Menunggu Keberanian Aparat Tindaklanjuti Temuan BPK
HAMPIR saban tahun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membeberkan temuan yang bersifat dugaan penyimpangan keuangan pemerintah provinsi Sulteng. Namun tindaklanjut dari temuan tersebut tidak kelihatan, utamanya yang bersifat pidana. Tahun ini, lagi-lagi BPK Perwakilan Sulteng menemukan penjualan aset daerah diluar prosedur, yang merugikan keuangan daerah puluhan miliar rupiah.
BPK sebagaimana dimaksud UU No. 15 Tahun 2006 Pasal 2 merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai satu-satunya lembaga Negara yang berwenang memeriksa keuangan negara/daerah, hasil pemeriksaan BPK memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti permulaan, untuk melakukan penelusuran dugaan penyimpangan keuangan negara/daerah.
Temuan BPK sebenarnya merupakan entry point bagi penyidik Kepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan pendalaman secara hukum, untuk menetapkan apakah temuan BPK sebagai pelanggaran administratif semata atau pelanggaran pidana. Apalagi untuk penanganan hukum, BPK telah menjalin kerjasama dengan Kejaksaan dan Kepolisian.
Kesepakatan ini dituangkan dalam Kesepakatan Bersama BPK dengan Polri Nomor : 01/KB/I-XIII.2/11/2008, NO.POL.: B/11/XI/2008 tanggal 21 November 2008, tentang Tindak Lanjut Penegakan Hukum Terhadap Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Yang Berindikasi Tindak Pidana. Kerja sama dengan kepolisian dimaksudkan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berindikasi tindak pidana.
Dengan demikian, proses dan penegakan hukum dapat segera dilakukan kepolisian. Penyerahan hasil pemeriksaan berindikasi tindak pidana ini tidak hanya dilakukan oleh Ketua BPK, tetapi juga bisa dilakukan Kepala Perwakilan BPK di daerah kepada Kepala Polisi Daerah setempat.
Kedua pihak menyepakati, sebelum hasil pemeriksaan diserahkan terlebih dulu dilakukan pemaparan oleh BPK. Kemudian dilakukan pembahasan bersama yang bisa berujung pada dua kemungkinan. Jika disimpulkan hasil pemeriksaan belum cukup menemukan bukti awal, maka BPK harus segera melengkapi. Namun, jika disimpulkan bahwa bukti awal sudah cukup, maka hasil pemeriksaan bisa segera diserahkan kepada kepolisian. Pihak terakhir itu lalu segera menindaklanjuti sesuai aturan yang berlaku. Kerja sama tidak lantas berhenti sampai tahap itu. Jika dalam proses hukum diperlukan berbagai penjelasan lanjutan mengenai hasil pemeriksaan, kepolisian dapat meminta keterangan dan penjelasan dari ahli yang ditunjuk BPK.
Kesepakatan ini dituangkan dalam Kesepakatan Bersama BPK Dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia NOMOR: 01/KB/I-VIII.3/07/2007, NOMOR: KEP- 071/A/JA/07/2007 tentang Tindak Lanjut Penegakan Hukum Terhadap Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Yang Diduga Mengandung Unsur Tindak Pidana. Untuk menindaklanjuti perintah undang-undang ihwal penyerahan laporan hasil pemeriksaan BPK kepada Kejaksaan Agung, kedua lembaga menerjemahkannya dalam sebuah Kesepakatan Kerja Sama yang ditandatangani pada 25 Juli 2007. Hasil Pemeriksaan yang dimaksud adalah yang berindikasi tindak pidana. Tujuan dari kesepakatan ini adalah mendukung pelaksanaan tugas masing-masing agar lebih optimal. Tentu saja tujuan akhir dari sinergi ini adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang bebas korupsi-kolusi-nepotisme, alias KKN. Hasil Pemeriksaan BPK yang mengandung tindak pidana itu akan dipaparkan dan dibahas bersama BPK. Jika pemeriksaan sudah diangap cukup, maka Kejagung langsung melakukan penyidikan. Namun, jika bukti permulaan tidak cukup, Kejagung dapat meminta BPK melakukan pemeriksana lanjutan.
Agar temuan BPK tidak menjadi sia-sia dan benar-benar ditindaklanjuti, kedua lembaga sepakat bahwa Kejagung akan memberitahukan perkembangan penyidikan selambat- lambatnya dalam dua bulan.
Kejaksaan dan Kepolisian kerap kali berdalih, tidak memiliki dokumen laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK. Padahal LHP BPK bisa diakses dengan mudah dari situs resmi BPK. Kedua institusi hukum tersebut juga sering berkilah dengan alasan yuridis formal, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK.
Pasal tersebut menyatakan, apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
Berlepas dari ketentuan Pasal 8 UU No. 15 tahun 2006, Kejaksaan dan Kepolisian punya tugas khusus untuk menuntaskan dugaan kasus tindak pidana korupsi atau penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara/daerah sebagaimana Intruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004 Poin 11.
Dalam buku panduan mengenal lebih dekat BPK, terbitan Biro Humas dan Luar Negeri BPK RI, anggota BPK dilarang terlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang. Bila dilanggar, oknum BPK terancam pidana sekurang-kurangnya hukuman penjara tiga tahun dan/atau denda paling sedikit tiga miliar rupiah (Rp3.000.000.000,-) dan paling banyak sepuluh miliar rupiah (Rp10.000.000.000,-). Penjelasan ini termuat dalam halaman 118 buku tersebut. Mengacu pada ketentuan ini, tentu tidak alasan bagi pejabat BPK tidak meneruskan hasil pemeriksaan yang terindikasi pidana.
Hukum Pidana atau yang biasa disebut dengan istilah Pidana berasal dari kata straf (bahasa belanda) yang terkadang pula disebut dengan istilah hukuman. Penggunaan istilah Pidana untuk mendefinisikan hukuman dirasa lebih tepat, oleh karena penggunaan istilah hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari kata recht (bahasa belanda yang berarti hukum). Untuk itu, dapat dikatakan bahwa istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan hukum pidana.
Hukum pidana dapat dimaknai sebagai suatu hukuman yang dikenakan kepada seseorang, sebagai akibat hukum yang timbul atas perbuatannya yang melanggar ketentuan atau melaksanakan larangan dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana, larangan disebut sebagai tindak pidana atau dalam bahasa belanda strafbaar feit.
Dalam bahasa belanda istilah hukum pidana disebut dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa inggris istilah pidana disebut dengan Criminal Law.
Di Indonesia dalam perkembangannya, dikenal pidana yang telah dikodifikasi dan yang belum atau tidak masuk dalam kodifikasi. Pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
Jelas, mengacu pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang mengakibatkan kerugian keuangan negara/daerah adalah tindak pidana korupsi. Lalu, apakah pelanggaran peraturan yang merugikan keuangan daerah bukan sebuah tindak pidana?
Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut oleh Kejaksaan dan Kepolisian, temuan BPK soal penjualan aset diluar prosedur. Kurun 2010-2011, BPK RI Perwakilan Sulteng menemukan dum aset Pemprov Sulteng berupa rumah dinas (Rumdis) dan lahan kosong tidak sesuai ketentuan dan terindikasi merugikan daerah sekira Rp6,68 miliar.
Berdasarkan temuan BPK, setidaknya telah 317 rumdis dijual dalam waktu satu tahun. Proses penjualan atau penghapusan diketahui tidak melalui kajian dan penaksiran yang mendalam dari pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan SK Gubernur , pejabat yang ditunjuk adalah Kepala Biro Perlum, Kabag Aset, Kasubag penghapusan dan pengamanan aset dan seorang staf.
Temuan BPK tersebut ditindaklanjuti Inspektorat Provinsi Sulteng dengan melakukan pemeriksaan khusus, yang hasilnya dituangkan dalam Surat Nomor. SR-700/01/VII/ITDA tertanggal 2 Juli 2012. Pemeriksaan khusus tersebut mengungkapkan, 314 unit rumah yang dihapus atau didum tidak memenuhi syarat penghapusan, karena merupakan rumah golongan II.
Masih berdasarkan surat Inspektorat, penjualan rumah dinas tersebut ditandatangani Sekretaris Provinsi atasnama Gubernur. Temuan lainnya, 69 orang PNS atau pensiunan yang membeli rumah dinas diketahui tanpa melalui permohonan, masa kerja dibawah 10 tahun dan anti rugi ditetapkan tidak berdasarkan NJOP. Sehingga terjadi selisih harga dari NJOP atau harga umum disekitar rumah dinas sekira Rp1,602 miliar.
BPK juga menemukan, 63 unit rumah yang dijual merupakan lahan kosong yang tidak pernah dibangun rumah diatasnya. Lahan kosong tersebut dihargai dengan standar rumah dinas golongan III dengan harga keseluruhan Rp747,38 juta.
Metode perhitungan penjualan rumah dinas golongan III, tidak tepat diaplikasikan untuk tanah kosong. Sehingga ditemukan selisih harga antara nilai jual dengan harga yang seharusnya sekira Rp5,08 miliar. Berdasarkan penilaian BPK, mengacu pada NJOP, tanah tersebut seharusnya dihargai Rp5,827 miliar.
Meski tim penaksir tidak bekerja sebagaimana ketentuan dan terindikasi merugikan daerah, anehnya Pemprov Sulteng tetap mengucurkan honor Rp150 juta dengan perician Rp70 juta pada tahun 2010 dan Rp80 juta pada tahun 2011.
Bukan hanya penjualan rumah dinas dan tanah yang merugikan daerah. Selama 2010-2011, juga dilakukan penjualan kendaraan dinas (Randis). Penjualan atau dum aset Pemprov Sulteng berupa Randis selama satu tahun, berpotensi merugikan daerah sebesar Rp4,54 miliar.
Tahun 2010-2011, rincian Randis roda empat yang didum pejabat/pegawai mencapai 186 unit dengan nilai jual Rp1.283.193.600. Nilai jual tersebut jauh dari harga pasar dan penilaian fisik kendaraan yang seharusnya dijual Rp3.663.158.500. Terjadi selisih penjualan yang berpotensi merugikan daerah sebesar Rp2.379.964.900.
Sementara Randis roda dua yang didum mencapai 316 unit dengan nilai jual berdasarkan SK Penghapusan Rp149.684.600. Harga yang seharusnya diterima kas daerah berdasarkan kondisi fisik kendaraan dan harga pasar Rp721/501.600. Terjadi selisih harga yang berpotensi merugikan daerah sebesar Rp571.817.000.
Selain itu, enam Randis operasional dijual, meksi belum memenuhi ketentuan. Kerugian dari penjualan keenam mobil operasional tersebut Rp1,59 miliar. Keenam Randis tersebut, Jeep Toyota Land Cruiser DN 11 dengan harga Rp51,8 juta, Suzuki Grand Vitara DN 192 dengan harga Rp22 juta, Nissan X-Trail DN 99 seharga Rp25 juta, Toyota Fortuner DN 55 dijual dengan harga Rp30 juta, Toyota Innova DN 31 seharga Rp17,6 juta dan Isuzu Panther DN 380 dengan harga Rp18 juta.
Ketua Panja aset Deprov Sulteng, Irwanto Lubis, mengatakan para pembeli aset daerah yang tidak melalui prosedur yang berlaku bisa dipidana karena berpotensi merugikan keuangan daerah.
"Walaupun peraturan daerah tentang penghapusan aset tidak memuat tentang sanksi pidana, tetapi jika itu merugikan keuangan daerah maka memungkinkan dipidana," kata Irwanto Lubis.
Selain penjualan aset diluar prosedur, BPK juga menemukan aset yang hilang dan tidak diketahui keberadaanya saat dilakukan uji petik.
Hasil pemeriksaan secara uji petik di 24 SKPD atas barang inventaris berupa kendaraan, laptop, kamera dan LCD Proyektor diketahui 134 unit barang tidak bisa dihadirkan, yang secara keseluruhan bernilai Rp2.376.394.800. Sementara barang yang hilang senilai Rp168.274.500.***
Komentar
Posting Komentar