Hukum, Moral dan Etik
Oleh: Temu
Sutrisno
Dalam sebuah
diskusi perkuliahan Filsafat Hukum seputar hukum dan moralitas, saya
mengemukakan bahwa tidak ada satu aturan hukum di Indonesia secara
tersurat yang melarang orang untuk memperkosa ayam. Artinya, mengacu pada asas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali (tiada
seorang pun yang dapat dipidana tanpa ada hukum yang terlebih dahulu mengatur
demikian),
pemerkosa ayam tidak bisa dipidana.
Asas ini diartikan, Nulla Poena Sine Lege, yang
artinya bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu
undang-undang pidana; Nulla Poena
Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman
hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam
dengan suatu hukuman oleh undang-undang dan Nullum Crimen Sine Poena
Legali, yang artinya bahwa perbuatan yang telah
diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila dilanggar dapat berakibat
dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan oleh undang-undang terhadap
pelanggarannya.
Pertanyaannya, apakah masyarakat membiarkan perilaku itu? Tanpa harus
melakukan survei, dipastikan hampir semua orang akan bersepakat menjawab,
TIDAK. Kenapa? Karena perbuatan itu bertentangan dengan norma, nilai-nilai yang
dianut masyarakat umum atau moral masyarakat.
Moral dapat
diartikan sebagai batasan pikiran, prinsip, perasaan, ucapan, dan perilaku
manusia tentang nilai-nilai baik dan buruk atau benar dan salah. Moral
merupakan suatu tata nilai yang mengajak seorang manusia untuk berperilaku
positif dan tidak merugikan orang lain. Seseorang dikatakan telah bermoral jika
ucapan, prinsip, dan perilaku dirinya dinilai baik dan benar oleh
standar-standar nilai yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.
Moralitas dalam pandangan Immanuel Kant selanjutnya dipahami sebagai
kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita,
yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban kita. Moralitas barulah dapat diukur
ketika seseorang menaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu
adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum.
Konstruksi legalitas dan moralitas Kant, dianggap tidak fleksibel dan
cenderung ekstrem. Menurut para pengkritik Kant, konstruksi Kant melupakan
aspek lain yang juga dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam
konteks konstruksi legalitas dan moralitas seperti sikap belas kasihan, iba
hati, atau kepentingan diri. Kritikan tersebut mungkin ada benarnya, akan
tetapi yang ditegaskan Kant dalam konstruksi legalitas dan moralitas bahwa
kesungguhan sikap moral baru dapat dilihat ketika seseorang berbuat demi
kewajiban itu sendiri. Jadi hakekatnya, seseorang tersebut berbuat karena
menyadari bahwa demi memaknai hakikat kewajiban itu sendiri.
Persoalan yang kemudian timbul dari suatu pertanyaan tersendiri adalah
sikap dan kaidah yang sangat abstrak sehingga tindakan atau perbuatan seseorang
tidak bisa dinilai secara pasti. Karena apa yang kita lihat boleh jadi hanyalah
respons dari indra baik yang bersifat eksternal maupun internal, sementara
latar belakang batiniah tidak dapat diterjemahkan melalui panca indera. Dalam
hal ini filsafat agama mengatakan bahwa hanya Tuhan yang mampu melihat sikap
batiniah seseorang yang kemudian dapat menentukan moralitas murni.
Moralitas sendiri dalam pandangan Kant dibedakan atas moralitas heteronom
dan moralitas otonom. Moralitas heteronom diartikan sebagai sikap dimana
kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri,
melainkan lebih karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku. Dalam
konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa dependensi manusia menunjukkan
inkonsistensi oleh seseorang tersebut.
Moralitas otonom, di sisi lain digambarkan sebagai kesadaran manusia akan
kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu dikehendakinya sendiri karena diyakini
sebagai sesuatu yang baik. Seseorang menerima dan mengikuti hukum lahiriah
bukan lantaran mau mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya ataupun karena
takut terhadap pemberi hukuman, melainkan karena itu dijadikan kewajibannya
sendiri berkat nilainya yang baik.
Pada dasarnya kewajiban dibagi atas dua bagian yaitu kewajiban yang
bersifat yuridis dan kewajiban yang bersifat etika. Kewajiban yang bersifat
yuridis bersumber pada instansi yang berwenang, sementara kewajiban yang
dikategorikan sebagai etika bersumber pada bagian di dalam batin seseorang.
Tentunya, perintah-perintah hukum berbeda dengan perintah-perintah etika. Dalam
hal ini, menurut aliran neopositivisme bahwa jika hukum digabungkan dengan
etika, maka hukum telah menyimpang dari makna sesungguhnya. Akan tetapi, dalam
beberapa pendapat disebutkan bahwa makna hukum tidak akan hilang apabila
keduanya, yaitu hukum dan etika terdapat ketertautan.
Kewajiban etis merupakan kewajiban yang dilakukan dalam ketaatan terhadap
norma-norma yang disadari manusia dalam segala bentuk perhubungannya baik
terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama, maupun terhadap Tuhan. Implikasi
ketaatan manusia terhadap norma-norma di atas, makan manusia tidak bebas untuk
mengikuti keinginan hawa nafsunya. Dalam hal ini, dapat dikatakan pula bahwa
norma-norma tersebut seperti “alarm” yang selalu mengingatkan individu hendak
berbuat yang tidak baik.
Hubungan antara sikap etis dan hukum telah meletakkan dasar-dasar atau
fondasi bagi diterjemahkannya hukum dalam konteks yang lebih umum. Sikap etis
akan menjembatani manusia yang memiliki ego untuk tidak selalu memikirkan
dirinya sendiri, melainkan menyadari akan kedudukan dan adanya kepentingan
orang lain. Etika mengatur hidup dalam hubungan baiknya sebagai bagian dari
komunitas masyarakat maupun dalam konteks berbangsa dan bernegara. Konstruksi
etika seperti ini sangat sederhana dalam melihat kertertautan antara etika dan
hukum. Hukum yang dimaksud disini tetntunya hukum positif yang diwujudkan dalam
bentuk peraturan-peraturan yang konkret yang berlaku pada suatu masyarakat
tertentu. Oleh karena itu, legalitas dan moralitas pada dasarnya sangatlah
sulit dipisahkan karena keduanya sesungguhnya merupakan dua kutub negatif dan
positif yang saling membutuhkan.
Kembali ke kasus pemerkosaan ayam yang saya contohkan, kasus serupa
kerapkali muncul dalam bentuk yang berbeda. Kenapa saya mengangkat contoh ini?
Karena banyak orang berfikir kesalahan etik, pelanggaran moral ditempatkan
dibawah hukum. Orang dinilai bersalah ketika melanggar hukum.
Pelanggaran etika dan moral dikerdilkan dihadapan hukum.
Di Indonesia, pelanggaran etik dan moral dianggap remeh. Anehnya, Indonesia mendefinisikan diri sebagai negara BERKETUHANAN yang BERADAB. Tidak semua permasalahan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara bisa diselesaikan dengan hukum.
Sekadar perenungan, Indonesia yang mayoritas muslim ternyata tidak mampu menejawantahkan ajaran Rasulullah Muhammad SAW, yang menekankan pentingnya ahlak (jika kita bersepakat ahlak merupakan padanan moral dan etik yang bersumber dari ajaran ilahiyah). Bukankah Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki ahlak manusia?
Di Indonesia, pelanggaran etik dan moral dianggap remeh. Anehnya, Indonesia mendefinisikan diri sebagai negara BERKETUHANAN yang BERADAB. Tidak semua permasalahan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara bisa diselesaikan dengan hukum.
Sekadar perenungan, Indonesia yang mayoritas muslim ternyata tidak mampu menejawantahkan ajaran Rasulullah Muhammad SAW, yang menekankan pentingnya ahlak (jika kita bersepakat ahlak merupakan padanan moral dan etik yang bersumber dari ajaran ilahiyah). Bukankah Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki ahlak manusia?
Islam hadir dimuka bumi sebenarnya sangat mengedepankan ahlak terpuji,
karena Rasulullah SAW sendiri diutus untuk menyempurnakan ahlak sebagaimana
sabdanya “Sesungguhnya
aku diutus hanya untuk menyempurnakan ahlak”.
Alangkah indahnya ajaran Islam yang
memerintahkan dan mengajarkan ahlakul karimah. Jika hidup dihiasi dengan ahlak
terpuji tentunya akan dicintai oleh Allah SWT dan masyarakatnya akan menjadi baik, temteram dan damai.
Sebagian manusia, berbicara tentang ahlak
terpuji dalam era globalisassi seperti ini dinilai kuno dan kurang maju.
Anggapan ini muncul karena sedah terpengaruh budaya barat yang dinilai maju dan
modern. Ahlak terpuji amat penting dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dalam dunia hukum dan
politik. Penyair Ahmad Syauki Bey mangatakan, “Sesungguhnya suatu umat akan tetap memiliki nama harum selama umat tersebut
memiliki ahlak yang terpuji. Manakala ahlak terpuji telah lenyap, lenyap
pulalah nama harum umat tersebut”. ***
Komentar
Posting Komentar