SIS Al Djufri; Mercusuar Kepribadian Bangsa dari Kota Palu untuk Indonesia
Oleh: Temu Sutrisno
Habib Sayid Idrus bin Salim Al Djufri, bukan hanya milik Abnaul Alkhairaat di Sulteng, namun milik masyarakat yang ada di pelosok wilayah Indonesia Timur, bahkan sampai ke luar negeri. Kini, 83 tahun berdirinya perguruan Alkhairaat, telah menyebar dan maju dengan sangat pesat di negeri ini. Kitab Tarikh Madrasatul Khiratul Islamiyyah karya salah seorang santri generasi pertama Habib Idrus, menyebut makna secara etimologis Alkhairaat berasal dari kata khairun yang artinya kebaikan. Semangat menebar kebaikan itulah yang diusung Habib Sayid Idrus bin Salim Al Djufri. Teramat sulit menggambarkan sosok Habib Sayid Idrus bin Salim Al Djufri secara lengkap, karena kebesaran beliau dan keterbatasan penulis. Mungkin untaian kalimat sederhana ini, bisa mewakili sekian banyak penilaian orang terhadap beliau. Habib Sayid Idrus bin Salim Al Djufri atau yang lebih dikenal dengan panggilan Guru Tua, laksana obor penerang yang menerangi di hati dan pikiran Abnaul Alkhairaat melalui lembaga pendidikan yang beliau dirikan yaitu, Alkhairaat. Guru Tua bersama Alkhairaat merupakan mutiara bangsa, yang memiki andil besar membangun kepribadian luhur bangsa, melalui jalur pendidikan. Guru Tua bersama Alkhairaat yang didirikannya bagaikan Mercusuar di pusat Kota Palu, yang memandu seluruh anak bangsa dalam mengarungi hidup dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersumber pada ajaran Islam. Masyarakat Muslim Indonesia Timur memang sangat sulit melupakan perjuangan gigih dari seorang Guru Tua. Semangatnya untuk menyebarkan Islam ke pelosok-pelosok daerah terpencil, sangat dirasakan. Tak hanya pelosok yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dan kendaraan. Almarhum sering menembus daerah terpencil dengan menggunakan sampan guna memberikan pencerahan akidah Islam dan bimbingan kepada umat Islam yang membutuhkan. Guru Tua lahir di Taris, Hadramaut, Yaman Selatan pada 14 Sya'ban 1319 Hijriah atau 18 Maret 1891 Miladiah. Guru Tua, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan cinta ilmu pengetahuan. Anak kedua dari pasangan Sayid Salim bin Alawy (seorang mufti di Hadramaut) dengan Andi Syarifah Nur (putri keturunan seorang raja di Sulawesi Selatan, yang bergelar Arung Matowa Wajo) ini sarat dengan pengetahuan keagamaan. Sejak muda, Guru Tua dikenal memiliki wawasan yang luas dan sudah menghafal Alquran. Selain itu beliau juga ahli di bidang Fikih. Terjadinya pergolakan politik di negaranya ketika itu, akhirnya ia dibuang oleh Inggris dan disuruh meninggalkan Yaman Selatan. Karena kerinduannya pada daerah ibunya, akhirnya Habib Idrus bin Salim Al-Jufri memutuskan memilih Batavia (Jakarta) sebagai tujuannya. Di Batavia, pertama kali Habib Idrus bin Salim Al-Jufri memainkan perannya. Sejak saat itu, aktivitasnya pun terbilang cukup padat. Ia berpindah dari satu mimbar ke mimbar lainnya untuk mengajarkan agama kepada umat ketika itu. Tahun 1926, menjadi tahun penuh kesibukan bagi Sang Guru Tua. Dari situ pula, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri berkenalan dan menjadi teman diskusi dengan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy'ari, di Jombang, Jawa Timur. Keduanya kerap kali terlibat dalam pembicaraan, bahkan perdebatan sekitar masalah agama, hingga upaya meningkatkan kualitas umat Islam melalui jalur pendidikan di pesantren. Tidak hanya itu. Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, melanjutkan pula dakwahnya ke Solo, Jawa Tengah dan ia dipercaya untuk membina madrasah Al-Rabithah Al-Alawiyah Cabang Solo. Selain sebagai pengajar, ia juga ditunjuk sebagai kepala sekolah tersebut. (Kini, lembaga pendidikan Al-Rabithah Al-Alawiyah telah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro). Kala itu di pulau Jawa sudah sangat banyak ulama dan habaib. Akhirnya, tahun 1929, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri kembali hijrah dan memilih mengajarkan agama di kawasan timur Indonesia. Ia memulai perjalanannya ke Ternate, Maluku Utara. Namun hanya beberapa saat mengajar di daerah kesultanan Islam setempat, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri kemudian memilih melanjutkan perjalanan lagi ke Donggala, Sulawesi Tengah. Di Donggala ketika itu, masyarakat masih hidup dalam kepercayaan animisme dan dinamisme. Habib Idrus bin Salim Al-Jufri berpikir, ia harus mengajak umat di Donggala untuk memeluk Islam. Akhirnya, ia mendekati para tokoh masyarakat setempat, sampai akhirnya ia menikah dengan putri Donggala dari keturunan raja setempat. Kemudian setelah beberapa lama, Guru Tua menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam. Gagasan itu disambut positif para tokoh masyarakat. Maka berdirilah sebuah madrasah pertama yang diberi nama Alkhairaat dan diresmikan pada 14 Muharram 1349 atau 1930 miladiyah. Dari situlah, cikal bakal berdirinya ribuan madrasah dan sekolah Alkhairaat di kawasan Timur Indonesia. Gaya dakwah Habib Idrus sangat halus dan simpatik, sangat berbeda dengan gaya gerak sejumlah ulama yang mengintroduksi gerakan di beberapa wilayah. Kendati Indonesia adalah negeri ke duanya, ia memutuskan pergi dari negerinya dan meluaskan dakwah ke Indonesia tahun 1920. Ia sangat menjunjung tinggi negeri ini. Orang akan teringat betapa kecintaannya kepada negerinya yang kedua ini. Itu terlihat dalam syairnya saat membuka kembali perguruan tinggi pada 17 Desember 1945, setelah Jepang bertekuk lutut. “ Wahai bendera kebangsaan berkibarlah di angkasa, di atas bumi di gunung nan hijau, setiap bangsa punya lambang kemuliaan, dan lambang kemuliaan kita adalah merah putih”. Warisan besar dan berharga yang ditinggalkan Guru Tua adalah lembaga pendidikan Islam Alkhairaat. Sampai saat ini, Alkhairaat telah mengukir suatu prestasi yang mengagumkan. Dari sebuah sekolah sederhana yang dirintisnya, kini lembaga ini telah berkembang menjadi ribuan sekolah dan madrasah. Sejarah itu mulai digoreskan pada tanggal 30 Juni 1930, bertepatan dengan tanggal 14 Muharam 1349 H, dibukalah dengan resmi Madrasah Alkhairaat. Sejak tahun 1928 sebagai starting point dari sejarah perjuangan Alkhairaat di Sulteng, sampai dengan 1969 dimana beliu menghembuskan nafas yang terakhir. Pada masa hayatnya, almarhum tercatat sudah 412 cabang Alkhairaat yang tersebar di daerah operasional alkhairaat. YangAlkairaat yang cukup besar yakni, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Perguruan Islam Alkhairaat yang sebelumnya bernama “Madrasah Alkhairaat Islamiyyah” didirikan pada 1349 H/1930 M oleh Sayid Idrus Bin Salim Al Jufri (1930 H-/1890 M-1969 M). Alkhairaat merupakan lembaga swasta yang sekaligus mitra pemerintah yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Prinsip lembaga ini tidak berafiliasi pada kelompok tertentu, tetapi landasannya adalah bersifat agamis dan sasarannya adalah membangun watak manusia. Tujuan utama berdirinya Perguruan Islam Alkhairaat adalah untuk mencerdaskan umat dengan cara memberikan pendidikan dan pengayoman ilmu pengetahuan. Sehingga, dengan pendidikan tersebut menjadikan umat terbebas dari kebodohan da kemelaratan, serta menjadikan hidup mereka lebih berarti dengan ilmu yang mereka dapatkan. Pada mulanya, pendiri Alkhairaat Guru Tua merupakan guru satu-satunya di madrasah itu. Selanjutnya, merekrut