Reorientasi Pemikiran Pendidikan dalam Islam: Beyond Ideology
Oleh : Mohammad Syifa Amin Widigdo
(Kandidat P,hD Indiana University, USA. Sekjen PB HMI
MPO 2003-2005)
Diunduh dari http://edunews.id/2016/05/27/opini-reorientasi-pemikiran-pendidikan-dalam-islam-beyond-ideology/
Pelajar muslim masa kini dihadapkan pada kenyataan
yang tidak mudah. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mengetahui dan
menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Di sisi yang lain, mereka juga
dihadapkan pada tantangan kehidupan modern yang kompleks dimana agama dianggap
sebagai hal yang privat dan tidak penting bagi kesuksesan hidup seseorang.
Sistem pendidikan yang dikembangkan untuk memenuhi
tuntuhan dan kebutuhan yang pertama adalah sistem pendidikan yang berbasis pada
pengajaran agama. Hanya saja sistem ini seringkali menganaktirikan pengajaran
bidang sains dan ilmu-ilmu non-agama. Tidak mengherankan jika kemudian produk
yang dihasilkan dari sistem pendidikan seperti ini adalah generasi yang fasih
dengan ilmu agama tetapi gagap dalam menghadapi tantangan dan persoalan hidup
di zaman moderen. Mereka seperti orang yang datang dari masa lalu, dengan cara
berpikir dan berbahasa generasi zaman pertengahan, yang kemudian datang dan
hidup di masa kini tanpa bisa mengikuti derap irama kehidupan zaman baru.
Pendidikan agama yang berbasis madrasah, pesantren, dan masjid biasanya
dijadikan sebagai representasi pendidikan tradisional yang dikritik karena
ketidakmampuannya beradaptasi dan merespon zaman baru tersebut. Sementara untuk
menghadapi tantangan dan problem zaman moderen, banyak kalangan muslim
terpelajar yang mengadopsi sistem pendidikan Barat. Dalam sistem pendidikan ini,
yang lebih ditekankan adalah pengembangan nalar kritis, pengajaran yang
berbasis pada logika dan sains, serta pembatasan peran agama pada level
individu. Sistem pendidikan ini memang mampu memproduksi generasi pelajar
muslim yang menguasai ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, dan berbagai
kecakapan hidup, namun banyak di antara mereka yang tercerabut dari akar budaya
dan agamanya sendiri. Mereka tidak punya pengetahuan dan pemahaman yang cukup
tentang agamanya. Agama bahkan dianggap sebagai beban dan hambatan bagi
kemajuan. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah maupun kaum terpelajar
seringkali dikritik karena karakternya yang sekuler tersebut. Manusia yang
dihasilkan dari sistem dan institusi pendidikan tersebut juga dianggap sebagai
manusia sekuler, yang terpukau dan lalu terperangkap oleh Barat dalam hal cara
berpikir, berpakaian, dan berbahasa.[1]
Untuk mengatasi problem pendidikan yang disebutkan di
atas, banyak sarjana dan tokoh pendidikan muslim yang mencoba menawarkan
alternatif solusinya. Sebagian menggagas perlunya intensifikasi “modernisasi”
pendidikan. Sebagian yang lain mendorong agenda “Islamisasi” pendidikan. Ada
juga yang memandang perlunya “integrasi” pendidikan moderen dan
tradisional. Bahkan, ada yang merekomendasikan adanya “ideologisasi”
dalam konteks pendidikan Islam. Hanya saja, saya masih melihat adanya kelemahan
paradigmatik dan konseptual dari berbagai sistem pendidikan alternatif yang
digagas oleh para pemikir dan praktisi pendidikan itu. Oleh sebab itu, dalam
pembahasan ini, saya tidak hanya akan menelaah ulang ketegangan yang terjadi
antara para pemikir dan praktisi pendidikan yang berhaluan “modernis,”
“Islamis,”[2]
dan “ideologis,” dan “integralis,” tapi juga menawarkan cara pandang baru dalam
melihat masalah pendidikan dan berusaha memberikan solusinya di level
paradigmatik dimana saya melihat perlunya “reorientiasi” pemikiran pendidikan.
Dari yang semula dititikberatkan pada aspek metafisik, ontologis, dan
epistemologis menjadi lebih condong pada orientasi “teleologis.”
Modernisasi Vs Islamisasi
Sebelum membahas lebih jauh tentang istilah-istilah
teknis dan tawaran solusi saya atas problem pendidikan, ada baiknya kita
menelaah terlebih dahulu beberapa alternatif solusi yang diajukan oleh para
sarjana dan tokoh pendidikan yang ada selama ini. Mereka pada umumnya mempunyai
kesamaan pandangan atas masalah yang terjadi di dunia Islam, khususnya di
wilayah pendidikan. Masyarakat Islam, termasuk dunia pendidikannya, mengalami
kemunduran dan keterbelakangan. Hanya saja, mereka mempunyai perbedaan
pandangan dalam melihat kenapa kemunduran tersebut terjadi dan juga berselisih
pendapat dalam hal bagaimana cara mengatasi masalah kemunduran tersebut.
Tidak ada satu jawaban yang seragam atas pertanyaan
apa jalan keluar bagi problem kemunduran dan ketebelakangan pendidikan Islam
tersebut. Para reformis pendidikan di dunia Islam, seperti Syaikh Ḥasan
al-Attar (1766-1835), Syaikh Rifaʿah al-Tahtawi (1801-1873), Ali Pasha Mubarak
(1823-1893), dan Muḥammad Abduh (1849-1905) di Mesir,[3] Yusuf Banuri (1908-1977) di Pakistan,[4]
serta K.H. Aḥmad Dahlan (1868-1923) di Indonesia,[5] memandang perlunya mengadopsi beberapa
aspek dari pendidikan Barat yang bermanfaat bagi kemajuan pendidikan. Di
antaranya adalah pembaharuan kurikulum—dimana ilmu-ilmu umum dan sains diadopsi
untuk diajarkan di lembaga pendidikan yang berbasis agama—, pengadopsian model
relasi antara guru dan murid yang lebih impersonal, pengenalan sistem ujian
untuk menentukan kelulusan bukan semata-mata berdasarkan sertifikasi (ijāzah)
dari guru, serta penggunaan sistem pendidikan yang berbasis sekolah—yang
berbeda dengan madrasah dengan metode ḥalqah-nya (bandongan). Misalnya,
Syaikh al-Tahtawi, sebagaimana dipaparkan Gesink (2014), dalam buku Takhlīṣ
al-Ibrīz fī Talkhīṣ Bārīz memuji sistem pendidikan Perancis seraya
menyerukan ʿulamā’ untuk juga mempelajari ilmu pengetahuan alam (natural
sciences), matematika, kedokteran, dan ilmu teknik elektro (electrical
engineering).[6] Yusuf Banuri, sebagaimana dinukil oleh
Rehman (2014), memandang perlunya modernisasi kurikulum dengan mengganti
buku-buku klasik dengan buku-buku yang lebih moderen dan memasukkan mata
pelajaran sains moderen di madrasah.[7] Sementara itu, K.H. Aḥmad Dahlan dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya memprakarsai pelaksanaan sistem
pendidikan moderen yang berbasis sekolah di Indonesia.[8]
Jika para reformis pendidikan lebih mengarahkan
kritiknya pada sistem pendidikan agama tradisional, dan kemudian
memandang perlunya modernisasi sistem pendidikan dan kurikulum, lain halnya dengan
seumlah pemikir pendidikan yang datang kemudian. Para tokohnya adalah
intelektual muslim kontemporer seperti Ismail R. al-Faruqi (1921-1986),[9]
Sayed Muḥammad Naquib al-Attas (1931-sekarang),[10] dan para sarjana yang seaspirasi dengan
keduanya.[11] Mereka melancarkan kritik keras terhadap
sistem pendidikan sekuler-Barat yang banyak diadopsi oleh para pendidik karena
dianggapnya tidak islami. Mereka kemudian menawarkan apa yang disebut sebagai
agenda “Islamisasi” terhadap ilmu dan sistem pendidikan di dunia Islam.
