Perizinan Pertambangan dalam Perspektif Otonomi Daerah
Oleh: Temu Sutrisno
Negara
Indonesia adalah negara yang menganut bentuk negara kesatuan (unitary).
Bentuk negara kesatuan bagi negara Republik Indonesia merupakan amanat
konstitusi, sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia
ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Salah satu
ciri dari negara kesatuan adalah kekuasaan yang sangat besar ditangan
pemerintah pusat. Lewat kekuasaan yang bertumpuk di pusat tersebut denyut
kehidupan dari aspek bernegara disalurkan dari pusat dengan segala kelengkapan
aparaturnya. Pemerintahan di daerah praktis hanya berfungsi sebagai
perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
Pasca reformasi, sistem pemerintahan terpusat
yang dinilai terlalu kuat dan tidak memberikan daerah untuk berkembang mendapat
kritikan tajam dan pada akhirnya melahirkan konsep otonomi daerah, dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Konsep
otonomi daerah adalah penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintahan
daerah yang bersifat operasional dalam rangka
sistem birokrasi pemerintah. Tujuan yang hendak dicapai antara lain pelayanan
kepada masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan.
Otonomi daerah sebagai realisasi dari sistem desentralisasi bukan hanya merupakan
penyerahan urusan pemerintahan, namun juga pembagian kekuasaan untuk mengatur
penyelenggaraan pemerintah negara dalam hubungan pusat dan daerah.
Pengelolaan
Pertambangan
Dalam
konteks negara kesatuan, wewenang pengelolaan sumber daya alam tambang dipegang
pemerintah pusat. Ini disebabkan sistem pemerintahan, sebelum berlakunya
Undang-Undang 22 Tahun 1999 bersifat sentralistik, artinya segala macam urusan
yang berkaitan dengan pertambangan, baik yang berkaitan dengan penetapan izin
kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya, pengusahaan pertambangan
batu bara, maupun yang lainnya, pejabat yang berwenang memberikan izin adalah Menteri
Pertambangan.
Namun sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan dalam pemberian izin
diserahkan pada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan pemerintah
pusat, sesuai dengan kewenangannya. Demikian halnya setelah undang-undang pemerintahan
daerah tersebut digantikan menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
selanjutnya menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan tidak diatur kewenangan dari pemerintah
daerah didalam pengelolaan pertambangan. Namun di Pasal 6, 7, dan 8
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
diatur secara rinci kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan. Dengan berlakunya UU Nomor 23
Tahun 2014, maka pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara beserta peraturan pelaksanaannya yang
mengatur kewenangan Bupati/Walikota tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Perzinan Pertambangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 secara
rinci juga mengatur wewenang perizinan tambang antara pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun, wewenang perizinan tambang oleh Pemerintah
pusat adalah menetapkan wilayah tambang (WP) yang terdiri dari wilayah usaha pertambangan
(WUP), wilayah pencadangan negara (WPN), dan wilayah usaha pertambangan khusus
(WUPK); menetapkan WIUP
mineral logam dan batubara serta WIUPK;
menetapkan
WIUP mineral non logam lintas provinsi;
menerbitkan
IUP mineral logam, mineral nonlogam, dan batubara yang wilayah tambangnya
lintas provinsi, berbatasan negara lain, serta wilayah laut dari 12 mil; menerbitkan IUP penanaman modal asing; penerbitan IUPK;
penerbitan
IUPL pengolahan dan permurnian untuk penanaman modal asing; penetapan produksi mineral logam dan batubara untuk
tiap provinsi; penetapan harga
patokan mineral logam dan harga patokan batubara; dan pengelolaan inspektur tambang.
Selanjutnya pemerintah provinsi memiliki
kewenangan penerbitan WIUP mineral non logam dan batuan; penerbitan IUP mineral
logam dan batubara; penerbitan IUP mineral non logam dan batuan; penerbitan IPR;
penerbitan IUPK pengolahan dan pemurnian untuk penanaman modal dalam negeri;
dan penetapan harga patokan mineral non logam dan batuan.
Sedangkan kewenangan pemerintah
kabupaten/kota adalah menetapkan wilayah pertambangan rakyat (WPR) setelah
berkonsultasi DPRD; menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayahnya; memberikan
rekomendasi kepada gubernur soal penerbitan IUP yang berada dalam wilayah
lintas kabupaten dan kepada menteri penerbitan IUP lintas provinsi; memberikan
izin sementara penjualan mineral atau batubara bila kegiatan studi kelayakan
yang dilakukan pemegang IUP Eksplorasi mendapatkan minerba; menerbitkan IUP
operasi produksi untuk lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian
serta pelabuhan yang berada dalam satu wilayah kabupaten/kota. Memberikan
rekomendasi ke Gubernur untuk IUP lintas kabupaten dan kepada menteri terkait
IUP lintas provinsi; menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat; mencabut IUP atau
Izin Usaha Pertambangan khusus (IUPK); mengawasi usaha pertambangan yang
dilakukan oleh pemegang IUP; melaporkan pelaksanaan kegiatan pertambangan yang
dilakukan oleh pemegan IUP di wilayah kabupaten/kota kepada menteri; melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pertambangan rakyat; dan memberikan
sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Implikasi yang timbul dari pembagian kewenangan
perizinan bidang pertambangan sebagaimana diatas, pertama, bagi pemerintah daerah kabupaten/kota, pengembangan dan peningkatan manfaat
kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilakukan secara optimal. Kedua, hilangnya kegiatan pengawasan di
bidang tambang sebagai kendali permasalahan dalam melaksanakan kewenangan daerah
menyangkut produksi (pendapatan daerah), dalam melindungi tenaga kerja dan kelestarian
lingkungan serta mengatasi masalah sosial. Ketiga,tidak
ada Dinas Pertambangan dan Energi di Kabupaten/Kota,
penghapusan paling lambat 2 Oktober 2016, dan keempat terbentuknya UPT Provinsi di Kabupaten/Kota dan lembaga vertikal
pusat di daerah untuk urusan sumber daya mineral. ***
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
Tadulako
Komentar
Posting Komentar