murid dari ponakan beliu sendiri yang menimba ilmu di madrasah itu. Sehingga, madrasah Alkhairaat mampu menghasilkan beberapa alumni, yang pada gilirannya menjadii pengajar dan juru dakwah, tidak hanya di Sulawesi Tengah, tetapi juga di Sulawesi Utara, Selawesi Selatan, Kalimantan, Maluku dan Papua. Bahkan, di antara mereka mendirikan cabang Alkhairaat di tempat mereka masing-masing. Selain itu, Alkhairaat juga memiliki 35 pondok pesantren, lima panti asuhan serta usaha-usaha lainnya yang tersebar di kawasan Timur Indonesai (KTI). Sedangkan di bidang pendidikan tinggi, yakni universitas, Alkhairaat memiliki lima fakultas definitif dan dua fakultas administratif atau persiapan, yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan dan Fakultas Kedokteran dengan 11 program studi pada jenjang strata satu dan diploma dua. Guru Tua memancangkan tonggak Alkhairaat selama 26 tahun (1930-1956). Ia membesarkan lembaga pendidikan yang didirikannya hingga pada akhirnya, tahun 1956, menjangkau seluruh wilayah Indonesia timur. Pada tahun itu pula dilaksanakan muktamar Alkhairaat yang pertama, bersamaan dengan peringatan seperempat abad Alkhairaat. Dalam muktamar itu lahirlah keputusan penting, yaitu berupa struktur organisasi pendidikan dan pengajaran, serta anggaran dasar yang menjadi tonggak dasar lembaga ini menjelma sebagai sebuah institusi modern. Periode selanjutnya adalah masa konsolidasi ide selama sembilan tahun yakni, sejak 1956 hingga 1964. Guru Tua memberikan kepercayaan kepada santrinya yang terpilih, yang diyakininya cukup andal dan memiliki spesialisasi kajian. Murid-murid pelanjut Guru Tua antara lain, KH Rustam Arsjad dan KH Mahfud Godal, masing-masing ahli dalam bidang ilmu tajwid dan tarikh, serta KH. S Abdillah Aljufri yang ahli dalam ilmu sastra Arab dan adab. KH Rustam menduduki posisi pimpinan pesantren karena keahliannya dalam bidang ilmu fikih dan tata bahasa Arab. Madrasah Alkhairaat terus berkembang walaupun saat itu hubungan transportasi maupun komunikasi antardaerah belum selancar sekarang. Puncaknya, tahun 1964, Alkhairaat membuka perguruan tinggi Universitas Islam (Unis) Alkhairaat di Palu. Habib Idrus menduduki posisi rektor. Perkembangan perguruan tinggi ini tersendat tahun 1965 dan dinonaktifkan karena sebagian besar mahasiswa dan mahasiswinya ditugaskan untuk membuka madrasah di daerah-daerah terpencil. Ini sebagai upaya membendung komunisme sekaligus melebarkan dakwah Islam. Pada tahun 1969, perguruan tinggi tersebut dibuka kembali dengan satu fakultas saja, yaitu Fakultas Syariah. Pada tanggal 12 Syawwal 1389 H bertepatan dengan 22 Desember 1969, Habib Idrus bin Salim Al-Djuffri atau lebih dikenal Guru Tua wafat. Ia menutup usia setelah 46 tahun berkiprah di dunia dakwah dan pendidikan dengan mewariskan lembaga pendidikan yang terus berkembang hingga saat ini. Setelah Guru Tua wafat, Alkhairaat menyempurnakan diri sebagai sebuah institusi modern yaitu, dengan terbentuknya Pengurus Besar (PB) Alkhairaat, Yayasan Alkhairaat, Wanita Islam Alkhairaat (WIA) dan Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) serta Perguruan Tinggi Alkhairaat. Lembaga ini juga memiliki surat kabar mingguan (SKM) Alkhairaat, yang kemudian menjelma jadi Koran harian . Saat ini, berdasarkan informasi dari Pengurus Besar Alkhairaat menyebutkan telah berdiri 1.816 madrasah dan sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) serta Universitas Alkhairaat. Semuanya tersebar dari Palu hingga Papua, dan pusatnya berada di Palu. Selain itu, Alkhairaat juga memiliki 34 pondok pesantren, 5 buah panti asuhan, serta usaha-usaha lainnya yang tersebar di kawasan Timur Indonesai (KTI). *** (Tulisan diolah dari berbagai sumber)
Habib Sayid Idrus bin Salim Al Djufri, bukan hanya milik Abnaul Alkhairaat di Sulteng, namun milik masyarakat yang ada di pelosok wilayah Indonesia Timur, bahkan sampai ke luar negeri. Kini, 83 tahun berdirinya perguruan Alkhairaat, telah menyebar dan maju dengan sangat pesat di negeri ini. Kitab Tarikh Madrasatul Khiratul Islamiyyah karya salah seorang santri generasi pertama Habib Idrus, menyebut makna secara etimologis Alkhairaat berasal dari kata khairun yang artinya kebaikan. Semangat menebar kebaikan itulah yang diusung Habib Sayid Idrus bin Salim Al Djufri. Teramat sulit menggambarkan sosok Habib Sayid Idrus bin Salim Al Djufri secara lengkap, karena kebesaran beliau dan keterbatasan penulis. Mungkin untaian kalimat sederhana ini, bisa mewakili sekian banyak penilaian orang terhadap beliau. Habib Sayid Idrus bin Salim Al Djufri atau yang lebih dikenal dengan panggilan Guru Tua, laksana obor penerang yang menerangi di hati dan pikiran Abnaul Alkhairaat melalui lembaga pendidikan yang beliau dirikan yaitu, Alkhairaat. Guru Tua bersama Alkhairaat merupakan mutiara bangsa, yang memiki andil besar membangun kepribadian luhur bangsa, melalui jalur pendidikan. Guru Tua bersama Alkhairaat yang didirikannya bagaikan Mercusuar di pusat Kota Palu, yang memandu seluruh anak bangsa dalam mengarungi hidup dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersumber pada ajaran Islam. Masyarakat Muslim Indonesia Timur memang sangat sulit melupakan perjuangan gigih dari seorang Guru Tua. Semangatnya untuk menyebarkan Islam ke pelosok-pelosok daerah terpencil, sangat dirasakan. Tak hanya pelosok yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dan kendaraan. Almarhum sering menembus daerah terpencil dengan menggunakan sampan guna memberikan pencerahan akidah Islam dan bimbingan kepada umat Islam yang membutuhkan. Guru Tua lahir di Taris, Hadramaut, Yaman Selatan pada 14 Sya'ban 1319 Hijriah atau 18 Maret 1891 Miladiah. Guru Tua, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan cinta ilmu pengetahuan. Anak kedua dari pasangan Sayid Salim bin Alawy (seorang mufti di Hadramaut) dengan Andi Syarifah Nur (putri keturunan seorang raja di Sulawesi Selatan, yang bergelar Arung Matowa Wajo) ini sarat dengan pengetahuan keagamaan. Sejak muda, Guru Tua dikenal memiliki wawasan yang luas dan sudah menghafal Alquran. Selain itu beliau juga ahli di bidang Fikih. Terjadinya pergolakan politik di negaranya ketika itu, akhirnya ia dibuang oleh Inggris dan disuruh meninggalkan Yaman Selatan. Karena kerinduannya pada daerah ibunya, akhirnya Habib Idrus bin Salim Al-Jufri memutuskan memilih Batavia (Jakarta) sebagai tujuannya. Di Batavia, pertama kali Habib Idrus bin Salim Al-Jufri memainkan perannya. Sejak saat itu, aktivitasnya pun terbilang cukup padat. Ia berpindah dari satu mimbar ke mimbar lainnya untuk mengajarkan agama kepada umat ketika itu. Tahun 1926, menjadi tahun penuh kesibukan bagi Sang Guru Tua. Dari situ pula, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri berkenalan dan menjadi teman diskusi dengan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy'ari, di Jombang, Jawa Timur. Keduanya kerap kali terlibat dalam pembicaraan, bahkan perdebatan sekitar masalah agama, hingga upaya meningkatkan kualitas umat Islam melalui jalur pendidikan di pesantren. Tidak hanya itu. Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, melanjutkan pula dakwahnya ke Solo, Jawa Tengah dan ia dipercaya untuk membina madrasah Al-Rabithah Al-Alawiyah Cabang Solo. Selain sebagai pengajar, ia juga ditunjuk sebagai kepala sekolah tersebut. (Kini, lembaga pendidikan Al-Rabithah Al-Alawiyah telah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro). Kala itu di pulau Jawa sudah sangat banyak ulama dan habaib. Akhirnya, tahun 1929, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri kembali hijrah dan memilih mengajarkan agama di kawasan timur Indonesia. Ia memulai perjalanannya ke Ternate, Maluku Utara. Namun hanya beberapa saat mengajar di daerah kesultanan Islam setempat, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri kemudian memilih melanjutkan perjalanan lagi ke Donggala, Sulawesi Tengah. Di Donggala ketika itu, masyarakat masih hidup dalam kepercayaan animisme dan dinamisme. Habib Idrus bin Salim Al-Jufri berpikir, ia harus mengajak umat di Donggala untuk memeluk Islam. Akhirnya, ia mendekati para tokoh masyarakat setempat, sampai akhirnya ia menikah dengan putri Donggala dari keturunan raja setempat. Kemudian setelah beberapa lama, Guru Tua menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam. Gagasan itu disambut positif para tokoh masyarakat. Maka berdirilah sebuah madrasah pertama yang diberi nama Alkhairaat dan diresmikan pada 14 Muharram 1349 atau 1930 miladiyah. Dari situlah, cikal bakal berdirinya ribuan madrasah dan sekolah Alkhairaat di kawasan Timur Indonesia. Gaya dakwah Habib Idrus sangat halus dan simpatik, sangat berbeda dengan gaya gerak sejumlah ulama yang mengintroduksi gerakan di beberapa wilayah. Kendati Indonesia adalah negeri ke duanya, ia memutuskan pergi dari negerinya dan meluaskan dakwah ke Indonesia tahun 1920. Ia sangat menjunjung tinggi negeri ini. Orang akan teringat betapa kecintaannya kepada negerinya yang kedua ini. Itu terlihat dalam syairnya saat membuka kembali perguruan tinggi pada 17 Desember 1945, setelah Jepang bertekuk lutut. “ Wahai bendera kebangsaan berkibarlah di angkasa, di atas bumi di gunung nan hijau, setiap bangsa punya lambang kemuliaan, dan lambang kemuliaan kita adalah merah putih”. Warisan besar dan berharga yang ditinggalkan Guru Tua adalah lembaga pendidikan Islam Alkhairaat. Sampai saat ini, Alkhairaat telah mengukir suatu prestasi yang mengagumkan. Dari sebuah sekolah sederhana yang dirintisnya, kini lembaga ini telah berkembang menjadi ribuan sekolah dan madrasah. Sejarah itu mulai digoreskan pada tanggal 30 Juni 1930, bertepatan dengan tanggal 14 Muharam 1349 H, dibukalah dengan resmi Madrasah Alkhairaat. Sejak tahun 1928 sebagai starting point dari sejarah perjuangan Alkhairaat di Sulteng, sampai dengan 1969 dimana beliu menghembuskan nafas yang terakhir. Pada masa hayatnya, almarhum tercatat sudah 412 cabang Alkhairaat yang tersebar di daerah operasional alkhairaat. YangAlkairaat yang cukup besar yakni, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Perguruan Islam Alkhairaat yang sebelumnya bernama “Madrasah Alkhairaat Islamiyyah” didirikan pada 1349 H/1930 M oleh Sayid Idrus Bin Salim Al Jufri (1930 H-/1890 M-1969 M). Alkhairaat merupakan lembaga swasta yang sekaligus mitra pemerintah yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Prinsip lembaga ini tidak berafiliasi pada kelompok tertentu, tetapi landasannya adalah bersifat agamis dan sasarannya adalah membangun watak manusia. Tujuan utama berdirinya Perguruan Islam Alkhairaat adalah untuk mencerdaskan umat dengan cara memberikan pendidikan dan pengayoman ilmu pengetahuan. Sehingga, dengan pendidikan tersebut menjadikan umat terbebas dari kebodohan da kemelaratan, serta menjadikan hidup mereka lebih berarti dengan ilmu yang mereka dapatkan. Pada mulanya, pendiri Alkhairaat Guru Tua merupakan guru satu-satunya di madrasah itu. Selanjutnya, merekrut murid dari ponakan beliu sendiri yang menimba ilmu di madrasah itu. Sehingga, madrasah Alkhairaat mampu menghasilkan beberapa alumni, yang pada gilirannya menjadii pengajar dan juru dakwah, tidak hanya di Sulawesi Tengah, tetapi juga di Sulawesi Utara, Selawesi Selatan, Kalimantan, Maluku dan Papua. Bahkan, di antara mereka mendirikan cabang Alkhairaat di tempat mereka masing-masing. Selain itu, Alkhairaat juga memiliki 35 pondok pesantren, lima panti asuhan serta usaha-usaha lainnya yang tersebar di kawasan Timur Indonesai (KTI). Sedangkan di bidang pendidikan tinggi, yakni universitas, Alkhairaat memiliki lima fakultas definitif dan dua fakultas administratif atau persiapan, yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan dan Fakultas Kedokteran dengan 11 program studi pada jenjang strata satu dan diploma dua. Guru Tua memancangkan tonggak Alkhairaat selama 26 tahun (1930-1956). Ia membesarkan lembaga pendidikan yang didirikannya hingga pada akhirnya, tahun 1956, menjangkau seluruh wilayah Indonesia timur. Pada tahun itu pula dilaksanakan muktamar Alkhairaat yang pertama, bersamaan dengan peringatan seperempat abad Alkhairaat. Dalam muktamar itu lahirlah keputusan penting, yaitu berupa struktur organisasi pendidikan dan pengajaran, serta anggaran dasar yang menjadi tonggak dasar lembaga ini menjelma sebagai sebuah institusi modern. Periode selanjutnya adalah masa konsolidasi ide selama sembilan tahun yakni, sejak 1956 hingga 1964. Guru Tua memberikan kepercayaan kepada santrinya yang terpilih, yang diyakininya cukup andal dan memiliki spesialisasi kajian. Murid-murid pelanjut Guru Tua antara lain, KH Rustam Arsjad dan KH Mahfud Godal, masing-masing ahli dalam bidang ilmu tajwid dan tarikh, serta KH. S Abdillah Aljufri yang ahli dalam ilmu sastra Arab dan adab. KH Rustam menduduki posisi pimpinan pesantren karena keahliannya dalam bidang ilmu fikih dan tata bahasa Arab. Madrasah Alkhairaat terus berkembang walaupun saat itu hubungan transportasi maupun komunikasi antardaerah belum selancar sekarang. Puncaknya, tahun 1964, Alkhairaat membuka perguruan tinggi Universitas Islam (Unis) Alkhairaat di Palu. Habib Idrus menduduki posisi rektor. Perkembangan perguruan tinggi ini tersendat tahun 1965 dan dinonaktifkan karena sebagian besar mahasiswa dan mahasiswinya ditugaskan untuk membuka madrasah di daerah-daerah terpencil. Ini sebagai upaya membendung komunisme sekaligus melebarkan dakwah Islam. Pada tahun 1969, perguruan tinggi tersebut dibuka kembali dengan satu fakultas saja, yaitu Fakultas Syariah. Pada tanggal 12 Syawwal 1389 H bertepatan dengan 22 Desember 1969, Habib Idrus bin Salim Al-Djuffri atau lebih dikenal Guru Tua wafat. Ia menutup usia setelah 46 tahun berkiprah di dunia dakwah dan pendidikan dengan mewariskan lembaga pendidikan yang terus berkembang hingga saat ini. Setelah Guru Tua wafat, Alkhairaat menyempurnakan diri sebagai sebuah institusi modern yaitu, dengan terbentuknya Pengurus Besar (PB) Alkhairaat, Yayasan Alkhairaat, Wanita Islam Alkhairaat (WIA) dan Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) serta Perguruan Tinggi Alkhairaat. Lembaga ini juga memiliki surat kabar mingguan (SKM) Alkhairaat, yang kemudian menjelma jadi Koran harian . Saat ini, berdasarkan informasi dari Pengurus Besar Alkhairaat menyebutkan telah berdiri 1.816 madrasah dan sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) serta Universitas Alkhairaat. Semuanya tersebar dari Palu hingga Papua, dan pusatnya berada di Palu. Selain itu, Alkhairaat juga memiliki 34 pondok pesantren, 5 buah panti asuhan, serta usaha-usaha lainnya yang tersebar di kawasan Timur Indonesai (KTI). *** (Tulisan diolah dari berbagai sumber)
Komentar
Posting Komentar