Dibreidel Sepihak, Apa yang Salah Dengan TV Kabel ?
KAMIS (29/11/2007), merupakan hari kelabu bagi pengusaha jasa siaran TV Kabel di Kota Palu. Hari itu, kepolisian melakukan pembekuan atau dalam istilah pengusaha TV Kabel --pembreidelan. Tidak tanggung-tanggung, empat puluh stasion jasa penyiaran TV Kabel, dibreidel. Walhasil, tiga puluh ribu pelanggan TV Kabel di Kota Palu menjadi kelabakan. Apa sebenarnya yang salah dengan TV Kabel, hingga kepolisian melakukan breidel tanpa pemberitahuan awal?
Usaha jasa penyiaran TV Kabel mulai muncul di Sulteng pada tahun 1998. Saat itu untuk memenuhi kebutuhan informasi dari beberapa TV swasta nasional, beberapa orang mulai membukan jasa penyiaran TV Kabel dengan istilah plintiran, dimana konsumen masih dari rumah ke rumah dan dalam jumlah yang terbatas. Biasanya dari orang tertentu pada keluarga atau tetangga dekatnya. Maklum pada saat itu – dan hingga kini- tidak semua TV swasta nasional memiliki transmisi relai di Sulteng.
Hingga pada tahun 2004, usaha jasa penyiaran TV kabel mulai marak dan dilakukan banyak orang. Sistem yang dipakaipun mulai bertambah maju dan tidak lagi bergantung pada plintiran. Kini dengan perkembangan teknologi, satu stasion dapat melayani konsumen hingga jangakauan 25 KM.
TV Kabel bagi sebagian besar masyarakat, sangat membantu memenuhi hak dasar mereka, yakni kebutuhan informasi dan hiburan. Kebutuhan informasi yang dijamin UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), kini terusik karena dibreidel. Tidak jelas alasan yang digunakan kepolisian untuk membreidel TV Kabel. Santer terdengar, alasan yang dijadikan pijakan adalah persoalan izin. Benarkah polisi memiliki kewenangan membreidel TV Kabel?
Mengacu pada UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, tidak satupun pasal dan ayat dalam UU tersebut, menyebut kepolisian sebagai pihak yang berhak menertibkan dan mencabut izin operasional jasa penyiaran TV Kabel. Pasal 8 Ayat (2d) secara tegas menyatakan institusi yang berkewenangan memberikan sanksi pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Jika dirunut secara teliti, UU No. 32 Tahun 2002 mengenal dua bentuk pelanggaran, yakni pelanggaran kode etik dan pelanggaran non kode etik (teknis administratif). Pelanggaran non kode etik, dapat berupa pelanggaran perizinan, ketentuan jangakauan siaran, ketentuan muatan lokal, hak siar, kepemilikan lembaga penyiaran, laporan keuangan dan lain-lain.
Pelanggaran dalam bentuk non kode etik, diberikan dua sanksi yakni, pidana dan administratif. Sanksi pidana diberikan jika terjadi pelanggaran, pertama, lembaga penyiaran swasta tidak memberikan kesempatan karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan laba, sebagaimana diatur Pasal 17 Ayat (3). Kedua, terjadi pemusatan kepemilikan dan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran (Pasal 18 Ayat 1) dan terjadi pemilikan silang secara langsung maupun tidak langsung, terhadap lebih dari satu media (Pasal 18 Ayat 2). Ketiga, medirikan lembaga penyiaran asing di Indonesia (Pasal 30 Ayat 1) dan keempat, menyelenggarakan kegiatan penyiaran sebelum mendapat izin (Pasal 33 Ayat 1) serta memindah tangankan izin kepada orang lain (Pasal 34 Ayat 4).
Sedangkan untuk sanksi yang bersifat adiministratif, paling tidak ada 12 pasal dan 15 ayat yang termaktub dalam UU No. 32 Tahun 2002. Adapun yang bertalian langsung dengan TV Kabel sebagai lembaga penyiaran berlangganan adalah, Pertama, lembaga penyiaran berlangganan tidak menyediakan paling sedikitnya sepuluh persen dari kapasitas kanal saluran, untuk menyalurkan program lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran swasta, serta tidak menyediakan kanal saluran produksi dalam negeri berbanding sepuluh dengan siaran asing. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 26 Ayat (2b dan 2c)).
Kedua, lembaga penyiaran berlangganan melalui kabel atau terestrial memiliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan, tidak sesuai izin yang diberikan dan tidak menjamin siarannya hanya diterima pelanggan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28. Ketiga, lembaga penyiaran tidak membayar izin melalui kas negara (Pasal 33 Ayat 7).
Keempat, lembaga penyiaran berlangganan diwajibkan melakukan sensor internal, terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan. Aturan sensor internal itu termuat dalam Pasal 26 Ayat (2a). Kelima, lembaga penyiaran berlangganan sebelum menyelenggaran siaran berlangganan, wajib memperoleh izin siaran berlangganan yang dikeluarkan KPI, sebagaimana ketentuan Pasal 25 Ayat (1).
Harus diakui, dari aturan diatas, banyak pengusaha jasa penyiaran berlangganan TV Kabel, bermasalah. Banyak ketentuan UU No. 32 Tahun 2002 yang belum dilaksanakan. Pembreidelan yang dilakukan kepolisian, jika memang benar dilakukan karena belum ada izin penyiaran, telah benar. Namun demikian, tindakan itu mendahului kewenangan yang dimiliki KPI. KPI merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan memberikan izin, mengatur frekuensi, mensensor dan mencabut izin lembaga penyiaran berlangganan (Pasal 33 jo Pasal 55).
Kepolisian bisa saja berkilah pada Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2002, yang menyatakan penyidikan tindak pidana penyiaran dapat menggunakan KUHAP. Dalam KUHAP, ada tiga kelompok yang bisa melakukan penyidikan, yaitu kepolisian, kejaksaan dan PNS yang diberikan kewenangan. Tindakan kepolisian bisa dibenarkan, jika KPI telah berkali-kali memberikan peringatan pada pengusaha jasa penyiaran TV Kabel, untuk menghentikan siarannya dan tidak dipatuhi. Atau pada saat yang bersamaan pengusaha jasa penyiaran TV Kabel melakukan perlawan terhadap kebijakan KPI dan lembaga tersebut meminta bantuan kepolisian untuk melakukan penyegelan atau penertiban.
Selanjutnya, pembreidelan juga harus menghitung faktor lain, yakni kinerja KPI. Dalam Pasal 29 Ayat (2) jo Pasal 33 Ayat (8), menyatakan ketentuan dan syarat perizinan diatur KPI bersama pemerintah. Pertanyaanya, sudahkan KPI Sulteng sejak berdiri tiga tahun lalu, merumuskan aturan perizinan bagi TV Kabel dan lembaga siaran lainnya ?
Berdasarkan pengakuan beberapa seorang pengusaha jasa penyiaran TV Kabel yang menghadap Wakil Ketua DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng (30/11), mereka telah mengajukan berkas izin ke KPI, namun hingga kini belum ada tindak lanjut dari KPI. Bisa jadi, karena hingga kini KPI bersama Pemprov Sulteng, belum pernah membuat aturan perizinan lembaga penyiaran. Jika aturan belum ada, bagaimana mungkin lembaga penyiaran dituduh bersalah. Padahal mereka telah berusaha memenuhi aturan dan mekanisme yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2002.
Demikian pula, suara para moralis yang menyatakan lembaga penyiaran berlangganan tidak melakukan sensor dan bertentangan dengan etika masyarakat Indonesia. Hal itu dianggap menjadi salah satu faktor kerusakan moral anak bangsa. Pendapat itu harus diakui sebagai kebenaran. Namun, serangan itu mestinya juga diarahkan pada KPI. Dimana dalam Pasal 48 Ayat (1), KPI memiliki tugas menetapkan aturan perilaku penyiaran. Demikian halnya dengan kode etik. Pasal 48 Ayat (5), menyatakan KPI wajib memfasilitasi penyusunan kode etik penyiaran. Seluruh lembaga penyiaran dan masyarakat pirsawan TV Kabel kini mempertanyakan, sudahkah KPI Sulteng menyusun aturan dan kode etik penyiaran? Sudahkan KPI Sulteng melakukan sosialisasi ke seluruh masyarakat atas keberadaan lembaganya dan berbagai aturan yang melekat pada lembaga penyiaran?
Jika tugas-tugas KPI belum sepenuhnya dijalankan, sangat tidak arif kepolisian melakukan pembreidelan. Peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatur tertibnya kehidupan bernegara, bukan untuk menciderai keadilan masyarakat.
Patut direnungkan keluhan salah seorang pelanggan TV Kabel pada Mercusuar, jika polisi merasa bertanggung jawab terhadap semua aturan, kenapa mereka tidak pernah menangkap pejabat, oknum TNI/Polri dan PNS yang menggunakan fasilitas negara diluar tugas pokoknya. Sangat kasat mata, di pagi hari banyak sekali mobil dinas yang parkir di pasar dan tempat perbelanjaan lainnya. Begitu juga pada sore atau malam hari, banyak “DN Plat Merah” atau DN dengan kode spesial SG, SL, SP parkir di pusat-pusat perbelanjaan atau sekadar untuk kunjungan ke keluarga atau sahabat serta menghadiri undangan diluar kapasitasnya sebagai pejabat. Tidakkah itu bukan bagian dari tugas. Menggunakan fasilitas negara diluar ketentuan kedinasan, merupakan pelanggaran, kejahatan dan tindak pidana. Kapan polisi menertibkan mereka. Jangan hanya rakyat kecil yang ingin menikmati informasi dan sekadar mencari sesuap nasi yang dikenakan aturan. Sementara pejabat tidak dianggap melanggar peraturan.
Setelah didesak puluhan pengusaha jasa penyiaran TV Kabel, akhirnya Kapolda Badrodin Haiti mengambil langkah bijak. Ia akan membuka segel TV Kabel, ditengah proses hukum, dengan catatan ada jaminan dari Walikota, DPRD Kota (Dekot) dan KPID, lembaga penyiaran akan menjalankan ketentuan UU No. 32 Tahun 2002. Pengusaha juga dituntut untuk membuat kesepakatan dengan Indovision atau lembaga penyiaran lainnya. Kebijakan Kapolda, bak air ditengah sahara bagi pirsawan TV Kabel di Palu. Kini seluruh masyarakat menunggu kebijakan Walikota Rusdy Mastura dan Dekot, karena KPID telah menyanggupi permintaan Kapolda.TMU
Komentar
Posting Komentar