Tazkiyah Penangkal Korupsi
Sore itu dego-dego di depan rumah Toma Langgai riuh ramai suara diskusi beberapa anak muda. Ya, sore itu beberapa aktivis muda ngumpul sekadar silaturahim dan diskusi dengan Toma Langgai, seputar permasalahan bangsa.
Toma Langgai yang pernah mencicipi dunia aktivis, cukup sabar mendengar dan melayani tamu mudanya itu. Sesekali Toma Langgai menimpali sambil menuang teh dan menyodorkan pisang goreng.
“Saya tidak habis pikir, kalau ada yang ingin KPK dibubarkan, koruptor dimaafkan dan pikiran-pikiran sejenisnya. Bukankah korupsi yang buat bangsa ini terpuruk?” kata Danang yang aktiv di Badan eksekutif Mahasiswa.
Kalau ada politisi yang berfikir seperti itu, sebaiknya dikampanyekan agar tidak dipercaya, tidak usah dipilih dalam Pemilu atau Pilkada, cerocos Danang.
Tak ketinggalan, Edo menimpali lontaran Danang. Sejak Indonesia merdeka, salah satu penyakit sosial bangsa yang belum sepenuhnya dapat disembuhkan adalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyakit sosial ini seperti telah membudaya dan memorakporandakan kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Edo. Imbasnya, kekayaan Indonesia hanya berputar pada segelintir orang dan kemiskinan menjerat mayoritas anak bangsa. “So, haruskan koruptor diampuni dan dimaafkan?” sergahnya.
“Saya setuju koruptor bukan saja dimiskinan, tapi dihukum mati. Pemiskinan dan penjara tidak memiliki efek jera, yakin saja mereka akan melakukan lagi saat hukumannya selesai,” sela Efin.
Efin dengan panjang lebar menyeritakan ketegasan pemerintah Cina memerangi korupsi. Menurut Efin, Indonesia bisa belajar dari Cina. Pada akhir tahun 2000-an, Cina membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati. Sejak kasus itu, pengadilan Cina makin marak lagi dengan kasus korupsi lainnya.
Pada 9 Maret 2001 misalnya, nasib buruk menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung Cina di Beijing. Hu Changqing adalah Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi yang dihukum mati setelah terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 atau kurang lebih Rp4,95 miliar. Selain itu, Hu menerima sogokan properti senilai AS$200.000 atau sekira Rp1,5 miliar.
“Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina. Ini sebagai peringatan bahwa Cina kali ini benar-benar serius memberantas korupsi,” paparnya.
Pemerintahan Cina ternyata tidak hanya berhenti sekadar gertak sambal saja terhadap para koruptornya. Kampanye pemberantasan korupsi terus dijalankan PM Zhu Rongji.
“Gara-gara menerima suap dan menggelapkan dana publik, Zhang Kuntong, mantan direktur sebuah departemen transportasi di Provinsi Henan, Cina, dijatuhi hukuman seumur hidup,” terus Efin.
Kuntong mengaku menerima suap satu juta yuan atau sekitar Rp1,1 miliar lebih ketika ia bertugas di Departemen Konstruksi dan Departemen Transportasi pada 1990-an. Ia juga dinyatakan terbukti menyalahgunakan dana publik sebesar 100.000 Yuan ketika bekerja di Departemen Transportasi.
Setuju, setuju.....sahut Aming, Angga dan Pieters bersamaan. “Bagaimana Toma Langgai?” tanya Rudi yang terpekur saat temannya mengiyakan pendapat Efin.
Toma Langgai menghela nafas dan menyeruput teh daunnya, sebelum menanggapi Rudi dan teman-temannya.
“Lebih jauh dari sekadar jawaban iya dan tidak terhadap pertanyaan perlunya mengampuni dan memaafkan koruptor, sesungguhnya secara substansial perlu mendidik orang untuk jujur, adil dan sensitif terhadap penderitaan orang lain. Ini bisa dijadikan pijakan untuk merubah mentalitas bangsa dan budaya korup,” Toma Langgai membuka pernyataannya.
Langkah pertama yang harus dilakukan bangsa dan seluruh warga adalah muhasabah atau instropeksi diri secara mendalam. Harus mengakui segala kekurangan dan dosa sosial politik yang ada.
“Selanjutnya bangsa ini melakukan pertaubatan secara individu dan kolektif nasional, dengan tobat nasuha, sebagaimana firman Allah SWT dalam At Tahrim ayat delapan. Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah engkau pada Allah dengan tobat yang sesungguh-sungguhnya,” kata Toma Langgai.
Bukankah masyarakat kita, bangsa kita bangsa yang beragama Toma? Potong Rudi. Ya, jawab Toma Langgai. Namun keberagamaan masyarakat, kebertuhanan bangsa ini berhenti di mihrab-mihrab persembayangan. Tidak menetes dan menjiwai prilaku sosial. Masih banyak yang terjebak seperti itu, terang Toma Langgai.
“Tuhan tersekat di mihrab peribadatan. Saat keluar tempat ibadah atau sembahyang, sepertinya Tuhan tidak ada, Tuhan tidak lagi mengawasi dan ada di iman seseorang. Mereka jadi seenaknya dan tidak terbebani melanggar hukum, kesusilaan dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya, termasuk korupsi,” ucap Toma Langgai dengan mata menerawang.
Yang dimaksud tobat nasuha adalah sikap mengakui dan menyesali perbuatan yang keliru, menjauhi dan tidak akan mengulanginya lagi. Tobat seperti inilah yang diterima Allah dan memiliki nilai transformatif secara sosial. Bukan tobat asal-asalan atau meminjam istilah orang Jawa ‘kapok lombok’. Menyesal makan lombok karena pedas, tapi pada waktu berbeda memakannya kembali.
“Jika tobat nasuha dilakukan, maka secara individu maupun kolektif bangsa ini tidak akan lagi mengulangi kesalahan masa lalu dan kembali membudayakan korupsi, yang telah terbukti merusak dan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan,” ucapnya.
Rasulullah SAW kata Toma Langgai, pernah mengirim surat kepada Wahsyi, sang pembunuh Hamzah, paman Rasul, untuk kembali kepada Allah SWT. Wahsyi menjawab, ”Bagaimana mungkin aku kembali kepada Allah, padahal aku ini pembunuh, pezina, dan menyekutukan Tuhan yang akan disiksa dan dilipatgandakan siksanya pada hari kiamat serta abadi di dalamnya dengan terhina. Aku termasuk orang seperti itu. Apakah ada pengecualian bagiku?” kata Wahsyi, menjawab ajakan Rasulullah.
Keraguan Wahsyi direspons Allah dalam Surat Maryam ayat 60 dan Surah Alfurqan ayat 70, bahwa taubatnya seorang hamba yang tulus dan diikuti dengan perbuatan baik, Allah akan mengganti seluruh kejahatan yang dilakukannya dengan kebajikan dan tidak akan dirugikan sedikit pun.
Wahsyi masih menawar, dia pun berkata, ”Syarat itu terlalu berat bagiku, aku tidak bisa melakukannya.” Allah pun menjawab dalam Surat An-Nisa' ayat 48 dan 116, ”Hanya dosa syirik yang tidak diampuni.”
Wahsyi tidak puas, dia pun berkata, ”Aku ragu, apakah aku termasuk orang yang diampuni Allah? Apakah ada ketentuan lain selain ini?”
Maka Allah memanggilnya dengan penuh kasih sayang, ”Wahai hamba-hamba-Ku yang dosanya tidak bisa dihitung dengan deret ukur, jangan berputus asa dari kasih sayang Allah. Allah akan mengampuni semua dosa yang telah kamu kerjakan.” (QS Al Zumar: 53).
Kisah tersebut memberi pelajaran pada bangsa ini, dosa manusia sebesar apa pun akan diampuni Tuhan. Luasnya langit dan bumi Tuhan masih sangat longgar untuk menutupi padatnya dosa-dosa hamba-Nya yang telah menggunung. “Kita bisa melawan nafsu untuk korupsi hanya dengan tazkiyah, dengan menyucikan diri,” jelas Toma Langgai.
Tazkiyah adalah proses yang harus dijalani tanpa batas sampai pada tingkat yang tak terhingga. Bagi setiap muslim tazkiyah adalah keperluan yang sangat mendesak sampai akhir hayatnya. “Kenapa tazkiyah prosesnya terus menerus sepanjang hayat? Karena orang yang suci, orang bersih, orang beriman juga bisa jatuh terpuruk. Bisa tergoda melakukan dosa,” kata Toma Langgai.
Ada orang saleh pada zaman Bani Israil bernama Bal’am yang pernah mencapai kedudukan tinggi di sisi Allah karena proses tazkiyah yang dilakukan. Karena kesalehannya, dia dihormati banyak orang, reputasinya yang tinggi, dan doanya yang senantiasa diperkenankan Tuhan. Dia mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan.
Suatu saat Fir’aun menyuruhnya untuk mendoakan kaum Nabi Musa agar jatuh dalam kecelakaan, Bal’am pun memenuhinya. Bal’am yang saleh telah terjatuh dalam kesesatan karena silau dengan kilatan dunia, memulai hidupnya dengan kesalehan, perjuangan atas nama Islam, akan tetapi dalam perjalanan akhir hidupnya, ia mengalami perubahan yang drastis, karena terbuai dengan ambisi duniawi.
Kisah Bal’am, ulama saleh yang semula melakukan tazkiyah, tetapi jatuh pada kenikmatan dunia, Alquran Surat Al A’raf ayat 176 menyebutnya seperti seekor anjing.
Belajar dari sejarah Bal’am, kita tidak boleh merasa aman dan tentram dengan tazkiyah diri kita. Orang saleh yang banyak amalnya saja dapat terjerumus dalam kesesatan, apalagi yang sedikit amal salehnya.
“Kalau negeri kita ingin bebas korupsi butuh proses, bukan saja penegakkan hukum. Tapi juga tobat dan tazkiyah. Mari berlomba untuk bertobat dan bertazkiyah dengan penuh ketulusan. Pasti Allah menerimanya. Semoga bangsa kita terlepas dar budaya korup,” papar Toma Langgai panjang lebar.
“Ayo, ayo minum tehnya!”*** Temu Sutrisno (2 Desember 2014)
Komentar
Posting Komentar