Bagi mereka, konsep nilai dan pendidikan yang dimiliki kaum sekularis
bertolak belakang dengan nilai dan pendidikan yang diajarkan oleh Islam. Dalam
bahasa Ashraf, keduanya mempunyai konsep nilai dan pendidikan yang “completely
antagonistic,” benar-benar saling berlawanan.[12] Di satu sisi, pendekatan sekuler hanya
mendasarkan diri pada fakultas rasional, pengalaman inderawi, prosedur
saintifik, dan mekanisme logika untuk menemukan kebenaran. Hal-hal yang
berkaitan dengan agama dan spiritualitas dianggap tidak rasional dan empiris,
maka dari itu, dianggap tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai
kebenaran. Sementara itu, di sisi yang lain, pendekatan Islam lebih mendasarkan
diri pada faktor kepercayaan (faith), intuisi (intuition), dan
pengalaman kewahyuan (revelatory experience) untuk menemukan kebenaran
yang tertinggi, bukan semata-mata menggunakan cara empiris dan rasional yang
mana hanya bisa dipakai untuk sampai pada kebenaran yang bersifat empiris dan
rasional saja, bukan kebenaran yang sejati (i.e. Tuhan).[13] Dari pemahaman seperti inilah kemudian
para pemikir pendidikan Islam tersebut menggagas dan menawarkan agenda
“Islamisasi.” Dalam agenda ini, paradigma tawḥīd (Keesaan Tuhan) mempunyai
peran sentral karena paradigma ini memandang manusia yang merupakan ciptaan
Tuhan sebagai satu kesatuan yang utuh. Manusia bukan hanya makhluk yang
berdimensi fisik, rasional, dan sosial tapi juga berdimensi spiritual. Semua
dimensi manusia tersebut harus mendapatkan pendidikan yang memadai agar dapat
tumbuh dan berkembang sebagaimana fitrah dasar dan tujuan penciptaannya. Sebab,
pada akhirnya, seorang muslim diharapkan tidak hanya cakap dalam menggunakan
indera dan akalnya untuk memperoleh pengetahuan tapi juga dituntut untuk dapat
meningkatkan kesadaran dan kualitas spiritualnya untuk menemukan kebenaran
tertinggi, yakni Tuhan.[14]
Ideologi, Perlukah?
Dua pendekatan tersebut di atas memang memiliki
sumbangannya tersendiri bagi perkembangan pendidikan di dunia Islam. Namun
demikian bukan berarti semua masalah keterbelakangan dan kemunduran pendidikan
telah dipecahkan dan selesai. Oleh sebab itu, sejumlah pihak, baik pemikir
maupun pemangku kebijakan pendidikan, melihat perlunya “ideologisasi”
pendidikan. Hal itu diperlukan karena pemikiran pendidikan, baik yang
ditawarkan oleh kaum reformis maupun kaum Islamis dalam pendidikan, dinilai
terlalu elitis, tidak radikal, kurang menggerakkan. Pemberian label “ideologi”
dalam konteks pendidikan dipercaya mampu memberi daya gerak, perubahan yang
radikal, dan mengurangi karakter yang elitis tersebut.
Para tokoh dan aktivis pendidikan yang bergerak di
dunia organisasi non-pemerintah (ornop) menggagas apa yang disebut sebagai
ideologi pendidikan yang “kritis dan partisipatoris”. Terinspirasi oleh Pedagogy
of The Oppressed (Pendidikan untuk Kaum Tertindas) yang ditulis oleh Paulo
Freire,[15]
tokoh pendidikan Indonesia seperti Utomo Dananjaya (1936-2014)[16]
dan Mansour Fakih (1953-2004)[17] melihat bahwa pendidikan haruslah
diarahkan untuk menumbuhkan daya kritis dan kemampuan partisipatoris dari para
peserta didik. Tujuannya adalah agar mereka mampu membebaskan diri dari
belenggu ideologi mainstream yang menindas. Ideologi “kritis dan
partisipatoris” dalam perspektif para pendidik seperti mereka dilihat sebagai
sebuah alat perlawanan terhadap ideologi-ideologi besar yang
eksploitatif, seperti kapitalisme, neoloberalisme, dan turunan-turunannya.
Hanya saja, istilah ideologi sendiri sebenarnya kurang
tepat untuk disandingkan dengan hal-hal yang berkonotasi positif seperti frase
“kritis dan partisipatoris” di atas. “Ideologi” meskipun awalnya merupakan
istilah yang netral sebagai sebuah “ilmu tentang ide-ide”[18] atau “kumpulan ide dan asumsi yang
mempengaruhi sebuah aksi,”[19] namun lebih sering dipakai dalam konteks
yang peyoratif. Karl Marx, misalnya, menyebut ideologi sebagai “kesadaran kelas
yang palsu (false class coinsciousness).” [20] Para ilmuwan lain, sebagaimana dirangkum
oleh George A. Huaco (1971), mendefinisikan istilah “ideologi” sebagai ilusi,
topeng, mitos, sesuatu yang berfungsi sebagai pemenuhan keinginan (wish-fulfillment),
sesuatu yang berlawanan dengan realitas empiris, sesuatu yang tidak saintifik,
atau sesuatu yang dipakai untuk kontrol sosial atau untuk memanipulasi massa,
dan sebagainya.[21] Untuk itu saya menghindari penggunaan
istilah “ideologi” untuk merujuk pada agenda perbaikan pendidikan yang
adiluhung, baik yang digagas oleh kaum reformis maupun kaum Islamis.
Namun demikian, ketika gagasan-gagasan adilihung di
bidang pendidikan tersebut dipakai untuk menutupi kepentingan dan hasrat
kekuasaan pribadi atau kelompok, maka saya tidak ragu untuk menggunakan istilah
tersebut. Hal inilah yang terjadi ketika proyek “modernisasi pendidikan” atau
“Islamisasi pendidikan” mengalami proses ideologisasi. Agenda perbaikan
pendidikan menjadi sesuatu yang tertutup, tidak membebaskan, dan malah menindas
pandangan mereka yang kritis dan berbeda.
Hal ini terjadi baik terhadap gagasan “modernisasi’
pendidikan maupun agenda “Islamisasi” pendidikan di dunia Islam. Ideologisasi
gagasan “modernisasi pendidikan” yang radikal terjadi di Turki pada masa
Mustafa Kamal Ataturk. Pada tahun 1924, sebanyak 479 madrasah dan sekolah
al-Qur’an ditutup karena rejim Kemal Ataturk memberlakukan apa yang disebut sebagai
“Law for the Unification of Education (Undang-Undang Unifikasi Pendidikan).”
Tujuan dari undang-undang tersebut adalah untuk memodernisasi pendidikan Turki
yang dianggap sudah tertinggal dibanding pendidikan Barat. Ataturk, sebagaimana
dikutip Bekim Agai (2007), pernah mengatakan,” Madrasah-madrasah ini, yang
didirikan oleh pemerintahan lama Turki, telah hancur berantakan, tidak bisa
lagi direformasi dalam kerangka mentalitas akademik yang moderen.”[22]
Oleh sebab itu, untuk memenuhi proyek modernisasinya, Kemal Ataturk
memberlakukan kewajiban untuk belajar sains, menutup lembaga pendidikan agama
dan madrasah, dan bahkan menghapus mata pelajaran agama dari kurikulum di
sekolah. Sehingga, praktis tidak ada akses formal ke pendidikan agama
antara tahun 1933-1948 di negara yang hampir 100 persen muslim ini.[23]
Oleh sebab itu, meskipun kaum reformis pendidikan
berhasil memberikan sumbangan strukturisasi dan sistematisasi pendidikan di
dunia Islam, tapi ketika “modernisasi” menjadi jargon “ideologis,” dampaknya
menjadi banyak yang negatif. Selain problem sekularisasi pendidikan yang
dikritik oleh kalangan “Islamis,” ada dua konsekuensi yang tak disangka-sangka
akan terjadi (unexpected consequences) dari proyek modernisasi yang
ideologis ini. Pertama, meskipun tujuan awal dari modernisasi adalah agar umat
Islam maju dan setara dengan Barat, tapi ternyata yang banyak terjadi adalah
rasa rendah diri (inferiority complex) di hadapan pencapaian dan
kemajuan Barat. Salah satu indikasi dari rasa rendah diri itu adalah munculnya
fenomena yang disebut oleh Jalal Al-i Aḥmad (1921-1969) sebagai gharbzadagi (westoxication,
teracuni oleh Barat). Yakni, Abdolkarim Soroush (2000) menjelaskan maksud Jalal
Ahmad, gejala pengimitasian terhadap apa saja yang datang dari Barat, meskipun
dengan mengorbankan aset dan warisan besar dari budaya sendiri: ”Berbicara
dengan lidah mereka, berpikir dengan otak mereka, melihat dengan mata mereka,
dan ikut meratapi rasa sakit mereka.”[24] Kedua, berkurangnya porsi atau daya
tarik ilmu-ilmu agama yang awalnya menjadi kekuatan madrasah, pesantren, serta
perguruan tinggi Islam. Dalam konteks Indonesia, misalnya, madrasah di
lingkungan Kementrian Agama hanya memiliki porsi 30 persen ilmu-ilmu agama di
kurikulumnya, jauh lebih sedikit dibanding ilmu-ilmu umum yang mencapai sekitar
70 persen.[25] Kecenderungan yang sama juga terjadi
ketika IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dikonversi menjadi UIN (Universitas
Islam Negeri). Yang juga menarik adalah munculnya fenomena “Sekolah
Islam” atau “Sekolah Islam Terpadu” yang secara kurikulum tidak banyak
mengajarkan mata pelajaran ilmu agama tapi memakai nama “Islam” karena
bertujuan untuk mempraktikkan nilai, etika, dan prinsip-prinsip Islam dalam
kurikulum maupun dalam praktik keseharian.[26] Artinya, ilmu-ilmu agama dianggap tidak
terlalu penting atau menarik lagi untuk diajarkan kepada pelajar karena
karakter dan nilai “Islami” juga bisa didapat dari ilmu-ilmu umum.
Problem yang mirip juga terjadi ketika agenda
“Islamisasi” pendidikan diadopsi atau dikooptasi sebagai ideologi kelompok
tertentu untuk mencari pengaruh dan kuasa. Hal ini, misalnya, terjadi
pada kasus naiknya Jendral Mohammed Zia ul-Haq menjadi penguasa di Pakistan
pada tahun 1977 dengan menjatuhkan rezim Zulfikar Ali Bhutto (1971-1977). Zia
ul-Haq lalu mengintroduksi sebuah kebijakan pendidikan yang disebut oleh Aziz
Talbani (1996) bertujuan untuk mensosialisasikan apa yang disebut sebagai
“ideologi resmi negara dan ideologi agama Islam.”[27] Pada praktik kebijakannya, mulai tahun
1979, rezim Zia ul-Haq membuat buku pedoman dan silabus baru berdasarkan
“ideologi resmi negara” yang bercorak “Islamis” itu. Lebih lagi, rezim
ini juga memaksa perempuan untuk memakai chadar (jilbab) di
lembaga-lembaga pendidikan, mengorganizasi shalat zuhur berjamaah pada saat jam
sekolah, memakai pengetahuan keagamaan sebagai alat untuk menyeleksi guru di
semua level pendidikan, dan merevisi mata pelajaran umum dengan penekanan pada
pembubuhan nilai-nilai Islam di dalamnya.[28] Makna “Islam” bahkan dipersempit menjadi
sebuah ideologi yang dipakai untuk memberi legitimasi atas produksi dan
regulasi pengetahuan, yang ujungnya adalah untuk melanggengkan kekuasaan (i.e.,
rezim Zia ul-Haq). Ilmu-ilmu yang berkaitan sains, teknologi, matematika, dan
sejarah hanya diperbolehkan untuk menjadi bahan ajar jika telah lulus melewati
“tes validitas dan efektivitas dalam menumbuhkan kesadaran yang lebih dalam
terhadap kehadiran Tuhan di dunia.”[29] Dampak dari politik ideologisasi
Islam dalam pendidikan di Pakistan ini, sebagaimana pengamatan Talbani (1996),
sangatlah serius. Kebijakan tersebut tidak hanya memperparah konflik sektarian
di masyarakat, tapi juga meminggirkan budaya yang berbeda dan ilmu-ilmu lain
yang non-agama.[30]
Dalam konteks ini, walaupun kontribusi para pemikir
dan tokoh pendidikan “Islamis” memang besar, terutama dalam bentuk kritisisme
mereka terhadap kecenderungan “sekulerisme” dan upaya mereka untuk merumuskan
apa yang disebut sebagai “pandangan dunia” (worldview) Islam, namun
kecenderungan “ideologis” dari proyek “Islamisasi” pendidikan membawa dampak
negatif dan mempunyai kelemahan yang patut diwaspadai. Pada tingkat konseptual,
paradima “Islamisasi” ilmu dan pendidikan berpotensi untuk menjadi sebuah
doktrin yang membatasi kebebasan akademik. Inovasi dan pemikiran kritis yang
dianggap bertentangan dengan “pandangan dunia” Islam bisa dianggap menyimpang
dan kemudian dilarang. Jika hal seperti ini terjadi, maka proses pendidikan dan
penelitian yang dilakukan tidak mungkin menghasilkan keunggulan dalam
kreatifitas dan inovasi, melainkan hanya mereproduksi sikap apologetik yang
melanggengkan kejumudan. Pada tingkat praktis, mungkin agenda “Islamisasi” baik
untuk diberlakukan di sekolah atau madrasah yang berhaluan Islam dari tingkat
dasar hingga tingkat atas, namun akan bermasalah jika diterapkan di
sekolah-sekolah umum dan di tingkat pendidikan tinggi. Memaksakan penerapan
agenda “Islamisasi” pendidikan di suatu negara yang bhineka seperti Indonesia
tidak hanya karena ada mendapat penentangan dari masyarakat tapi juga
menciderai nilai-nilai Islam yang menghargai keragaman manusia. Intinya, agenda
“Islamisasi” tidak layak untuk djadikan sebagai kebijakan publik suatu negara,
tidak hanya karena bersifat sektarian, tapi juga tidak sensitif terhadap
keberagaman masyarakatnya. Demikian pula jika diberlakukan di pendidikan
tingkat tinggi, seperti universitas, apakah mahasiswa non-muslim juga diminta
untuk mengikuti cara “pandang dunia” versi Islam? Apakah perguruan tinggi
dengan “pandangan dunia” Islam dapat menghilangan kecenderungan sikap
apologetik demi menghasilkan kualitas pendidikan dan penelitian yang unggul,
tanpa khawatir bertentangan dengan “doktrin” Islamisasi ilmu dan pendidikan?
Oleh sebab itu, “ideologisasi” pendidikan baik oleh
kaum reformis maupun oleh kaum Islamis bukanlah jawaban untuk pendidikan Islam
yang lebih baik. Lalu, adakah alternatif lain? Para cendekiawan muslim seperti
Fazlur Rahman (1982) dan Mulyadhi Kartanegara (2005) memandang bahwa
“modernisasi” dalam bingkai sekularisasi maupun “Islamisasi” pendidikan yang
ditransformasi menjadi ideologi bukanlah solusi terbaik dan realistis untuk
menghadapi tantangan dan masalah baru di masa depan. Meskipun Rahman bersimpati
dengan usaha yang dilakukan oleh kaum Islamis, namun dia menyangsikan
keberhasilan upaya “Islamisasi” mereka jika tanpa disertai dengan
perumusan apa yang disebut sebagai “metafisika Islam yang berbasis al-Qur’an.” [31]
Untuk itu, yang diperlukan adalah pembacaan historis terhadapan al-Qur’an,
dimana sebab-sebab turunnya sebuah ayat harus dijadikan rujukan dan
pertimbangan untuk merumuskan pandangan metafisika Islam. Setelah itu, yang tak
kalah pentingnya dalam konteks perbaikan pendidikan Islam adalah rekonstruksi
ilmu-ilmu yang diwariskan oleh para sarjana Muslim masa lalu secara sistematis,
baik di bidang teologi, hukum dan etika, filsafat, maupun ilmu-ilmu
sosial.[32]
Rekonstruksi inilah yang dipercaya Rahman akan dapat menawarkan solusi bagi
pendidikan Islam di masa depan.
Rekomendasi Rahman untuk melakukan rekonstruksi
tersebut disambut oleh Mulyadhi Kartanegara, muridnya dari Indonesia di The
University of Chicago, dengan menulis sebuah buku yang berjudul Integrasi
Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (2005). Dalam karyanya tersebut,
Kartanegara melakukan pembacaan yang mendalam atas khazanah filsafat Islam
untuk menemukan solusi bagi problem keilmuan di masa kini. Utamanya adalah
masalah dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum-sekuler. Dari hasil
rekonstruksinya atas khazanah filsafat Islam, Mulyadhi Kertanegara berpandangan
bahwa masalah dikotomi tersebut dapat diselesaikan dengan memperkenalkan cara
pandang integratif yang disebutnya sebagai “integrasi ilmu.” Pertama, dengan
meminjam konsep waḥdat al-wujūd (kemanunggalan wujud) dan tasykīk
al-wujūd (gradasi wujud) Mulla Sadra—yang sebenarnya merupakan hasil
penafsirannya atas doktrin tauḥīd (keesaan Tuhan)—, Mulyadhi Kartanegara
menemukan basis ontologis bagi integrasi ilmu.[33] Dalam konteks ini, semua obyek ilmu,
baik yang fisik maupun non-fisik, mempunyai status ontologis yang sama karena
pada hakikatnya semua wujud baik yang fisik maupun non-fisik itu satu (waḥdat
al-wujūd). Yang membedakan antara satu obyek dengan obyek yang lain
hanyalah gradasi atau tingkatannya saja (tasykīk al-wujūd), karena
masing-masing mempunyai esensi dan bentuk yang berbeda. Untuk itu, karena pada
hakikatnya baik yang fisik (tangibles) maupun non-fisik (intangibles)
adalah sama, riil, dan berasal dari Wujud Yang Satu, maka obyek-obyek ilmu yang
fisik dan non-fisik itu pun sama-sama sah dan valid untuk menjadi obyek ilmu
dan penelitian. Konsekuensinya, penelitian ilmiahnya bukan hanya bersifat
observasi-eksperimental (tajrībī) tapi juga bisa bersifat demonstratif (burhānī),
bersifat intuitif (ʿirfānī), atau malah bersifat deskriptif (bayānī).
Semuanya tergantung pada jenis obyek penelitianya.[34] Jika obyeknya adalah fisik (tangibles),
maka yang digunakan adalah metode observasi atau eksperimentasi dimana indera
memainkan peranan yang penting sebagai sumber ilmu. Namun dengan demikian, bila
obyek-obyeknya adalah non-fisik (intangibles), maka metode burhānī
atau ʿirfānī lebih tepat untuk dipakai untuk mempelajarinya. Sementara
itu, jika yang menjadi obyek penelitian adalah teks-teks keagamaan, utamanya
al-Qur’an, maka metode penilitian ilmiahnya bersifat bayānī . Sehingga,
pada ujungnya, “intergrasi ilmu” terjadi tidak hanya terjadi pada level
ontologis, tapi juga epistemologis, karena, yang diakui sebagai sumber ilmu
bukan hanya indera (dalam metode tajrībī), tapi juga akal (dalam metode burhānī),
hati (dalam metode ʿirfānī), serta wahyu (dalam metode bayānī).[35]
Dari sinilah agenda besar “integrasi ilmu” berupaya untuk mereintegrasi ilmu
sehingga pendikotomian ilmu yang terjadi di lingkungan pendidikan Islam selama
ini bisa dihilangkan.
