Stop Kekerasan Terhadap Perempuan!
SETIAP tanggal 22 Desember, seluruh anak bangsa memperingati Hari Ibu. Bagi anggota DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng, Lusy Shanti, Hari Ibu tidak sekadar diperingati dengan upaca bendera. Baginya, Hari Ibu harus merefleksikan sebuah gerakan penghormatan pada sosok ibu dan kaum perempuan.
“Stop kekerasan terhadap perempuan!” tegas ibu tiga anak kelahiran 11 Oktober 1969, saat Mercusuar mewawancarainya seputar Hari Ibu dan kekerasan terhadap perempuan, Jumat (21/12) kemarin.
Bagi Uchi, sapaan Lusy Shanti, ibu merupakan sosok yang menentukan baik dan buruknya sebuah bangsa. “Ibu bukan cuma menginspirasi anak-anaknya dan dijadikan panutan. Ibu juga guru pertama bagi anak-anaknya, ia yang membentuk karakter anak-anaknya. Artinya apa, kalau bangsa ini ingin baik, harus dimulai dari rumah tangga dan ibu memiliki peran sentral disini,” ujarnya.
“Saya sangat prihatin, akhir-akhir ini seperti banyak dilansir dalam pemberitaan, kasus kekerasan terhadap perempuan marak. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi dimana-mana. KDRT dominan korbannya kaum perempuan dan anak-anak,” imbuhnya.
KDRT lanjut Wakil Ketua Komisi II Deprov Sulteng ini, merupakan kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis.
“Penelantaran rumah tangga termasuk KDRT. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan.Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami,” katanya
Menurut Uchi, kekerasan terhadap perempuan atau KDRT sering terjadi karena masih adanya anggapan masyarakat laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara. Masyarakat menganggap laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun. “Seringkali KDRT dianggap bukan permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi antara suami istri,” paparnya.
Sebagai legislator, Uchi bertekad mendorong pemerintah terus melakukan sosialisasi dan advokasi terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan. “Butuh program sosialisasi secara berkesinambungan oleh pemerintah melalui Badan Pemberdayaan Perempuan. Pemerintah juga memiliki kewajiban mengadvokasi korban kekerasan. Untuk itu, saya selaku anggota dewan perempuan, akan mendorong ini dan membantu pemerintah, khususnya dalam pembahasan anggaran di dewan,” ungkap Uchi.
Bukan hanya pemerintah yang punya tanggungjawab terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan. Ditegaskan Uchi, masyarakat juga harus bersama-sama memerangi kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan KDRT merupakan kewajiban bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah tidak dapat begitu saja masuk dan memantau rumah tangga tersebut secara langsung. Sehingga dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam memantau dan mencegah terjadinya KDRT atau kekerasan perempuan di lingkungannya,” tuturnya.
Diakui Uchi, masyarakat masih banyak yang tidak peduli dengan KDRT di lingkungannya. Misalnya dengan tidak bersedianya menjadi saksi bagi kasus KDRT yang terjadi di depan matanya, dengan alasan takut menjadi saksi, takut mendapatkan ancaman dari pelaku, takut mencampuri urusan rumah tangga orang, ataupun alasan lainnya terkait dengan posisi, status, ekonomi dan juga keselamatan yang bersangkutan.
Jumlah kasus kekerasan di Sulteng, baik kasus kekerasan terhadap perempuan maupun kasus KDRT, dalam lima tahun terkahir mengalami peningkatan.
Kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2007 sebanyak 274, tahun 2008 sebanyak 284 kasus, 2009 sebanyak 294 kasus. Kemudian tahun 2010 sebanyak 430 dan 2011 sebanyak 500 kasus.
Sementara KDRT tahun 2007 sebanyak 142, tahun 2008 terjadi 226 kasus, 2009 meningkat 315 kasus, 2010 sebanyak 290 dan 2011 sebanyak 379. Tahun 2012 baik kasus kekerasan terhadap perempuan maupun kasus KDRT belum dilaporkan.
Sampai Oktober 2012, jajaran PPA Polres Palu telah menerima 201 laporan kasus kekerasan yang melibatkan perempuan, baik itu kasus pemerkosaan, pencabulan, KDRT serta kasus-kasus pidana umum lainnya. TMU
Komentar
Posting Komentar