Vox Populi, Vox Argentum
KONON, serombongan orang naik bus ber-AC. Sesaat sebelum bus berjalan, tercium aroma tidak sedap. Sontak seluruh penumpang beserta supir dan kernet bus ribut. Mereka saling tuduh. Siapa yang kentut? Ayo mengaku, kalau tidak, mobil tidak akan jalan! Teriak sopir.
Tidak satupun orang dalam bus mengaku. Ribut saling tuduh dan mengelak terus terdengar. Akhirnya sopir membuka pintu dan menunggu beberapa waktu, hingga bau tak sedap benar-benar keluar. Perjalanan pun dilanjutkan. Semua diam dan menikmati perjalanan. Sesekali terdengar nyanyian kecil atau sekadar candatawa penumpang.
Sampai di tujuan, semua turun. Tiba-tiba sopir kembali teriak, yang kentut belum bayar! Spontan salah seorang penumpang langsung menjawab, hei jangan asal menuduh. Saya sudah bayar sama kernet. Gerrrrr...mendengar jawaban itu, rombongan langsung tertawa. Ketahuan dirinya buang angin saat hendak berangkat, penumpang tadi senyum menahan malu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Tidak mungkin sopir membatalkan keberangkatan dan menurunkan penumpang yang buang angin. Toh, mereka sudah sampai tujuan.
Kejadian buang angin di bus ber-AC, tidak jauh beda dengan kondisi politik jelang Pilkada. Mahar! Ya, mahar politik dalam hajatan seperti Pilkada merupakan rahasia umum. Semua tahu, semua meraskan aromanya. Tapi sulit dibuktikan. Kalaupun terbukti setelah dilantik jadi kepala daerah, belum tentu dibatalkan dan diturunkan dari jabatannya.
Soal mahar kembali merebak, setelah hampir semua kandidat kepala daerah se-Indonesia mengalami persoalan yang sama untuk mendapatkan rekomendasi dari Parpol. Rekomendasi dari pimpinan pusat masing-masing Parpol keluar di masa injury time.
Bukan hanya masalah waktu. Rekomendasi juga kerapkali membingungkan masyarakat dan pengurus Parpol di level bawah. Bagaimana tidak? Rekomendasi beberapa Parpol turun atas nama kandidat tertentu, yang sedari awal diketahui tidak mengikuti mekanisme penjaringan dari bawah.
Tak pelak dua persoalan tersebut menimbulkan pertanyaan liar masyarakat. Jangan-jangan terjadi tarik ulur rekomendasi karena ‘mahar’. Pertanyaan itu juga diperkuat dengan banyaknya Parpol yang tidak menurunkan rekomendasi untuk kadernya maju dalam Pilkada.
Pertanyaan ini tentu saja akan dimentahkan kandidat dan Parpol pengusung. Namun tidak untuk Bawaslu dan KPU selaku pengawas dan penyelenggara Pemilu. Bawaslu dan KPU sebagai lembaga negara pelaksana Pemilu harus membuka dan menjawab masalah ini dengan jujur dan tegas, berdasarkan bukti-bukti yang ada setelah dilakukan penelusuran.
Sekadar mengingatkan, UU No. 8 Tahun 2015 secara tegas memasang rambu-rambu agar proses Pilkada tidak mentolelir praktik transaksional antara kandidat dan Parpol.
Kandidat dan Parpol yang terbukti menerima uang mahar bisa dicoret dan tidak akan diikutkan sebagai partai peserta Pilkada. Hal ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UU No.8 tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal ini secara tegas melarang Parpol atau gabungan Parpol untuk menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur atau wakil gubernur dan atau bupati atau wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota.
Selain itu, ketentuan Pasal 47 tersebut juga melarang setiap orang atau lembaga memberi imbalan kepada Parpol atau gabungan Parpol dalam bentuk apapun, baik uang, barang atau benda.
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal tersebut akan dikenai tiga bentuk sanksi tegas dimana, pertama jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka Parpol yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
Kedua, terkait pembayaran mahar atau imbalan tersebut maka KPU dapat membatalkan penetapan Calon Gub/Wagub, Bupati/Wakil Bupati.
Ketiga, Parpol atau gabungan Parpol yang terbukti menerima imbalan atau mahar akan dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Dalam Pemilu atau Pilkada, mahar bukan hanya dari kandidat ke elit Parpol. Namun juga dari kandidat ke rakyat pemilih. Para elit politik memiliki keinginan atau kecendrungan mengubah konsep Vox Populi, Vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan) menjadi Vox Populi, Vox Argentum (suara rakyat, suara gemerincing uang). Perilaku ini tak terbantahkan. Namun sekali lagi, sulit membuktikan laiknya kasus buang angin dalam bus ber-Ac tadi.
Karena itu, upaya pengungkapan secara terang-benderang dengan menyeret semua pihak, perlu dilakukan untuk menyetop tabiat, mental, dan perilaku busuk: mahar politik.
Untuk alasan tersebut, praktik bersih berpolitik ala Jepang layak menjadi rujukan. Semasa kepemimpinannya, PM Kakuei Tanaka mengatakan bahwa yang dapat menyetop perilaku korup hanyalah dua pihak. Pertama; parpol dan elite pengambil kebijakan politik, dan kedua; pemerintah berkuasa dalam menerapkan hukuman menjerakan.
Untuk yang disebut terakhir, pemerintah Jepang menerapkan sanksi sosial ketat dan hukuman berat bagi pelanggar. Pelaku yang terlibat perselingkuhan politik, akan dikucilkan dari kehidupan sosial dan dipecat dari jabatan publik.
Untuk menuju arah tersebut, masyarakat mengharapkan peran dan kerja keras penyelenggara Pemilu/Pilkada menghapus mahar politik sesuai perintah Undang-Undang. Masyarakat menunggu, apakah KPU, Bawaslu dan aparat hukum berani melakukan penelusuran mahar politik jelang Pilkada serentak? *** (Temu Sutrisno)
Komentar
Posting Komentar