Polemik SPPD Deprov, Kelemahan Managemen Kepemimpinan

SEJAK akhir tahun 2007, masalah surat perintah perjalanan dinas (SPPD) di DPRD Provinsi (Deprov) menjadi pembicaraan hangat. Terakhir, dalam paripurna istimewa Deprov dengan agenda pelantikan anggota pengganti antar waktu (PAW) Djaindar Sidabutar, Ketua Deprov Murad Nasir, mengingatkan seluruh anggotanya, tidak sekedar mengejar SPPD, dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Tidak berhenti sampai disitu, Murad mulai membeberkan adanya beberapa anggota Deprov yang mendapatkan SPPD melebihi ketentuan. Aturan internal Deprov menyatakan, anggota maksimal melakukan perjalan dinas 12 kali, wakil ktua 14 kali dan ketua 16 kali. Ketentuan tersebut mulai dilanggar, karena ketua dan dua wakil ketua memiliki kewenangan menandatangain SPPD yang diajukan anggota Deprov. KELEMAHAN KOORDINASI Pernyataan Murad tentang SPPD, sebenarnya membuka borok Deprov secara kelambagaan ke publik Sulteng. Bak pepatah lama, menepuk air di dulang terpecik ke muka, banyaknya anggota yang mendapat SPPD diluar ketentuan, merupakan kegagalan managemen kepemimpinan di Deprov. Dalam hal ini, koordinasi antar unsur pimpinan lemah. Semestinya, ketua dan wakil ketua memiliki data anggota Deprov beserta jumlah SPPD yang telah dikeluarkan. Dengan demikian, akan terpantau SPPD yang telah dikeluarkan untuk masing-masing anggota Deprov. Selaku anggota Deprov yang dipercayakan memegang posisi ketua, tidak seharusnya Murad berlepas tangan, dengan menyatakan hanya menandatangani sekian SPPD, sisanya ditandatangani dua wakil ketua, yakni Helmy D Yambas dan Haelani Umar. Selaku ketua, ia memiliki tugas koordinasi antar unsur pimpinan dan alat kelengkapan yang ada. Koordinasi tersebut, salah satu diantaranya, dalam urusan SPPD. Demikian halnya dengan Helmy dan Haelani, juga patut melakukan koordinasi dan komunikasi dengan ketua, sebelum menandatangani SPPD. Jika koordinasi dan komunikasi kurang berjalan, paling tidak unsur pimpinan memiliki daftar chek list untuk permohonan SPPD bagi seluruh anggota Deprov. Ini lebih memudahkan melakukan kontrol, terhadap pengusulan SPPD. Kelemahan koordinasi di Deprov, sebenarnya bukan hanya pada masalah SPPD. Terlihat sering kali sidang paripurna tidak kuorum, karena beberapa anggota Deprov melaksanakan tugas luar kantor, baik kunjungan dalam daerah maupun luar daerah. Dengan kondisi seperti itu, tak jarang paripurna diskorsing atau bahkan ditunda dalam jangka waktu tertentu. Bahkan dalam satu kesempatan, ketua Deprov memulai sidang dengan pernyataan, “Sebagian anggota tidak ditahu dimana rimbanya”. Jika koordinasi berjalan dengan baik, maka paripurna tidak akan kosong dari anggota. Pasalnya, jadwal prsidangan telah ditetapkan oleh Panitia Musyawarah (Panmus), jauh hari. Sementara pada saat bersamaan, dikeluarkan SPPD bagi anggota Deprov untuk bertugas di luar kantor. Dalam kasus ini, siapa yang bertanggung jawab dan patut disalahkan? MEMAHAMI SPPD SPPD sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam sistem birokrasi Indonesia. Bahkan swasta juga melakukan hal yang sama, untuk menguatkan dasar penugasan bagi karyawan. Dalam konteks menjalankan tugas dan dan fungsi yang melekat pada anggota Deprov, SPPD juga merupakan salah satu bukti pertanggungjawaban secara adminstratif, atas kerja yang dilakukan. Namun, demikian, tidak semua tugas yang dijalankan anggota Deprov, diharuskan menggunakan SPPD. SPPD diperlukan untuk tugas diluar kantor, yang memakan ruang dan rentang waktu yang agak panjang. Ironis memang pernyataan ketua Deprov, jika untuk memantau pasar saja seoorang anggota Deprov memerlukan SPPD. Jika hal itu benar, maka rakyat Sulteng perlu mempertanyakan pengabdian dan sikap kenegarawanan anggota Deprov yang dimaksud. Dalam polemik pro dan kontra persoalan SPPD, seluruh anggota Deprov harus berani melakukan otokritik, untuk apa sebenarnya menjadi anggota legislatif. Benarkah semua tugas harus dikaitkan dengan SPPD? Anggota Deprov juga harus jujur pada diri sendiri, kalau SPPD sering diharapkan sebagai tambahan penghasilan diluar uang representasi, biaya komunikasi intensif dan tunjanga-tunjangan serta fasilitas yang telah diterima. Demikian halnya dengan unsur pimpinan Deprov, hendaknya berani menilai diri sendiri dan lantang berteriak di depan cermin kebenaran, masih banyak yang harus dibenahi dalam managemen kepemimpinan.*** (Diterbitkan Mercusuar Edisi 11 Maret 2008)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu