Semangat Seikat Sapu

USAI salat Jumat, saya coba-coba buka-buka file catatan jurnalistik di komputer. Iseng-iseng saya coba atur file berdasarkan pengelompokan isu. Siapa tahu, kedepan pengelompokan itu penting dan bisa diterbitkan dalam sebuah buku sederhana. Tanpa sengaja, saya temukan satu tulisan mahasiswa magang beberapa tahun lalu. Oleh pimpinan, saya ditugaskan membimbing mahasiswa itu. Tulisan itu seputar pengalaman seorang ibu penyapu jalan di kota dimana saya tinggal. Saat itu pikiran saya simpel, hampir setiap saya pulang sekira jam dua dini hari, para penyapu jalan telah memulai kerjanya. “Ini bisa jadi tulisan menarik. Coba liput dan rasakan bagaimana mereka bekerja dalam dekapan dingin dini hari,” kata saya sembari mengarahkan dan memberikan tips agar hasil liputan terasa hidup dan dapat menginspirasi pembaca.
Satu yang saya petik dari tulisan mahasiswa tadi, ternyata ibu penyapu jalan seorang janda dengan tiga anak. Dia memilih pekerjaan itu, karena tidak punya ketrampilan. Dia hanya lulusan SD. Dengan penghasilan yang pas-pasan, ia bertekad menyekolahkan ketiga putrinya. Ia tak ingin anak cucunya mengalami nasib seperti dirinya. “Apapun saya kerjakan, yang penting halal. Bisa buat makan dan kase sekolah anak,” tutur ibu penyapu jalan. Kesabaran dan kerjakerasnya pada akhirnya berbuah manis. Kedua anaknya mampu ia kuliahkan. Malah yang pertama telah menyusun skripsi. Saat tulisan ini saya tulis ulang, dipastikan kedua anaknya telah selesai kuliah dan sarjana. Anak ketiga masih duduk di bangku kelas tiga SMP. “Itu kedua anak saya ikut kerja menyapu,” kata ibu sambil menunjuk dua wanita dengan penutup muka ala Ninja. “Dari kecil hidup susah, kami tidak perlu malu. Yang penting halal, tidak mencuri,” ujar anak tertua saat ditanya mahasiswa magang tadi. Membaca tulisan tersebut, ingatan saya langsung melayang pada sosok seorang sahabat di organisasi mahasiswa dulu. Seorang senior yang begitu dekat dan kerap berjalan bersama untuk pembinaan organisasi di daerah. Pada sebuah puncak hajatan organisasi, saya diminta pengurus demisioner dan beberapa teman dari daerah lain, mencari sosok terbaik untuk dicalonkan sebagai ketua. Spontan saya usulkan namanya. Semua setuju. “Kalau begitu saudara saja yang komunikasikan,” kata teman-teman. Di tengah hiruk pikuk dan banyaknya agenda hajatan itu, saya bertemu senior dan sahabat tadi di balik panggung presidium sidang. Saya sampaikan amanah teman-teman dan pengurus demisioner. Seperti biasa, dia mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disampaikan orang, tidak pandang tua atau muda dari dirinya. Ya, orang yang telah saya anggap seperti kakak sendiri itu begitu mencermati apa yang saya sampaikan. Apa jawabnya? Ternyata dia tidak bersedia. “Masih banyak yang lebih baik dan mampu dari saya,” jawabnya. “Insha Allah saya siap masuk kepengurusan. Biar di jajaran pengurus harian saja. Siapapun ketua terpilih akan saya dukung dan bantu, demi kelanjutan organisasi. Saya juga tidak mengenal seluk beluk ibukota. Kan seorang ketua harus tinggal di ibukota,” katanya. Lama kami berdiskusi. Setelah hampir dua jam, akhirnya sahabat tadi menyatakan kesanggupannya maju jadi calon ketua. Walhasil hajatan tadi menelurkan dua kandidat ketua. Kandidat pertama mantan Sekjen pengurus sebelumnya dan yang kedua dia. Saya dengan beberapa teman dari beberapa daerah langsung konsolidasi. Tidak masalah siapa yang jadi, karena kedua kandidat memang kader terbaik dan kami inginkan maju. Saat pemilihan tiba. Diluar dugaan kami, kandidat pertama mundur tepat sebelum pemilihan dimulai. Kandidat tinggal satu. Suasana hening. Padahal sahabat tadi juga siap mundur dan akan mendukung mantan Sekjen jadi ketua. Akhirnya peserta hajatan meminta kesediaan sahabat tadi jadi ketua secara aklamasi. Namun sebagian yang lain menginginkan ada pemilihan dengan lawan kota kosong. Pemilihan cara keduapun disetujui forum. Meski ada beberapa yang abstain dan memilih kotak kosong, sahabat saya tetap terpilih jadi ketua. Sore hari setelah pemilihan, sahabat tadi bincang-bincang santai dengan beberapa kawan dan seniornya di bawah pohon mangga, depan aula hajatan. Saya pun nimbrung, karena kebetulan juga kenal dan dekat dengan para senior tadi. Hampir semua senior memberikan support dan berjanji akan membantu ketua terpilih. Namun ada juga yang kurang respek. “Bagaimana kamu mau hidup di ibukota? Sulit disana. Belum lagi kamu sudah berkeluarga, ada anak istrimu,” ujar salah seorang senior. Sebagian memberikan semangat, yang lain kurang yakin. Pembicaraan seputar itu terus berlanjut. Saya hanya diam mendengarkan dan menyaksikan itu. Ada satu ucapan yang sampai saat ini saya ingat dari sahabat tadi. “Di ibukota, penyapu saja bisa hidup. Apalagi kita mahasiswa yang punya ketrampilan. Saya bisa jadi penyapu, tidak mengapa. Yang penting amanah organisasi jalan dan keluarga bisa diurus. Semua punya jalan rejeki masing-masing,” katanya. Kata-kata ini yang membuat saya teringat, saat membaca tulisan tentang penyapu jalan. Meski faktanya, sahabat tadi tidak pernah jadi penyapu jalan atau penyapu di mall atau kantor-kantor, tapi saya menangkap semangat yang sama. Semangat ‘Seikat Sapu’. Ya, sapu memberikan pelajaran pada kita, bahwa dengan bersama-sama semua bisa diselesaikan. Seutas ijuk atau sebatang lidi, tidak mampu dipakai membersihkan dan tidak memiliki manfaat besar. Namun banyak ijuk atau lidi disatukan dalam ikatan, hasilnya jelas. Lebih bermanfaat. Seutas ijuk dan sebatang lidi, mudah untuk diputus dan dipatahkan. Tapi seikat ijuk atau seikat lidi, susah untuk diputus atau dipatahkan. Sapu juga menjadi alat pembersih. Lantai, jalan bisa dibersihkan dengan sapu. Sapu menjadi lambang semangat, kebersamaan, kekuatan dan kebersihan hati dan lingkungan. Seikat rumput –yang mungkin menyerupai ikatan sapu- juga menjadi perlambang ketegasan, kearifan dan cinta kasih Nabi Ayub. Saat Nabi sakit, istrinya keluar meninggalkannya sekadar untuk mencari bahan makanan. Nabi Ayub, menilai istrinya tidak merawatnya dengan baik. Nabi pun bernazar, jika sembuh penyakitnya akan menghukum istrinya dengan seratus cambukan. Saat doanya dikabulkan Allah dan penyakitnya sembuh, Nabi harus melaksanakan nazarnya. Hukuman harus ditegakkan. Namun cinta kasih membuatnya tidak tega. Dengan petunjuk Allah, akhirnya Nabi Ayub mengumpulkan seratus batang rumput dan mengikatnya jadi satu sebagaimana sapu lidi. Sang Nabi memukulkan ikatan rumput tadi dengan pelan ke tubuh istrinya, dengan satu kali pukulan penuh kasih sayang. Tuntaslah nazar Nabi Ayub. Jalinan cinta dan kasih sayang pada istrinya tidak berkurang. Istri juga makin sayang dan hormat pada Sang Nabi. "Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika ia menyeru Tuhannya: 'Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.' (Allah berfirman): 'Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesugguhnya Kami mendapati dia (Ayuh) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia sangat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 41-44) Ibu penyapu jalan berhasil menyarjanakan anak-anaknya. Sahabatku dengan semangat sapunya berhasil menaklukkan ibukota dan berhasil menuntaskan gelar doktoralnya. Tak terasa airmata menitik mengingat semuanya. Sukses selalu ibu penyapu jalan, sukses dan bahagia untukmu sahabat. “Pak Kawisastra, waktu rapat. Teman-teman menunggu,” kata Amil, teman kantor mengundang. “Oh...ya..ya, saya menyusul”. Ingatanku buyar dan saya segera ke ruang rapat menyusul langkah Amil.*** Oleh: TEMU SUTRISNO. Palu, Jumat 14 Agustus 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu