PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PERS MENURUT UU NO. 40 TAHUN 1999

OLEH: TEMU SUTRISNO

A.  Pendahuluan
Ada beberapa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersinggungan dengan kegiatan jurnalistik. Tindak pidana tersebut sering digunakan untuk melaporkan, menuntut atau didakwakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh wartawan dan perusahaan pers. Diantara pasal-pasal tersebut adalah:
1. Pasal 310 sampai Pasal 321 tentang Aneka Penghinaan
Pasal 310 ayat (1) “Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam dengan pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 310 ayat (2) “Dalam hal dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Kata pencemaran ditulis “dilakukan dengan tulisan atau gambaran” dimuat di media dalam bentuk tulisan/ teks atau gambar. Dengan berkembangnya zaman diartikan lebih luas seperti script yang dibaca pada media radio dan televisi, termasuk juga rekaman video, image foto, image digital dan karikatur.
2. Pasal 483 sampai Pasal 485 tentang Kejahatan dengan Cetakan
Pasal 483 “Barang siapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu gambar yang karena sifatnya merupakan delik, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

3. Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 tentang Kejahatan Atas Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 137 ayat 1 menyatakan “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”[1]

Pasal 137 ini ditujukan kepada orang yang mempublikasikan tulisan dan gambar berisi penghinaan, bukan yang membuatnya.
4. Pasal 156, Pasal 156a, Pasal 157, Pasal 160, Pasal 162, Pasal 163 KUHP tentang Kejahatan Atas Ketertiban Umum.
Pasal 156 “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Yang dimaksud dengan “golongan” dalam pasal ini dan pasal berikutnya ialah tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
5. Pasal 112 dan 113 tentang Membocorkan Rahasia Negara.
Pasal 112 “Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

6. Pasal 322 tentang Membuka Rahasia Jabatan/ Profesi.
Pasal 322 ayat 1 Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”

Dalam praktik, jika narasumber minta dirahasiakan identitasnya lalu jurnalis malah membuka, maka  jurnalis atau wartawan dapat dijerat dengan pasal ini.
7. Pasal 282, Pasal 283, Pasal 533, Pasal 534, Pasal 535 KUHP dan Undang Undang No. 44 Tahun 2008 (Pornografi) tentang Kejahatan Kesusilaan/ Pornografi.
Pasal 282 Barangsiapa menyiarkan mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, dapat dikenai pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tingg empat ribu lima ratus rupiah."
Pasal lain yang tidak banyak memberi penjelasan adalah Pasal 533 ayat (1), di dalamnya tertulis: barangsiapa di tempat lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama dua tahun. Karena itu mengenai pornografi diatur lebih dalam undang-undang tersendiri.

B. Mekanisme Penyelesaian Pidana Pers Berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999
            Pertanyaan bagaimana mekanisme pers ketika melakukan kesalahan sebenarnya sudah tercantum dalam UU No. 40 Tahun 1999. Selain melindungi kebebasan pers, asas tanggung jawab (responsibility) media terhadap publik juga dikandung oleh UU No. 40 Tahun 1999.
Dalam bekerja, pers berpotensi melakukan kekeliruan hingga menyangkut kepentingan orang atau sekelompok orang. Bagaimanapun ketika persoalan ini terjadi, bukan berarti pers bisa bebas lepas dari pertanggungjawaban atas kekeliruan yang dilakukannya. Karena pers diwajibkan menyelesaikan persoalan ini sesuai ketentuan yang diperuntukkan kepada pers.
Ketika persoalan terjadi akibat karya jurnalistik yang dihasilkan oleh pers, masyarakat berhak menuntut pers untuk mempertanggungjawabkannya. Persoalan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik, berupa Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai UU No. 40 Tahun 1999. Karena itulah, UU Pers membatasi kebebasan pers dengan beberapa kewajiban hukum, antara lain:
            a. Memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1);
            b. Wartawan memiliki dan menaati kode etik (Pasal 7 ayat 2).
            Jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1), dan pemberitaan dinilai merugikan pihak-pihak tertentu, maka UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur mekanisme penyelesaiannya sebagai berikut:
            1. Perusahaan pers wajib melayani Hak Jawab (Pasal 5 ayat 2), yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat 11);
            2. Perusahaan pers melayani hak koreksi (Pasal 5 ayat 3), yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 ayat 12).[2]
            Dalam praktiknya, beberapa media juga menggunakan lembaga mediator sendiri untuk persoalan yang diakibatkan karya jurnalistik, yakni ombusdman. Ombusdman yang akan membantu penyelesaian persoalan akibat pemberitaan dengan muaranya adalah dikeluarkan hakjawab dan hak koreksi oleh media yang dituduh bersalah.
                          c.  Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar (Pasal 6 ayat c);
            Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak diatur secara detil tentang tindak pidana. Disebut dalam Pasal 18 ayat (2):
 “Perusahaan Pers yang melanggar pasal 5 ayat 1 dan 2, serta Pasal 13, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

            Secara tegas UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur penyelesaian pidana pers melalui Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3).
Jika Perusahaan Pers tidak menjalankan mekanisme penyelesaian sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) dan (3), maka pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh ketentuan Pasal 18 ayat (2), memidanakan Perusahaan Pers dengan tuntutan pidana denda sebesar-besarnya lima ratus juta rupiah.
            Terkait dengan pelanggaran diatas, para pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan atau aktivitas pers bisa menempuh jalur lain sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni melakukan pengaduan ke Dewan Pers. Selanjutnya Dewan Pers akan melakukan pengkajian dan penilaian terhadap aduan yang masuk.
            UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengamanatkan tujuh tugas pokok kepada Dewan Pers sebagaimana Pasal 15 ayat (2):
1.      melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
2.      melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
3.      menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
4.      memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian  pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
5.      mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
6.      memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
7.      mendata perusahaan pers.[3]

Setelah mengkaji pengduan masyarakat, Dewan Pers dapat memberi rekomendasi 5 (lima) sanksi terhadap media:
1) Melakukan ralat/surat koreksi,
2) Memenuhi Hak Jawab,
3) Pemuntaan maaf terbuka,
4) Kesepakatan ganti rugi oleh kedua belah pihak (atas fasilitasi Dewan Pers)
5) Melakukan skorsing sementara s/d tindakan pemecatan terhadap wartawan yang salah
Tugas Dewan Pers hanya menghasilkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi. Yang berwenang mengenakan sanksi adalah media yang bersangkutan. Bila media tersebut tidak melaksanakan sanksi, Dewan Pers mempublikasikan secara terbuka.[4]

C. Tinjauan Yuridis UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers sebagai Lex Specialis
            Sebab-sebab adanya Delik Khusus.
  1. Karena adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu dibuat peraturannya yang didalam peraturan tersebut mencantumkan sanksi pidana.
  2. Kehidupan modern yang semakin kompleks sehingga disamping ada (pidana) berupa  yunifikasi hukum (KUHP) juga diperlukan peraturan pidana yang bersifat temporer.
  3. Hukum berfungsi sebagai kontrol sosial (Roscue Pound).[5]
Dari materi yang dikandungnya, UU No. 40 Tahun 1999 sebenarnya telah menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi warga negara dan wujud kedaulatan rakyat. Undang-Undang ini secara tegas menolak sejumlah ancaman eksternal terhadap kebebasan pers, khususnya: (1) Penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat  2); (2) Tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 ayat 3). Kepada siapa saja yang melakukan ancaman terhadap pers, menurut Pasal 18 ayat (1) dapat diancam hukuman paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta. Sementara itu, bagi perusahaan pers yang melanggar Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 13, menurut Pasal 18 ayat (2), diancam pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Selain melindungi kebebasan pers, asas tanggung jawab (responsibility) media terhadap publik juga dikandung UU Pers. Dalam bekerja pers berpotensi melakukan kekeliruan hingga menyangkut kepentingan orang atau sekelompok orang. Bagaimanapun ketika persoalan ini terjadi, bukan berarti pers bisa bebas lepas dari pertanggungjawaban atas kekeliruan yang dilakukannya. Karena pers diwajibkan menyelesaikan persoalan ini sesuai ketentuan yang diperuntukkan kepada pers. Ketika persoalan terjadi akibat karya jurnalistik yang dihasilkan oleh pers, masyarakat berhak menuntut pers untuk mempertanggungjawabkannya. Persoalan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik, berupa Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai UU Pers. Karena itulah, UU Pers membatasi kebebasan pers dengan beberapa kewajiban hukum.  
Dalam kaitannya dengan hukum pers, dimanakah posisi UU No. 40 tahun 1999 tentang pers? Dibandingkan dengan ketentuan undang-undang yang umum, dimana letak undang-undang tentang pers?
Para pendukung pendapat UU Pers bersifat lex specialis memiliki argumentasi bahwa sebuah UU tak perlu memiliki pernyataan eksplisit didalamnya bahwa ia merupakan UU dalam kategori lex specialis. Proses dan latar belakang penyusunan sebuah UU dapat digunakan untuk mengkategorikan apakah sebuah UU bersifat lex specialis atau bukan. UU Pers sejak awal sudah dimaksudkan untuk menangani perkara-perkara khusus, yang berkaitan dengan pemberitaan pers.
Selain itu, UU Pers terbatas dan khusus digunakan untuk menangani perkara “pelaksanaan kegiatan jurnalistik”, yaitu kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik atau bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, televisi, radio dan segala jenis saluran lain yang tersedia.
Karena hal-hal tersebut, maka UU Pers merupakan UU khusus. Berikut ini beberapa alasan/landasan epsitemologisnya:

1. Alasan Teoritis dan Yuridis
Dari alasan teoritis dan yuridis, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai lex specialis dengan berbagai alasan.
Pertama, kegiatan jurnalistik merupakan hal khusus. Keberadaan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur kegiatan jurnalistik tersebut secara khusus pula. Undang-Undang ini telah mengadopsi, mengakui, dan menerima teori-teori yang berkembang secara universal tentang pers dan profesi jurnalistik, yaitu dengan memasukkannya ke dalam batang tubuh undang-undang, seperti: nilai berita, keberimbangan berita, kebenaran berita, kode etik, objektivitas, independensi dan kredibilitas.
Kedua, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memuat mekanisme khusus untuk menangani permasalahan yang timbul akibat kegiatan jurnalistik. Karena kegiatan jurnalistik merupakan hal khusus, maka penyelesaiannyapun perlu didekati secara khusus pula. Hak jawab dan Hak Koreksi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) merupakan mekanisme yang telah diterima, diakui dan diwujudkan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sebagai jalan keluar bagi permasalahan pemberitaan pers. Demikian halnya dengan ketentuan penyelesaian sengketa pers melalui Dewan Pers sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2d).
Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat [2] Undang-Undang  No. 40 Tahun 199 tentang Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3] Undang-Undang  No. 40 Tahun 199 tentang Pers).
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hinca Panjaitan dan Amir E. Siregar menjelaskan bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah sebagai:
1. Pertama-tama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayaninya.
Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar.
Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers, yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.
2. Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d Undang-Undang  No. 40 Tahun 199 tentang Pers). Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
            3. Permasalahan akibat pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun demikian, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan Undang-Undang  No. 40 Tahun 199 tentang Pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi.
Tanggapan dari pers atas Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang  No. 40 Tahun 199 tentang Pers. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya.
Selain itu, Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
            Pada sisi lain, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan, secara perdata atau pidana. Dalam perkara pidana menyangkut pers, hakim yang memeriksa perkara tersebut harus merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli (SEMA No.13 Tahun 2008). Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk pada SEMA No. 13 Tahun 2008, berdasarkan SEMA No. 13 Tahun 2008 dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis hakim hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.[6]
 Ketiga, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya mengatur tentang kegiatan jurnalistik, mengingat kesalahan jurnalistik harus diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik. Wartawan yang melakukan pidana diluar kegiatan jurnalistik seperti mencuri, menganiaya atau membunuh, kepadanya akan dikenakan KUHP.
            Keempat, wartawan atau jurnalis dalam kegiatannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHP, “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Ketentuan ini relevan dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.[7]
            Menurut Erdianto Effendi dalam bukunya Hukum Pidana Indonesia, kegiatan jurnalistik yang dilakukan pelaku pers merupakan perintah Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan dilindungi oleh konstitusi Negara UUD 1945. Olehnya kesalahan kegiatan jurnalistik atau pers tidak bias dipidana dengan KUHP, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHP.[8]
            Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang  No. 40 Tahun 199 tentang Pers, “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”. Dilanjutkan dengan keberadaan Pasal 8 yang menyebutkan, “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum”.
            Hal ini sejalan dengan semangat UUD 1945 Pasal 28 ayat (1), “ Setiap orang bebas atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap yang sesuai dengan hati nuraninya”.
            Pasal 28 ayat (2), “Setiap orang berhak atas kebebasan yang berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
            Pasal 28F, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan linglungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
2. Alasan Filosofis
Secara filosofis, pers yang merdeka membutuhkan demokrasi sebagai ruang geraknya. Sebaliknya, kemerdekaan pers sebagai milik masyarakat yang berdaulat, dibutuhkan bagi kehidupan negara yang demokratis. Pengaturan dan penyelesaian masalah yang timbul akibat pemberitaan pers perlu diselesaikan dalam koridor demokrasi tersebut. Dalam hal ini, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers diperlukan keberadaanya untuk menjamin berlangsungnya kemerdekaan pers dan demokrasi.
3. Alasan Historis – Politis
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah lex specialis secara historis dan politis. Mengingat Undang-Undang ini sendiri adalah hasil keputusan politik, yang mengatur tata cara penyelesaian sengketa yang mungkin timbul karena pemberitaan dengan pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi, maka menurut mereka mengingkari Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers adalah ahistoris. Penyelesaian atas masalah yang timbul akibat pemberitaan pers melalui mekanisme jurnalistik, adalah salah satu buah kemerdekaan pers dan demokratisasi yang timbul akibat gerakan Reformasi tahun 1998, yang membuka jalan dari pers otoriter menjadi pers yang merdeka.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers ditetapkan pada 23 September 1999, sebagai kontrak sosial yang baru negara terhadap warga negaranya dalam kegiatan pers. Karena itu penggunaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga ahistoris, karena KUHP adalah produk hukum lama yang merupakan warisan buatan penjajah Belanda terhadap negara jajahannya.
Substansi yang ada dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers ini menempatkan pers dengan peran, fungsi, hak, dan kewajiban untuk selalu melalukan kontrol sosial dalam masyarakat, pasca reformasi yang mengakhiri pemerintahan otoriter mantan Presiden Soeharto selama 30 tahun. Maka itu kemerdekaan pers akan tetap menjunjung tinggi lancarnya proses reformasi dengan tetap konsisten melancarkan kritik terhadap pemerintah.
Selain itu juga alasan mengapa pentingnya Undang-Undang Pers sebagai lex specialis adalah tidak pernah adanya negara yang jatuh bangkrut karena menjamin kemerdekaan pers. Hal ini telah terbukti di beberapa negara yang telah menerapkan kemerdekaan pers untuk melakukan kontrol sosial sejak lama, bahkan ratusan tahun dan mereka tetap bisa eksis dan menjamin kebebasan pers.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menganut doktrin komunikasi politik, yang dipahami sebagai hak publik untuk mempertanyakan setiap kebijakan atau keputusan seorang pejabat publik tentang hal-hak yang menyangkut kepentingan publik.  Doktrin ini selalu menjadi bagian integral dari konsep kebebasan pers. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers akhirnya menjadi sebuah keputusan politik yang mahal, tapi tepat untuk menjamin kemerdekaan pers dan menjalankan fungsinya secara maksimal. Fungsi maksimal pers diperlukan karena Kemerdekaan Pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
Sejarah lex specialis di Indonesia dapat ditelusuri sejak zaman Belanda, yakni pada bulan Maret 1935, saat Hakim Belanda M.L Swaab bertugas di Landgerecht Batavia (Pengeadilan di Batavia) membuat keputusan yang penting dalam sejarah hukum di Indonesia. Untuk memecahkan kebuntuan dari adanya konflik antar hukum (conflict of law) kala itu Hakim M.L Swaab membuat terobosan. Saat itu ada dua kasus yang sedang berjalan sekaligus. Di satu pihak ada persoalan tuduhan mengenai penghinaan dan di lain pihak ada masalah penerapan droit de response (yang kemudian dikenal dengan hak jawab) yang kala itu diatur dalam Reglement op de Drunkwerken (Staatsblad 1856-74). Kemudian Hakim M.L Swaab memutuskan bahwa lembaga hukum hak jawab dapat berjalan bersamaan dengan lembaga hukum lainnya seperti tuntutan pidana atas penghinaan. Sejak saat itulah di Indonesia mulai dikenal secara luas penerapan hukum khusus (lex specialis) dan hukum umum (lex generalis).[9]
Pemecahan konflik antarhukum tidaklah sederhana. Banyak faktor yang mempengaruhi hukum mana yang harus dipilih. Untuk menghindari munculnya konflik hukum dalam masalah atau bidang tertentu, dibuatlah hukum yang bersifat khusus yang pengaturannya lebih spesifik, rinci dan lengkap. Setelah adanya hukum khusus ini, maka hukum khusus inilah yang berlaku. Dalam filosofi hukum pidana, terdapat semangat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana hak asasinya harus tetap dilindungi. Dalam penyelesaian masalah hukum, seringkali terjadi perbuatan hukum yang masih diberlakukan undang-undang lama tetapi ketika diperiksa dan diadili telah berlaku undang-undang yang baru pengganti undang-undang tersebut, maka jawaban yang berlaku atau dipakai adalah undang-undang yang menguntungkan terdakwa.
Apabila perbuatan hukum yang terjadi sudah ada undang-undang baru tanpa mengubah undang-undang lama, maka dapat terjadi beberapa kemungkinan seperti adanya beberapa undang-undang yang berlaku pada suatu saat dan undang-undang yang baru memenuhi syarat sebagai undang-undang khusus maka harus diterapkan prinsip lex specialis derogat legi generalis, yakni undang-undang yang bersifat khusus menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum. Dengan demikian, walaupun tanpa ada ketentuan yang tegas dalam undang-undang baru yang menyatakan undang-undang lainnya tidak berlaku, maka berdasarkan asas yang diberlakukan adalah undang-undang khusus.[10]

D. Kelemahan UU No.40 tahun 1999 Sebagai Lex Specialis
Meski disusun dengan semangat lex specialis dan mengatur secara khusus kegiatan jurnalistik, namun ada beberapa kelemahan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang pada akhirnya bisa menimbulkan pro kontra sebagai UU yang bersifat khusus. Menurut kelompok yang menentang UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers bukan lex specialis , diantaranya:
Pertama, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak jelas menginduk pada undang-undang umum yang mana, apakah UU Pidana, UU Perdata, UU Administrasi Negara, atau UU lainnya. Begitu pula hukum acaranya yang digunakan tidak jelas mengacu kepada hukum acara yang mana.
Kedua, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri tidak secara tegas menyebutkan dalam salahsatu pasal, menyatakan bersifat khusus.
Ketiga, ada beberapa pasal yang masih memungkinkan penggunaan UU lain, seperti termaktub dalam:
1. Pasal 13 huruf b. Menurut Pasal 13 huruf b, perusahaan pers dilarang memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya “sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.
2. Pasal 16. Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia “disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku”.
3. Penjelasan Pasal 8 tentang perlindungan hukum kepada wartawan menjelaskan perlindungan wartawan dalam menjalankan fungsi, hak dan kewajiban dan perannya, “dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku”.
4. Penjelasan Pasal 9 menegaskan, setiap warganegara berhak atas kesempatan yang sama dalam mendirikan perusahaan pers, “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
5. Penjelasan Pasal 11 tentang modal asing juga menyebut dilaksanakan, “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
6. Penjelasan Pasal 4 ayat 2 antara lain mengatakan “…siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
7. Alinea terakhir penjelasan umum juga menyebut, “Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengtur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.
8. Penjelasan alinea terakhir pasal 12 berisi, “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
Keempat, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak hanya mengatur pelaksanaan kegiatan jurnalistik saja, tetapi mengatur berbagai hal lainnya seperti iklan, kesejahteraan wartawan dan kegiatan perusahaan asing.

E. Penutup
E.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat dibuat simpulan sebagai berikut:
1.      UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam sejarah dan penyusunannya mengadung semangat UU yang bersifat khusus atau lex specialis.
2.      UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers mengatur secara khusus kegiatan pers atau jurnalistik dan terdapat didalamnya penyelesaian sengketa pers secara khusus melalui mekanisme Hak Jawab, Hak Koreksi dan Pengaduan ke Dewan Pers.
3.      UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers memang memiliki berbagai kekurangan, seperti belum diatur di dalamnya secara detail hukum acara penyelesaian sengketa atau pidana pers, sehingga dalam beberapa pasal masih menyantumkan mekanisme penyelesaian pidana pers berdasarkan Undang-Undang lain yang berlaku.
E.2. Saran
            Setelah melalui kajian dan didapatkan kesimpulan sebagaimana di atas, penulis merumuskan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Perlu dilakukan revisi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang lebih tegas menempatkannya sebagai Undang-Undang yang bersifat lex specialis. Setelah revisi, pemberlakuan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis merupakan suatu langkah yang wajib dilakukan pemerintah. Karena dengan itu, pemerintah benar-benar menunjukkan komitmennya dalam mendukung kemerdekaan pers di Indonesia.
2.      Meski Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menyediakan pranata penyelesaian sengketa pers, namun pada umumnya aparat penegak hukum masih menggunakan KUHP dan juga KUHPerdata dalam menyelesaikan sengketa antara pers dengan individu atau kelompok masyarakat. Sebelum dilakukan revisi UU No. 40 Tahun 1999 dan menguatkannya sebagai Undang-Undang yang bersifat lex specialis, aparat hukum hendaknya melaksanakan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli (SEMA No.13 Tahun 2008). dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis hakim hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena mereka yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktik. Penegak hukum hendaknya mengutamakan penggunaan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam penyelesaian tindak pidana pers, melalui mekanisme Hak Jawab, Hak Koreksi dan Laporan ke Dewan Pers.***



[1] . Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 134, 136 dan 137 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. MK dalam putusannya menyatakan Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden.
MK juga menilai ketiga pasal itu berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap, apabila ketiga pasal itu selalu digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan, sehingga dinilai bertentangan dengan Pasal 28, 28E ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945.
Untuk selanjutnya, MK memutuskan delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau wakil presiden diberlakukan Pasal 310 sampai 312 KUHP apabila penghinaan ditujukan kepada kualitas pribadi, dan pasal 207 KUHP apabila penghinaan ditujukan selaku pejabat.
MK berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung hak asasi seperti yang diatur dalam UUD 1945, sudah tidak relevan lagi untuk memuat Pasal 134, 136 dan 137 dalam KUHP yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum.
Pemberlakuan ketiga pasal itu, menurut MK, juga berakibat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum.
Ancaman pidana maksimal enam tahun penjara yang diatur dalam pasal 134, menurut MK dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi.

[2] . Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori dan Praktik, Remaja Rosdakarya. Bandung 2005, hal. 109
[3] . Ibid
[6] . Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar,  Menegakkan Kemerdekaan Pers: “1001” Alasan, Undang-Undang Pers Lex Specialis, Menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers. Serikat Penerbit Suratkabar, Jakarta. 2004, hal 149-152
[7] . Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, PT Rafika Aditama Bandung 2011. Hal 113
[8] . Ibid
[9] . Wina Armada Soekardi , Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers, Dewan Pers Jakarta, 2007. Hal 163
[10] . Ibid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu