi yang
sensasional dan dinilai bertentangan dengan moralitas.
Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, muncul program
Manipolisasi Pers yang pada waktu itu Indonesia sedang berada pada masa
pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Ketetapan tersebut menggariskan bahwa media
massa harus diarahkan untuk mendorong aksi massa revolusioner di seluruh
Indonesia. Rakyat harus didorong untuk memiliki keyakinan dan teguh tentang
sosialisme agar dukungan bagi kelangsungan revolusi dan perannya dalam
pembangunan nasional dapat terwujud.
Kemudian, muncul peraturan Penguasa Perang Tertinggi
(Peperti) Nomor 10 tanggal 12 Oktober 1960 yang harus ditaati oleh peminta izin
terbit, berupa 19 pasal yang harus disetujui oleh penerbit surat kabar saat
itu.
Peraturan Peperti Nomor 2/1961 khusus mengatur tentang
pengawasan dan pembinaan atas perusahaan percetakan swasta. Prinsip dasarnya
adalah bahwa percetakan harus menjadi alat menyebarluaskan manifestasi politik
(Manipol) dan untuk memberantas Imperialisme, Kolonialisme, Liberalisme, dan
Federalisme serta Separatisme.
Penetapan Presiden tentang SIT baru
dicabut setelah munculnya Undang-Undang Pokok Pers No. 11/ 1966 yang disahkan
pada 12 Desember 1966. Namun, dalam Undang-undang yang sama dimungkinkan adanya
surat izin dikaitkan dengan masa peralihan sampai ada keputusan pencabutannya
oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Pada 1967, Undang-Undang No. 11/ 1966 dilengkapi dengan satu
pasal yang mencabut larangan peredaran Pers nasional berupa buletin, surat
kabar, harian, majalah, dan penerbitan berkala lainnya. Pencabutan pelarangan
ini merupakan suatu perjuangan untuk melawan Penetapan Presiden No. 4 Tahun
1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban
Umum, yang menyatakan bahwa Jaksa Agung berwenang beredarnya barang cetakan
yang dianggap dapat menganggu ketertiban umum.
Pada 1982, Undang-Undang Pers No. 11 Tahun 1966 yang telah
disempurnakan pada 1967 ditinjau kembali sehingga menghasilkan Undang-Undang
Pers No. 21 1982. Dalam Undang-Undang Pers yang baru ini muncul konsep baru
yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP
dikhawatirkan akan terjadi bentuk pengontrolan baru terhadap surat kabar.
Setelah lengsernya Soeharto sebagai Presiden pada Mei 1998,
Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupan bernegara yaitu era Reformasi.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat,
termasuk kehidupan pers di Indonesia. Hal ini ditandai dengan diubahnya
Undang-Undang Pers No. 21/ 1982 menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang
Pers. Undang-Undang yang baru ini sangat
berbeda dari dua Undang-Undang Pers yang sebelumnya dibuat pada era Orde Baru
yang represif terhadap pers dengan dilakukannya bredel terhadap pers, walaupun
pada Undang-Undang Pers-nya dinyatakan menjamin kebebasan pers.
Pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers segala
peraturan perizinan, seperti SIUPP, dicabut. Departemen Penerangan juga
dihapus. Kebebasan pers menjadi suatu yang nyata pada saat itu. Pers berkembang
pesat dan mendapatkan kebebasannya serta melakukan fungsinya sebagai alat
kontrol sosial dengan baik. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers ini
menjamin kemerdekaan pers dengan tidak memberlakukan tindakan-tindakan represif
terhadap pers, seperti pressbreidel
(pembreidelan atau penutupan perusahaan pers).
Pentingnya
peran pers dalam kehidupan masyarakat membuat pers memiliki kekuatan besar, bahkan sering disebut
sebagai pilar keempat demokrasi disamping legislatif, eksekutif dan yudikatif. Meski demikian Satjipto
Rahardjo berpandangan,
bagi bangsa Indonesia sesungguhnya yang penting bukan bagaimana
pers menjadi satu kekuatan besar, namun hal mendasar yang perlu dipahami, untuk apa kekuatan besar itu?[5]
Pendapat tersebut
diungkapkan berdasarkan penilaian, dalam perkembangannya pers bisa bersifat
merusak, apabila tidak mampu tampil
menjadi pengawal rakyat (guardian of the people), dan memiliki hati nurani
(conscience of the press). Kebebasan pers harus diikuti profesionalisme
wartawan. Wartawan dituntut menguasai landasan unsur-unsur etika dan rasa
tanggungjawab atas pekerjaan mereka.[6]
Setidaknya wartawan harus menguasai dan melaksanakan dua norma dalam profesi
kewartawanan. Pertama, norma teknis yang terkait ketrampilan meliput, menulis,
menyunting dan menyajikan berita. Kedua, norma etis seputar nilai
tanggungjawab, peduli, adil, obyektif, tidak memihak dan hal lain yang
ditetapkan dalam standar etik profesi kewartawanan.
Era kebebasan pers di Indonesia diikuti dengan meningkatnya jumlah media massa di berbagai daerah di Tanah Air, baik
media massa cetak, elektronik maupun media siber (online). Sebagai contoh di Palu,
sebelum tahun reformasi 1998 media cetak yang ada hanya Mercusuar, Media
Alkhairaat, Nuansa Pos dan beberapa media mingguan/bulanan. Pasca reformasi,
media yang tumbuh di Kota Palu antara lain Radar Sulteng, Info Baru, Suara
Sulteng, Rakyat Sulteng, Metro Sulteng, Sulteng Post, Kaili Post, Pos Palu,
Logis, Deadline News, Palu Ekspress, Tinombala, Formasi, Teropong dan Lacak.
Media elektronik juga bermunculan seperti TVRI, Radar TV, Nuansa TV, PNM TV
(televisi berjaringan) dan Palu TV. Jika sebelum 1998 Palu hanya mengenal RRI,
Nebula FM dan Ramayana. Beberapa radio juga tumbuh dan melakukan siaran
diantaranya Best FM, Bula Betue, Radio Patra, Suara Pendidikan Rakyat, dan
beberapa media online seperti satusulteng.com, kabarselebes.com,
koransulteng.com dan redaksisulteng.com.
Pertumbuhan media,
sangat berkorelasi dengan bertambahanya pekerja pers atau wartawan di Kota
Palu. Pertumbuhan itu belum terhitung dengan media nasional yang memiliki
kantor atau contributor di Kota Palu seperti LKBN Antara, Trans Media (Trans7
dan Trans TV), Kompas, Republika, MNCTV, Global TV, TVOne, Indosiar, Net TV,
Radio 68H, Jakarta Post, Metro TV, ANTV dan SCTV.
Pers sebagai penyampai informasi, dengan
kebebasan yang dimiliki rentan menimbulkan masalah atau sengketa informasi,
jika wartawan tidak memahami dan memiliki kesadaran hukum yang baik. UU Pers menjamin
kemerdekaan pers dengan tidak memberlakukan tindakan-tindakan represif terhadap
pers. Tidak ada izin untuk mendirikan perusahaan pers, tidak dikenakan pressbreidel (pembreidelan atau
penutupan perusahaan pers) dan sensor. Sejatinya UU Pers menerapkan asas
tanggung jawab (responsibility) media terhadap publik melalui self cencored (sensor internal).
Kebebasan pers dalam praktiknya menimbulkan potensi atau kerentanan wartawan
melanggar etika profesi dan hukum dalam menjalankan peran dan tugasnya. Dalam
konteks sensor internal, Kode Etik Jurnalistik menjadi salah satu alat
pengendali wartawan dalam melaksanakan tugasnya.
Sebagai alat ukur profesionalitas
wartawan, salah satunya bagaimana wartawan memiliki kesadaran hukum dan memahami
etika profesi yang berkaitan dengan pers. Bahkan Dewan Pers pada tanggal 2 Februari 2010, menetapkan Peraturan Dewan Pers No.
1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan, yang didalamnya menjadikan kesadaran
etika profesi dan hukum sebagai sandaran pertama kompetensi wartawan.
Kesadaran (awareness) wartawan, selain
memahami etika profesi, juga pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan (hukum) yang
terkait UU Pers. Selain
itu
wartawan dipandang perlu mengetahui dan memahami hal-hal mengenai
penghinaan, pelanggaran terhadap
privasi, serta berbagai ketentuan lain yang berkenaan dengan narasumber. Kompetensi wartawan di
bidang hukum menuntut adanya penghargaan terhadap hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk
mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi.
Etik Sebagai Kehendak Umum
Menurut
Jean Jacques Rousseau, keberadaan sejati manusia adalah sebagai oknum yang memiliki otonomi etis. Berdasarkan
pemikiran tersebut, kemudian ia mengkonstruksikan
satu teori hukum dengan memunculkan perenungan yang diwujudkan
dalam satu pertanyaan,
yakni apa sebenarnya
yang mendorong individu “rela terbelenggu” oleh satu aturan.
Dikemukakan bahwa manusia yang semula
hidup dalam keadaan alamiah, bebas dan merdeka, rela menjadi oknum yang terbelenggu aturan karena memandang hukum
sebagai milik publik, yang karena itu
objektif sifatnya. Dasar pemikirannya, karena hakikat yang paling mendasar dari hukum adalah wujud volonte generale
(kehendak umum), bukan volonte de corps (kemauan atau kehendak
golongan).[7]
Menurut Rousseau, dalam wujudnya
sebagai kehendak umum, hukum
berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus
kepentingan pribadi, termasuk miliki pribadi. Dapat dipahami kemudian bahwa
meskipun tunduk terhadap aturan hukum, masing-masing individu tetap merasa
bebas dan merdeka. Hal itu terjadi karena apa yang menjadi hak dan kewajiban
tiap orang tetap dihormati. Bagaimana individu hidup dalam tertib hukum
dirasakan jauh lebih baik karena hidup dalam tertib hukum niscaya akan
membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan. Dalam keadilan dan kesusilaan,
kebebasan individu masih tetap ada, hanya dibatasi oleh kemauan umum (volonte
generale).[8]
berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus
kepentingan pribadi, termasuk miliki pribadi. Dapat dipahami kemudian bahwa
meskipun tunduk terhadap aturan hukum, masing-masing individu tetap merasa
bebas dan merdeka. Hal itu terjadi karena apa yang menjadi hak dan kewajiban
tiap orang tetap dihormati. Bagaimana individu hidup dalam tertib hukum
dirasakan jauh lebih baik karena hidup dalam tertib hukum niscaya akan
membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan. Dalam keadilan dan kesusilaan,
kebebasan individu masih tetap ada, hanya dibatasi oleh kemauan umum (volonte
generale).[8]
Fungsi Kode Etik
a. Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malpraktek oleh praktisi yang kurang profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi;
e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber
Asas Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret 2006, misalnya, sedikitnya mengandung empat asas, yaitu:
1. Asas Demokratis
Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan publik
Asas demokratis ini juga tercermin dari Pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan Indoensia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional. Sebab, dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu secara proposional.
2. Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya.Misalnya Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap nilai-nilai filosofi profesinya.
Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang , dan off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.
3. Asas Moralitas
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan Kode Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesi wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain Wartawan tidak menerima suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat atau keliru.
4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.***
Penulis adalah Wartawan Utama Harian Mercusuar Palu, Mahasiswa Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako
a. Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malpraktek oleh praktisi yang kurang profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi;
e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber
Asas Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret 2006, misalnya, sedikitnya mengandung empat asas, yaitu:
1. Asas Demokratis
Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan publik
Asas demokratis ini juga tercermin dari Pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan Indoensia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional. Sebab, dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu secara proposional.
2. Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya.Misalnya Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap nilai-nilai filosofi profesinya.
Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang , dan off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.
3. Asas Moralitas
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan Kode Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesi wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain Wartawan tidak menerima suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat atau keliru.
4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.***
Penulis adalah Wartawan Utama Harian Mercusuar Palu, Mahasiswa Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako
[1] . Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008, hlm. 213.
[2] . Ibid, hal. 219
[3] . Yosep Adi Prasetyo, Dewan Pers 2016-2019, Mengembangkan
Kemerdekaan Pers dan Meningkatkan Kehidupan Pers Nasional, Dewan Pers
Jakarta 2016, hal ix
[5] . Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum,
Esai-esai Terpilih,
Genta Publishing, Jogjakarta. 2010, hal. 189.
[6] . Ilham Bintang, Tantangan Media Menegakkan Kode Etik
Jurnalistik, PWI Pusat, Jakarta 2016, hal xix
[7]. Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta 2013, hal 79.
Komentar
Posting Komentar