Reorientasi Pemikiran Pendidikan: Orientasi Teleologis
Dari diskusi di atas, tampak bahwa masing-masing
mazhab pemikiran pendidikan mempunyai rujukan, kiblat, dan agenda tersendiri
dalam rangka memperbaiki pendidikan Islam. Kaum reformis melihat bahwa sistem
pendidikan Barat yang sekuler dapat dijadikan kiblat untuk memodernisasi
pendidikan agar setidaknya dapat menyamai pencapaian Barat. Agenda reformasi
pendidikan yang mereka tawarkan lazimnya berada pada level praktis atau
kebijakan, misalnya pengadopsian sistem kelas, ujian, atau memasukkan ilmu-ilmu
umum dalam kurikulum. Sementara kaum Islamis memandang sekularisasi pendidikan
Islam sebagai sebuah ancaman, karena yang masuk ke dunia pendidikan bukan hanya
metode pengajaran dan ilmu-ilmu baru non-agama, tapi juga “pandangan dunia”
sekulernya. Lalu, mereka mencari penangkalnya melalui penggalian khazanah
doktrin metafisika Islam (tawḥīd) sebagai referensi untuk merumuskan apa
yang disebut sebagai “pandangan dunia” Islam untuk diintroduksi ke sistem
pendidikan. Dengan demikian, solusi yang mereka ajukan berada di tingkat
epistemologis, artinya, yang hendak diubah adalah cara pandang dunia dan
filsafat pengetahuannya. Semenara itu, kaum “ideologis” dari mazhab reformis
maupun Islamis melakukan radikalisasi terhadap ide “modernisasi” atau
“Islamisasi” dengan mengadopsinya dalam visi dan kebijakan politik. Rujukannya
sama dengan patron ideologis mereka, yakni sistem pendidikan Barat yang sekuler
atau “pandangan dunia” Islam, yang mereka reduksi ke dalam kebijakan-kebijakan
yang artifisial buat perbaikan pendidikan Islam. Yang terakhir, baik mazhab
berfikir rekonstruksionis F. Rahman maupun mazhab integrasi M. Kartanegara,
merekomendasikan rujukan khazanah intelektual Islam masa lalu untuk
menyelesaikan problem pendidikan di masa kini. Khazanah intelektual tersebut
diyakini dapat memberi penyelesaian ontologis maupun epistemologis bagi problem
sekularisasi dan dikotomi ilmu di masa kini.
Seperti yang saya paparkan di atas, orientasi
pemikiran pendidikan selama ini mengarah pada Barat yang sekuler atau
kejayaan intelektual masa lalu yang kompleks dan dinasmis. Kemudian, para pemikir
dan tokoh pendidikan itu memberikan tawaran agenda dan solusi yang kalau tidak
beroperasi di tingkat praktis atau kebijakan politik (i.e. kaum reformis dan
ideologis), berarti beroperasi di tingkat epistemologis dan cara pandang
ontologis (oleh kaum Islamis, rekonstruksionis, atau integralis) untuk
mengatasi masalah pendidikan di masa kini. Dalam hal ini, kaum kaum
reformis-modernis memberikan a sense of purpose (arah-tujuan) pendidikan
yang lebih bersifat empiris dan duniawi, yakni mengejar ketertinggalan dari
Barat dalam hal pendidikan dan peradaban, dengan solusi yang bersifat
pragmatis. Sementara kaum Islamis, rekonstruksionis, dan integralis tidak
memiliki arah-tujuan duniawi yang jelas kecuali membendung arus sekularisasi
pendidikan dengan solusi yang bersifat metafisis atau epistemologis. Bagaimana
hasilnya? Di satu sisi, solusi yang ditawarkan oleh kaum reformis-modernis
seringkali ad hoc dan tanpa memiliki basis epistemologi yang kuat.
Alih-alih dapat mengejar ketertinggalan dari Barat dalam pendidikan dan
peradaban, yang seringkali terjadi adalah bahwa mereka malah menjadi konsumen
loyal yang tidak kritis dari produk pemikiran, budaya, dan teknologi Barat. Di
sisi yang lain, solusi yang diajukan oleh kaum Islamis, rekonstruksionis, dan
integralis terlalu berorientasi pada aspek metafisis dan epistemologis sehingga
kurang menggerakkan dan tidak praktis untuk diterapkan dalam konteks
kebijakan pendidikan. Malahan, yang seringkali terjadi di lapangan adalah
mental apologetik dari para praktisi pendidikan dengan hanya membubuhkan
klaim nilai Islam atau dalil keagamaan pada pelajaran umum dan sains untuk
menjustifikasi sebuah aktivitas atau penemuan saintifik.
Oleh sebab itu, di sini saya berusaha untuk menawarkan
upaya reorientasi pemikiran pendidikan yang tidak menjadikan Barat sebagai
kiblat tapi juga tidak terlalu metafisis, epistemologis, atau apologetik untuk
dijadikan panduan bagi perbaikan sistem pendidikan di dunia Islam. Saya
menyebutnya sebagai paradigma teleologis dalam pendidikan. Artinya, daripada
menekankan pada aspek “pragmatis” model kaum reformis atau “pandangan dunia”
dan “metafisika” Islam model kaum Islamis dan turunannya sebagai solusi atas
problem pendidikan di masa kini, saya melihat perlunya pemikir dan praktisi
untuk lebih fokus pada apa sebenarnya arah-tujuan (telos) pendidikan
dalam Islam. Penekanan pada telos inilah yang saya sebut sebagai dimensi
teleologis dari pemikiran pendidikan.
Meskipun para pemikir pendidikan banyak yang
menekankan pada aspek perubahan atau pengembangan (cultivate) karakter
seorang peserta didik sebagai tujuan pendidikan, tapi bagi saya, tujuan
pendidikan yang sebenarnya dalam Islam adalah untuk mencetak manusia yang mampu
menjalankan tugas dan misi kemanusiaan yang diamanatkan Allah selama hidup di
dunia. Pertanyaanya kemudian, apa saja tugas dan misi tersebut?
Yang pertama, tugas dan misi untuk mengabdi,
beribadah, kepada Allah. Dalam al-Qur’an, tugas dan misi tersebut disebutkan
dalam Surah al-Dhāriyāt 51: 56 yang berbunyi:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka meng-abdi, beribadah, kepada-Ku.”
Kata يَعْبُدُون yang berarti “mereka meng-abdi” adalah
kata kerja (fiʿl) yang bentuk kata bendanya (maṣdar) adalah ʿibādah.
ʿIbādah mempunyai pengertian yang luas, tidak hanya mencakup kesadaran
manusia sebagai hamba atau pengabdi (ʿabd atau ʿābid) Tuhan yang
terefleksi dalam ritual-keagamaan (ʿibādah maḥḍah) tapi juga termasuk
kesadaran bahwa Tuhan selalu menjadi oriantasi dari segala aktivitas yang
dilakukan oleh manusia (ʿibādah ghayr maḥḍah). Inilah yang saya sebut
sebagai kesadaran transenden (transcendental consciousness). ʿIbādah adalah
manifestasi dari kesadaran transenden manusia itu,yakni kesadaran bahwa Tuhan
itu ada dan menjadi orientasi hidup manusia, baik di saat melakukan aktivitas
yang berkaitan langsung dengan ritual agama, seperti syahadat shalat, puasa,
zakat, dan haji maupun di saat melakukan aktivitas yang tidak terkait langsung
dengan ritual agama, seperti belajar, bekerja, bertamsya, dan sebagainya. Dalam
konteks pendidikan untuk menjadi seorang ʿabd, kesadaran transenden
tersebut harus diinternalisasi oleh peserta didik muslim, utamanya pada tingkat
pendidikan dasar, menengah, dan atas. Proses “internalisasi” kesadaran
transenden tersebut dapat dilakukan melalui pengajaran di ruang kelas (baik
mata pelajaran umum maupun agama) maupun melalui berbagai aktivitas pendidikan
di luar kelas (baik yang berkaitan langsung dengan aktivitas keagamaan maupun
yang bukan).
Yang kedua, tugas dan misi yang diamanahkan kepada
manusia adalah untuk menjadi khalīfah (pengemban amanat/trustee)
di atas bumi. Allah menyebutkan tugas dan misi ini dalam dialognya dengan para
malaikat saat proses penciptaan awal manusia, yang direkam dalam al-Qur’an
Surah al-Baqarah 2: 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ
فِي ٱلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ
إِنِّيۤ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalīfah di muka
bumi”. Mereka berkata: “Kenapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat
kerusakan pada dan menumpahkan darah (sebagai khalifah di muka bumi), padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Posisi manusia sebagai khalifah tidak bisa dilepaskan
dari posisi dirinya yang juga sebagai ʿabd, yakni makhluk yang mempunyai
kesadaran transenden. Hanya saja, untuk menjalankan fungsi sebagai “khalifah,”
kesadaran transenden tersebut harus mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo
(1991) sebagai “objektifikasi.”[36] Artinya, kesadaran transenden yang
dimiliki harus diterjemahkan ke dalam nilai, aktivitas, karya, organisasi, atau
institusi yang objektif sehingga manusia dari berbagai macam latar belakang
etnis, bangsa, dan agama dapat memahami dan merasakan manfaat dari kesadaran
transenden yang sudah diobjektifikasi tersebut. Inilah yang saya sebut sebagai
paradigma khalifah. Paradigma pemangku amanat di bumi yang bertanggung jawab
untuk merawat, menjaga, dan memajukan kehidupan di dalamnya.
Untuk itu, dalam kaitannya dengan pemikiran
pendidikan, sistem pendidikan harus didesain untuk membekali peserta didik agar
dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Terutama di jenjang pendidikan
tingkat atas dan tinggi. Dalam konteks objektifikasi kesadaran transenden atau
paradigma kekhilafahan ini, dikotomi ilmu agama dan atau ilmu umum tidak lagi
relevan, Bukan saja karena keduanya mempunyai basis ontologis yang sama
sebagaimana paparan kaum integralis, tapi dalam konteks objektifikasi kesadaran
transenden, keduanya juga bisa diarahkan untuk visi teleologis yang sama,
yakni, untuk membantu manusia dalam menjalankan tugas dan misi kekhalifahan.
Dalam hal ini, misalnya, melatih dan membekali seorang mahasiswa pertanian
dengan ilmu dan keahlian yang berkaitan dengan pertanian sama nilainya dengan
mengajarkan ilmu dan kecakapan di bidang tafsir al-Qur’an kepada seorang calon
sarjana tafsir. Demikian pula dari sisi peserta didiknya. Belajar ilmu apa
saja, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum, sama nilai dan kemuliaannya
jika masing-masing ditujukan untuk membantu peserta didik dalam menjalankan
tugas dan fungsi kehilafahannya.
Di sini, yang menjadi pertanyaan krusial bukan
bagaimana cara memodernisasi institusi pendidikan agama atau ilmu-ilmu agama,
sebagaimana agenda kaum reformis-modernis. Bukan pula bagaimana cara
mengislamisasi ilmu-ilmu umum dengan mengintroduksi “pandangan dunia” Islam
atau “metafisika” Islam sebagaimana kaum Islamis dan integralis. Yang menjadi
pertanyaan utama adalah bagaimana agar produk dari ilmu-ilmu yang dipelajari di
institusi pendidikan Islam, baik ilmu agama maupun ilmu umum, dapat
menghasilkan manusia yang dapat menjalankan tugas kekhilafahan sesuai dengan
peran dan keahlian masing-masing. Kalau, misalnya, ilmu pertanian yang
diajarkan di sebuah institusi pendidikan dapat melahirkan seorang ahli
pertanian yang berdedikasi merawat bumi, maka nilai dan kemuliaan ilmunya sama
dengan ilmu tafsir yang diajarkan di tempat tersebut, yang memungkinkan bagi
terlahirnya seorang ahli tafsir yang berdedikasi untuk menebar damai. Inilah
yang saya sebut sebagai perubahan orientasi pendidikan dari orientasi
pragmatis, “Islamis,” atau ideologis ke arah orientasi teleologis. Para peserta
didiknya, baik muslim maupun non-muslim, diarahkan untuk menjadi manusia yang
paling memberi manfaat di bidang ilmu dan keahliannya masing-masing.
Yang ketiga, tugas dan misi manusia ditegaskan dalam
titah Allah kepada Rasul-Nya yang terekam dalam Surah al-Anbiyā’ 21: 107
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) raḥmah bagi semesta alam (universe).”
Dalam ayat tersebut, meskipun yang menjadi mukhāṭab
(orang kedua, pihak yang diajak berbicara) adalah Nabi Muḥammad SAW, namun
pesan dari perintah tersebut berlaku universal untuk seluruh umat Sang Nabi.
Artinya, kewajiban untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam itu adalah tugas dan
misi umat Nabi Muḥammad SAW juga. Tugas manusia untuk menjadi raḥmatan lil
ʿālamīn (compassion for all universe, rahmat untuk semesta
alam) merupakan kelanjutan, dan tidak bisa dilepaskan, dari tugasnya sebagai ʿabd
(hamba) dan khalīfah (pengemban amanat Tuhan di bumi). Jika tugas
menjadi ʿabd meniscayakan “internalisasi” kesadaran transenden dan misi
menjadi khalīfah membutuhkan “objektifikasi” kesadaran tersebut, maka
dalam rangka menjadi raḥmah buat semesta alam, manusia membutuhkan
“universalisasi” kesadaran transenden tersebut. Apa maknanya?
Maknanya, kesadaran transanden sebagai ʿabd dan
sebagai khalīfah harus ditingkatkan menjadi kesadaran yang lebih
universal, yang memandang diri tidak hanya sebagai muslim (kesadaran ʿabd)
atau sebagai bagian dari umat manusia (kesadaran khalīfah), tapi juga
sebagai bagian dari alam semesta (kesadaran raḥmatan lil ʿālamīn).
Universalisasi kesadaran transenden meniscayakan bahwa nilai, aktivitas, karya,
organisasi, atau institusi yang dimiliki seorang muslim tidak hanya membawa
manfaat, tapi juga membawa rahmat bagi sebanyak-banyaknya makhluk yang ada di
alam ini. Apa relevansinya bagi perbaikan pendidikan di dunia Islam?
Kesadaran raḥmatan lil ʿālamīn tersebut mengimplikasikan sistem dan
institusi pendidikan Islam harus didesain secara inklusif dan holistik.
Inklusif mengandung pengertian bahwa manfaat dan berkah sistem pendidikan Islam
tidak hanya membawa manfaat dan berkah bagi umat Islam saja tapi juga
untuk umat manusia secara keseluruhan. Holistik mengandung makna bahwa disiplin
ilmu yang diajarkan tidak hanya mempelajari obyek-obyek yang bersifat fisik dan
rasional saja, tapi juga fenomena-fenomena metafisik yang membutuhkan pengakuan
atas validitas hati dan wahyu sebagai sumber ilmu. Pada akhirnya, tujuan
dari pendidikan Islam yang inklusif dan holistik ini adalah terlahirnya
manusia yang mampu membawa manfaat dan rahmat untuk alam semesta melalui
karya-karya, inovasi-inovasi, penemuan-penemuan atau penelitian-penelitiannya.
Kesimpulan
Dengan menawarkan cara pandang teleologis sebagaimana
yang dibahas di atas, saya berusaha untuk mengatasi ketegangan biner yang
terjadi antara kaum reformis-modernis dengan kaum Islamis dan turunannya dalam
memandang pendidikan Islam. Caranya adalah dengan mengalihkan fokus pandangan.
Dari fokus kepada perbedaan rujukan dan metode dalam konteks perbaikan
pendidikan menjadi fokus kepada kemungkinan kesamaan pandangan tujuan dalam
memandang pendidikan Islam. Tujuan pendidikan dalam Islam dapat
dirumuskan dari pemahaman kita atas tugas dan misi manusia selama di dunia.
Tugas dan misi itu terdiri dari tiga macam, yaitu untuk mengabdi atau beribadah
kepada Allah (ʿibādah), untuk menjadi khalīfah di bumi, dan untuk
menjadi raḥmah bagi seluruh alam. Tugas dan misi yang pertama (ʿibādah)
meniscayakan “internalisasi” kesadaran bahwa orientasi hidup seorang muslim
adalah untuk mengabdi kepada Allah. Hal ini dapat dilakukan melalui pengajaran
dan aktivitas pendidikan yang ekslusif untuk peserta didik muslim. Sementara
tugas dan misi yang kedua (khalīfah) meniscayakan “objektifikasi”
kesadaran sebagai hamba Tuhan tersebut ke dalam produk-produk yang manfaatnya
dapat dipahami dan dirasakan secara inklusif oleh sesama umat manusia, bukan
hanya umat Islam. Sedangkan tugas dan misi yang terakhir (raḥmatan lil
ʿālamīn) meniscayakan “universalisasi” kesadaran transenden sebagai
pengabdi maupun sebagai khalifah untuk membawa manfaat dan berkah tidak hanya
bagi manusia, tapi juga buat kelestarian alam semesta. Tiga perintah dan amanah
Tuhan kepada manusia ini saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan
tidak bisa dipisahkan. Dalam rangka hal tersebut, maka pendidikan Islam
hendaknya didesain dan ditujukan untuk mencetak muslim yang tidak hanya saleh
secara keagamaan (sebagai ʿabd), tapi juga kapabel dan kompeten untuk
menjalankan misinya sebagai khalifah yang membawa manfaat bagi sesama, serta
memiliki kemampuan untuk menjadi raḥmah bagi semesta alam. Jika
orientasi pemikiran pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut,
niscaya perbedaan pandangan dalam hal metode dan kiblat perbaikan pendidikan
dapat diminimalisir. Dan pada akhirnya, semua mazhab pemikiran pendidikan
tersebut akan dites dan ditentukan kesahihannya oleh sejarah, sejauhmana mereka
dapat mencetak manusia yang tidak hanya saleh secara agama, tapi juga cakap
sebagai pemimpin di muka bumi, dan mampu membawa manfaat dan rahmat bagi
sebanyak-banyak makhluk di semesta ini. Wallahu Aʿlam bi al-Ṣawāb.
*Artikel ini dimuat di Jurnal CENDEKIA, Vol. 2,
September, 2015 dengan beberapa perbaikan. Jurnal CENDEKIA diterbitkan
oleh Cendekia Center for Research, Education, Development and Innovation
(C2REDi), Serpong, Tangerang, Banten, Indonesia.
Bibliography
Agai, Bekim. “Islam and Education in Secular Turkey:
State Policies and the Emergence of the Fethullah Gulen Group.” In Schooling
Islam: The Culture and Politics of Modern Muslim Education, edited by
Robert W. Hefner and Muhammad Qasim Zaman. New Jersey: Princeton University
Press, 2007.
al-Attas, Sayed Muhammad Naquib. “Preliminary Thoughts
on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education.” In Aims
and Objectives of Islamic Education, edited by Sayed Muhammad Naquib
al-Attas, 19-47. Jeddah: King Abd al-Aziz University, 1979.
al-Attas, Sayed Muhammad Naquib. The Concept of
Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education.
Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1980.
al-Attas, Sayed Muhammad Naquib Islam, Secularism,
and the Philosophy of the Future. London: Mansel Publising Ltd., 1985.
al-Attas, Sayed Muhammad Naquib Prolegomena to the
Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.
al-Faruqi, Ismail R. Islamization of Knowledge:
General Principles and Work Plan. Washington D.C.: IIIT, 1982.
Ashraf, Syed Ali. “Education and Values: Islamic
Vis-a-Vis the Secularist Approaches.” Muslim Education Quarterly 4, no.
4 (1987): 4-16.
Azra, Azyumardi. “Reforms in Islamic Education: A
Global Perspective Seen from the Indonesian Case.” In Reforms in Islamic
Education, edited by Charlene Tan. London and New York: Bloomsbury Academic
59-75, 2014.
Badawi, M.A. Zaki. “Traditional Islamic Education—Its
Aims and Purposes in the Present Day.” In Aims and Objectives of Islamic
Education, edited by Sayed Muhammad Naquib al-Attas, 104-117. Jeddah: King
Abd al-Aziz University, 1979.
Cook, Bradley J. “Introduction.” In Classical
Foundations of Islamic Educational Thought, edited by Bradley J. Cook, and
Fathi H. Malkawi. Utah: Bringham Young University Press, 2010.
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. New
York: The Continuum International Publishing Group, 2002.
Fuad, Muhammad. “Civil Society in Indonesia: The
Potential and Limits of Muhammadiyah.” SOJOURN 17, no. 2 (2002):
133-163.
Gesink, Indira Falk. “Islamid Educational Reform in
Nineteenth-Century Egypt: Lessons for the Present.” In Reforms in Islamic
Education, edited by Tan. Charlene, 17-33. London and New York: Bloomsburry
Academic, 2014.
Huaco, George A. “On Ideology.” Acta Sociologica
14, no. 4 (1971).
Kennedy, Emmet. “”Ideology” from Destutt De Tracy to
Marx.” Journal The History of deas 40, no. 3 (1979).
Kertanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik. Bandung, Indonesia: Penerbit Arsy dan UIN Jakarta
Press, 2005.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk
Aksi. Bandung: PT Mizan Pustaka, 1991.
Meynell, Hugo Meynell and Hugh. “On What Ideology Is.”
New Black Friars 58, no. 686 (1977).
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Rehman, Misbahur. “Reforms in Pakistani Madrasas:
Voices from Within.” In Reforms in Islamic Education, edited by Charlene
Tan, 97-115. London and New York: Bloomsbury Academic, 2014.
Salam, Solichin. Muhammadijah Dan Kebangunan Islam Di
Indonesia. Jakarta: N.V. Mega Djakarta, 1965.
Soroush, Abdolkarim. “The Three Cultures.” In Reason,
Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush,
edited by Mahmoud Sadri and Ahmad Sadri, 2000.
Talbani, Aziz. “Pedagogy, Power, and Discourse:
Transformation of Islamic Education.” Comparative Education Review 40,
no. 1 (1996): 66-82.
Wan Daud, W. M. N. The Educational Philosophy and
Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An Exposition of the Original
Concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC, 1998.
End Notes:
[1]Bradley J. Cook, “Introduction,” in Classical
Foundations of Islamic Educational Thought, ed. Bradley J. Cook, and Fathi
H. Malkawi(Utah: Bringham Young University Press, 2010), xxiv-xxv.
[2] Istilah ini saya pakai untuk
merujuk pada para pemikir dan praktisi pendidikan yang menekankan
perlunya “Islamisasi” sistem pendidikan. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan
pada bagian berikutnya.
[3] Lihat Indira Falk Gesink, “Islamid
Educational Reform in Nineteenth-Century Egypt: Lessons for the Present,” in Reforms
in Islamic Education, ed. Tan. Charlene(London and New York: Bloomsburry
Academic, 2014), 18-24.
[4] Misbahur Rehman, “Reforms in
Pakistani Madrasas: Voices from Within,” in Reforms in Islamic Education,
ed. Charlene Tan(London and New York: Bloomsbury Academic, 2014), 108-110.
[5] Solichin Salam, Muhammadijah
dan Kebangunan Islam di Indonesia (Jakarta: N.V. Mega Djakarta, 1965), 45
and 95-99. Lihat juga Muhammad Fuad, “Civil Society in Indonesia: The Potential
and Limits of Muhammadiyah,” SOJOURN 17, no. 2 (2002): 134-135.
[9] Ismail R. al-Faruqi adalah salah
satu pendiri lembaga think tank yang bernama International Institute of
Islamic Thought (IIIT) yang berpusat di Herndon, Virginia, Amerika Serikat.
Salah satu bukunya yang sangat berpengaruh dalam konteks proyek Islamisasi ilmu
pengetahuan adalah Ismail R. al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General
Principles and Work Plan (Washington D.C.: IIIT, 1982).
[10] Sayed Muḥammad Naquib al-Attas
adalah filosof dan pemikir pendidikan yang lahir di Bogor, Indonesia. Setelah
menyelesaikan jenjang pendidikan master di McGill University, Kanada, dan
doktoral di SOAS (School of Oriental and African Studies), University of
London, Inggris, al-Attas mengajar, dan berkarir di Malaysia. Untuk
merealisasikan visi dan filosofi pendidikanya, al-Attas mendirikan dan memimpin
lembaga pendidikan yang bernama ISTAC (International Institute of Islamic
Thought and Civilization). Al-Attas menulis sejumlah buku dan artikel
yang bertema pendidikan Islam . Di antaranya adalah: Sayed Muhammad
Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an
Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of
Malaysia, 1980); Sayed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism,
and the Philosophy of the Future (London: Mansel Publising Ltd., 1985);
Sayed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1995); Sayed Muhammad Naquib al-Attas, “Preliminary
Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education,”
in Aims and Objectives of Islamic Education, ed. Sayed Muhammad Naquib
al-Attas(Jeddah: King Abd al-Aziz University, 1979), 19-47. Di dalam
karya-karyanya, S.M.N. al-Attas mengelaborasi cara pandang dunia (world view)
dan paradigm Islam yang bertumpu pada konsep tawḥīd (keesaan
Tuhan) untuk meng-“Islamisasi” pengetahuan dan pendidikan.
[11] Di antara para sarjana dan karya
yang terpengaruh atau terinspirasi oleh keduanya adalah: W. M. N. Wan Daud, The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An
Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC,
1998); Syed Ali Ashraf, “Education and Values: Islamic Vis-a-Vis the Secularist
Approaches,” Muslim Education Quarterly 4, no. 4 (1987); M.A. Zaki
Badawi, “Traditional Islamic Education—Its Aims and Purposes in the Present
Day,” in Aims and Objectives of Islamic Education, ed. Sayed Muhammad
Naquib al-Attas(Jeddah: King Abd al-Aziz University, 1979).
[13] Lihat rangkuman pemikiran
pendidikan para sarjana muslim yang dikutip dan dirangkum dalam buku
Cook, xxvii-xxx.
[15] Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed (New York: The Continuum International Publishing Group, 2002).
[17] Lihat profil Mansour Fakih di sini:
http://www.remdec.co.id/drupal/id/lapak/8c644487a5e9c9c3e598ffd322181c83
[18] Emmet Kennedy, “”Ideology” from
Destutt De Tracy to Marx,” Journal The History of deas 40, no. 3 (1979):
353.
[19] Hugo Meynell and Hugh Meynell, “On
What Ideology Is,” New Black Friars 58, no. 686 (1977): 326.
[22] Bekim Agai, “Islam and Education in
Secular Turkey: State Policies and the Emergence of the Fethullah Gulen Group,”
in Schooling Islam: The Culture and Politics of Modern Muslim Education,
ed. Robert W. Hefner and Muhammad Qasim Zaman(New Jersey: Princeton University
Press, 2007), 150.
[24] Abdolkarim Soroush (2000) menjelaskan
istilah ini sebagai gejala pengimitasian terhadap apa saja yang datang dari
Barat, meskipun dengan mengorbankan aset dan warisan besar dari budaya sendiri:
”Berbicara dengan lidah mereka, berpikir dengan orak mereka, melihat dengan
mata mereka, dan meratapi rasa sakit mereka.”Lihat Abdolkarim Soroush, “The
Three Cultures,” in Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential
Writings of Abdolkarim Soroush, ed. Mahmoud Sadri and Ahmad Sadri(2000),
160. Singkatnya, seorang muslim yang dinilai keracunan oleh virus Barat ini
biasanya diistilahkan sebagai orang yang “lebih Barat daripada orang
Barat sendiri.”
[25] Lihat Azyumardi Azra, “Reforms in
Islamic Education: A Global Perspective Seen from the Indonesian Case,” in Reforms
in Islamic Education, ed. Charlene Tan(London and New York: Bloomsbury
Academic 59-75, 2014), 64-65.
[27] Aziz Talbani, “Pedagogy, Power, and
Discourse: Transformation of Islamic Education,” Comparative Education
Review 40, no. 1 (1996): 75.
[29] Di sini, Talbani mengutip tulisan
S.S. Hussain dan A.A. Ashraf dalam Crisis in Muslim Education, (Jeddah:
King Abdul Aziz University/Hodder & Stoughton, 1979), atau lihat ibid., 77.
[31] Fazlur Rahman, Islam and
Modernity: Transformation of An Intellectual Tradition (Chicago: University
of Chicago Press, 1982), 133.
[33] Mulyadhi Kertanegara, Integrasi
Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung, Indonesia: Penerbit Arsy dan
UIN Jakarta Press, 2005), 34-35.
Komentar
Posting Komentar