Saatnya (Kembali) Percaya pada Tuhan

Pasca reformasi, perpolitikan Indonesia diwarnai hingar bingar prediksi lembaga survey terhadap hasil Pemilu maupun Pemilukada. Masyarakat diperhadapkan pada hasil lembaga survey yang selalu ‘nyaris’ benar dalam setiap perhelatan poltik. Walhasil masyarakat digiring pada fenomena politik baru, percaya pada prediksi lembaga survey sebelum pemilihan berjalan. Bagi orang awam, lembaga survey seperti mendapat anugerah bisikan Tuhan. Karena seakan-akan kebanyakan hasil survey yang selama ini dilaksanakan cenderung mendekati angka riil yang dicapai oleh proses pemilihan sendiri. Lambat namun pasti, masyarakat secara tidak sadar kadang lebih mempercayai lembaga survey ketimbang kedaulatan Tuhan yang maha menentukan segalanya. Namun bukan Tuhan, jika Dia tidak menunjukkan kemahakuasaanya. Titik balik terjadi saat survey politik telah jadi acuan sebagian besar masyarakat Indonesia. Melalui Pemilukada DKI Jakarta, hasil survey dari seluruh lembaga survey mentah. Jokowi-Ahok yang tidak diunggulkan menang mutlak mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi yang diunggulkan semua lembaga survey sebelum pemilihan berlangsung. Empat lembaga survey Indo Barometer, Sugeng Sarjadi School of Government, Lingkaran Survei Indonesia, dan Puskaptis (Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis) menyatakan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli bakal menang mudah. Pasangan yang biasa disebut Foke-Nara ini meraih suara 36,7 persen sampai 47,2 persen. Faktanya, setelah pemilihan Jokowi-Ahok meraih 43,04 persen suara. Posisi kedua ditempati pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli sebesar 34,18 persen suara. Peringkat ketiga ditempati pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini dengan 11,1 persen, disusul duet independen Faisal Basri-Biem Benjamin 5,2 persen. Pasangan Alex Noerdin-Nono Sampurno hanya meraih 4,37 persen suara. Adapun pasangan Hendardji-Riza meraih 1,84 persen suara. Faktanya setelah pemilihan, hitung cepat Jokowi-Ahok meraih 43,04 persen suara. Posisi kedua ditempati pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli sebesar 34,18 persen suara. Peringkat ketiga ditempati pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini dengan 11,1 persen, disusul duet independen Faisal Basri-Biem Benjamin 5,2 persen. Pasangan Alex Noerdin-Nono Sampurno hanya meraih 4,37 persen suara. Adapun pasangan Hendardji-Riza meraih 1,84 persen suara. Berdasarkan fakta tersebut, banyak menimbulkan pertanyaan yang perlu dijelaskan oleh pelaku survey. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat dan apabila memang terdapat kesalahan, akan dapat dipahami oleh masyarakat. Apalagi saat ini masyarakat sering dibuat bingung oleh hasil-hasil survey yang ada. Belum lagi ada sinyalemen kalau survey itu dapat dipesan untuk memberikan kesan “positif” pada kandidat yang mengordernya. Dengan kata lain, bila setiap kandidat mengadakan survey dan hasilnya pun tidak selalu seragam, tentu akan menggiring persepsi masyarakat akan penilaian si pasangan calon. Jika lembaga survey tidak bekerja jujur dan hanya berdasarkan pesanan, akan menimbulkan ketidakberimbangan politik dan menguntungkan pihak-pihak yang memesannya. Dampak yang akan timbul adalah menjadikan para pemilih sebagai pemilih emosional bukan rasional. Oleh karena itu, survey-survey itu sejatinya harus jujur. Siapa yang mendanai, dimana saja responden itu diambil, apa metode survey yang digunakan, dan apa sejatinya survey itu dilakukan. Harapannya survey-survey itu tidak memperburuk proses demokratisasi yang sementara mencari bentuk. Hasil survey yang terjadi di Jakarta sejatinya memberikan pelajaran yang berharga, bahwa survey adalah hanya survey, sehingga hasilnya tidak selalu layak untuk dijadikan rujukan dan dipercaya. PEMILUKADA DONGGALA, UJIAN LEMBAGA SURVEY Sepekan sebelum Pemilukada Donggala dihelat, beberapa kandidat bertarung dengan presisi yang dirilis lembaga Survey. Tanggal 26 September 2013, berdasarkan riset Independen Indonesian Development Enginering Consultant (IdeC) untuk uji elektabilitas dan popularitas delapan pasangan calon yang maju pada Pemilukada Donggala 2013, menempatkan pasangan nomor urut 4, Kasman Lassa-Vera Elena Laruni (KAVE) akan memenangkan Pemilukada, hanya dengan satu putaran. Hal itu berdasarkan hasil survey yang dirilis IdeC pada Minggu (25/8/2013). Survei yang dilaksanakan sejak 10 hingga 25 Agustus 2013 mencantumkan persentase elektabilitas pasangan Kasman Lassa- Vera Elena Laruni (KAVE) mencapai 38,90 persen. Posisi kedua ditempati oleh pasangan nomor urut 8, Drg.Anita B.Nurdin -Abd. Chair (DOA’MU) sebesar 26,22 persen, disusul pasangan Akris -mauliddin ( AKMAL) sebesar 12,39 persen serta Burhanuddin Yaddo- Idham Pagaluma (BI) sebesar 10,37 persen. Selanjutnya, posisi lima ditempati oleh pasangan calon Kasmuddin- Abubakar (KALBU) dengan persentase perolehan suara sebesar 7,20 persen, Burhanuddin Lamadjido-Ta’rifin Masuara (RI) sebesar 2,88 persen, Asgar Djuhaepa-Fadjar Panggagau sebesar 1,73 persen, Irham Maskura- Alfred diurutan buncit dengan erolehan suara sebesar 0,29 persen (Mercusuar Edisi 26 September 2013). Selang sehari, Ketua pemenangan pasangan Akris-Maulidin, Mahmud Tahawi menyatakan jagoannya akan memenangkan Pemilukada Donggala. Mahmud menegaskan telah memiliki hasil survey dari lembaga tertentu. Namun Mahmud tidak membuka ke publik dengan alasan etika (Mercusuar, Edisi 27 September 2013). Tak kalah dengan kedua kandidat, pasangan DOA’MU melalui sebuah media lokal, mengklaim akan memenangkan Pemilukada satu putaran dengan perolehan suara sekira 32 persen. Klaim itu juga berdasarkan hasil survey sebuah lembaga tertentu yang menjadi konsultan pasangan nomor urut delapan itu. Klaim memenangkan Pemilukada satu putaran ini mengingatkan publik Sulteng dengan ‘duka’ lembaga survey saat Pemilukada DKI Jakarta. Hingga hari ketiga pasca pemilihan tanggal 4 September, belum ada satupun lembaga survey yang secara tegas dan meyakinkan salahsatu kandidat bupati Donggala memenangkan Pemilukada satu putaran sesuai hasil survey sebelum pemilihan. Pertanyaannya, akankan Pemilukada Donggala akan menjadi lembaran hitam lembaga survey sebagaimana Pemilukada Donggala? Jawabannya tentu saja masih menunggu hitung manual yang kini dilaksanakan KPU Donggala. Jika hitung manual ternyata meleset, setidaknya masyarakat bisa mengambil dua pelajaran penting. Pertama, survey penting untuk mengukur elektabilitas. Namun hasil survey bukan penentu kemenangan seorang kandidat. Dunia politik sangat lentur. Hari ini aktor politik bisa duduk di singgasana popularitas dengan elektabilitas tinggi. Hari berikutnya belum tentu. Aktor politik bisa muncul dan tenggelam dalam waktu yang tidak bisa diprediksi, karena psiko-politik masyarakat Indonesia memang belum mapan dalam proses demokratisasi yang terus mencari bentuknya. Kedua, yakin seyakin-yakinnya terhadap hasil survey sejatinya merusak akidah ummat beragama. Kepercayaan pada hasil survey yang mengalahkan kepercayaan pada kuasa Tuhan, bisa disebut sebagai paganisme politik. Secara langsung ini berpotensi menggeser dan merusak keimanan orang beragama. Bagaimanapun, manusia hanya bisa berusaha. Tuhan yang menentukan. Manusia boleh saja berucap ‘Kun’. Namun, ‘Fayakun’ tetap hak mutlak Tuhan.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu