Pemkab Buol Siap Pidanakan CCM
PALU, MERCUSUAR-Pemkab Buol siap memidanakan PT Hardaya Inti Platations (HIP) atau Cipta Cakra Murdaya (CCM) jika terbukti ada pencaplokan tanah warga dan pemanfaatan tanah untuk perkebunan di luar hak guna usaha (HGU).
Kesiapan memidanakan itu disampaikan Bupati Buol, Amirudin Rauf, dalam diskusi yang digelar Central Sulawesi Institute (CSI) bekerjasama dengan Litbang Harian Mercusuar, di sebuah hotel di Palu, Kamis (4/4/2013).
“Saat ini kami tengah bekerja dan memverifikasi lahan yang dipersengketakan warga dan perkebunan sawit. Sesuai surat arahan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, pemanfaatan tanah untuk perkebunan di luar HGU menyalahi aturan dan bisa dipidanakan. Jika nanti terbukti ada lahan yang dimanfaatkan CCM atau HIP di luar HGU dan terdapat di dalamnya unsur pidana, kami akan pidanakan. Pemkab akan menggugat. Olehnya bantu saya, masyarakat dan kelompok yang menuntut beserta pendampingnya berikan data dan formulir yang telah disiapkan Pemkab sebagai acuan kami memperjuangkan ini,” tegas dokter Rudi, panggilan akrab Bupati Amirudin Rauf.
"Kita sudah siapkan langkah-langkah hukum. Sudah ada surat dari Dirjen Perkebunan, bahwa empat ribu hektare lebih telah dikelola CCM di luar HGU," kata Dokter Rudi.
Dokter Rudi mengatakan pemerintah daerah optimistis bisa menang jika perusahaan yang beroperasi di Buol sejak 1993 tersebut. Sebelum gugatan pidana itu dilakukan dirinya meminta para pihak terkait seperti masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi memberikan masukan tentang status hukum pemanfaatan lahan tersebut setelah dimenangkan oleh pemerintah daerah.
"Sekarang apa dasarnya untuk membagi-bagi tanah itu kalau kita menang. Kalau dapat kepada siapa kita bagi. Tolong bantu saya," katanya.
Dokter Rudi mengatakan Murdaya Poo, pemilik CCM, beberapa kali menghubungi dirinya terkait pengelolaan lahan di luar HGU tersebut, namun katanya dia tidak melayani permintaan tersebut karena yang berkepentingan adalah Murdaya.
"Saya katakan dia (Murdaya) yang mestinya temui saya. Bukan saya temui dia," katanya.
Dikatakannya akhirnya dirinya bertemu dengan Murdaya namun membawa saksi yakni salah seorang mantan Bupati Buol. "Ini untuk menjaga jangan ada fitnah," katanya.
Diungkapkan dokter Rudi, pertemuan mereka berlangsung karena aksi pendudukan kantor Bupati Buol oleh karyawan perusahaan. "Saya minta kepada Murdaya supaya segera menarik seluruh karyawannya dari kantor saya," katanya.
Masih menurut dokter Rudi, untuk penyelesaian konflik lahan antara sekelompok masyarakat dan perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Buol, Pemkab Buol membentuk tim dalam bentuk satuan tugas (Satgas) yang bekerja secara independen.
Satgas tersebut bertugas melakukan verifikasi dokumen dan verifikasi lapangan. “Tidak benar jika ada info yang mengatakan Pemkab melakukan pembiaran. Kami membentuk Satgas untuk penyelesaian kasus ini, berdasarkan kewenangan Pemkab yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ujar Bupati.
Untuk menjaga independensi dan kepentingan dua pihak yang terlibat konflik, Pemkab menganggarkan operasional Satgas melalui APBD. “Kami tidak pernah main mata dengan perusahaan, apalagi minta uang. Kami anggarkan melalui APBD Rp350 juta,” terangnya.
Tim yang dibentuk lanjut bupati, telah bekerja dan bersama-sama dengan Forum Tani Buol (FTB) dan perusahaan melakukan pengukuran lahan yang dipermasalahkan warga. “Kami ukur dan buatkan petanya berdasarkan penunjukkan dan arahan FTB. Hasilnya ada sekira 4900-an Ha yang diklaim warga, 3243 Ha lebih dalam area HGU CCM atau HIP. 1228 Ha di luar HGU dan di antaranya 454 Ha telah menjadi plasma,” paparnya.
Langkah lainnya, Satgas juga membentuk Posko pengaduan dan meyebar formulir isian bagi masyarakat yang merasa dirugikan dan tanahnya diambil paksa perusahaan. Isian itu berisi kronologis kepemilikan tanah dan bukti kepemilikan. “Sampai saat ini tidak ada satupun warga yang mengisi. Bagaimana kami mau memperjuangkan, jika subyek dan obyek sengeta tidak jelas, karena mereka tidak mau isi. Jika ini ada dan secara hukum kuat, bukan orang lain yang akan pimpin perlawanan ini. Saya yang akan pimpin langsung perjuangan pengembalian hak tanah masyarakat. Jadi jelas, saya ingin ini dalam koridor hukum dan peraturan yang berlaku. Tidak usah kepemilikan pribadi, kalau ada yang bisa tunjukkan itu tanah adat, saya akan perjuangkan,” imbuhnya.
Diungkapkan Bupati, berdasarkan verifikasi dokumen dan sejarah yang didapatkan Satgas, tahun 2000 ada sekelompok warga yang merasa dirugikan CCM atau HIP membentuk FTB didampingi beberapa LSM. Bahkan saat itu ia termasuk yang turut mendampingi FTB di Tolitoli. “Dalam pertemuan 24 Mei dan 20 Juni 2000 dibuat kesepakatan, tanah 191 orang di kecamatan Momunu dan 100 orang di Bokat digantirugi dan dibuatkan plasma. Di Momunu digenapkan 200 orang jadi 400 Ha dan di Bokat 100 orang 200 Ha. Selain itu secara bertahap CCM diharuskan membuka plasma sampai 15.000 Ha. Pada masa Pak Karim Hanggi (Bupati Buol), 172 orang telah dibayarkan ganti rugi oleh perusahaan dan dibuka plasma 450 Ha. Saat itu tidak ada lagi masalah, tinggal sisanya yang harus diselesaikan. Kami masih memverifikasi, kenapa sisanya belum selesai,” tambahnya.
Pada kesempatan itu bupati juga membantah, Pemkab memperhadapkan masyarakat dengan aparat keamanan. Aparat hadir karena tidak ingin ada gesekan antara kelompok yang memblokade perusahaan dengan ribuan pekerja yang merasa terancam akan kehilangan pekerjaan. “Itu tugasnya keamanan. Saya juga ingin luruskan informasi yang menyatakan Pemkab tidak berbuat.
Berapa kali FTB komunikasi dengan kami? Beberapa kali malah di kediaman, bukan hanya di kantor bupati. Kami terbuka, karena memang tugas pemerintah melayani dan menyelesaikan persoalan rakyat,” ujarnya.
Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Dedy Askari, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menyatakan mendukung langkah Bupati. Ditegaskan Dedy, langkah yang ditempuh Bupati menunjukkan respon positif atas tuntutan masyarakat.
“Bukan bermaksud bapatende karena ada pak bupati, tapi langkah itu perlu diapresiasi dan ini mengarah pada tututan masyarakat. Tentu masyarakat yang menuntut perlu memahami bahwa perjuangan ini tidak seperti membalik telapak tangan dan butuh proses,” kata Dedy.
Konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan di Buol terjadi sejak perusahaan tersebut masuk ke Buol tahun 1993. Diduga perusahaan telah melakukan perampasan atas tanah-tanah perkebunan masyarakat.
Masyarakat yang tergabung dalam FTB sudah berkali-kali berjuang agar mereka mendapatkan kembali tanah yang sudah ditanami sawit namun belum juga terealisasi.
Sebagai puncaknya masyarakat akhirnya menduduki perkebunan tersebut dan memblokir akses yang masuk ke perusahaan. Aksi tersebut berlangsung sejak 21-28 Maret lalu.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulteng melihat terdapat beberapa kejanggalan atas beroperasinya perusahaan tersebut. PT HIP sudah beroperasi tahun 1993 sementara HGU diterbitkan pemerintah tahun 1998. Akta perusahaan itu sendiri baru dibuat tanggal 3 April 1995.
Adapun luas kepemilikan lahan berdasarkan Sertifikat HGU No.01/Kab.Buol Tolitoli tanggal 28 Agustus 1998 seluas 16.434,388 hektare dan Sertifikat HGU No. 02/Kab.Buol Tolitoli tanggal 28 Agustus 1998 seluas 6.346,478 hektare. Sehingga, total seluruh HGU seluas 22.780 hektare.
Kepala Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Sulteng Muh Nuzul Libulembah mengatakan praktik di lapangan perusahaan telah mengembangkan perkebunan di luar HGU 4.926,85 hektare. Luasan tersebut saat ini juga menjadi tuntutan forum petani Buol yang dikembalikan.
Akademisi dari Universitas Tadulako yang Koordinator Litbang Harian Mercusuar, Andi Maddukelleng mengatakan konflik bisa saja berlanjut di kemudian hari jika pemerintah hanya mengandalkan barter materi sebagai solusi. Ia menilai perlu dibangun kontrak sosial di antara pihak yang terlibat dan di sinilah peran yang bisa diberikan akademisi atau sosiolog. Hadir dalam diskusi para wartawan, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, serta wakil Pemkab Buol. TMU/ANT
Komentar
Posting Komentar