Potret Buram Kesehatan Masyarakat Sulteng
HAMPIR tiap tahun pemerintah merilis data kasus gizi buruk yang terjadi di Sulteng. Data kasus gizi buruk tahun 2010 yang baru dirilis, mengejutkan semua pihak. Bagaimana tidak, angka gizi buruk naik dua kali lipat dari dua tahun sebelumnya. Data Dinas Kesehatan Sulteng menunjukkan bahwa pada tahun 2010, sedikitnya 538 balita menderita gizi buruk.
Oleh: Temu Sutrisno
Menurut data tersebut, jumlah penderita gizi buruk terbanyak berasal dari Kabupaten Sigi dengan 92 kasus, disusul Kota Palu dengan 88 kasus, Kabupaten Donggala 75 kasus, Kabupaten Banggai Kepulauan 69 kasus, Kabupaten Buol 53 kasus, Kabupaten Tolitoli dan Kabupaten Banggai 45 kasus, Kabupaten Tojo Unauna 28 kasus, Kabupaten Parigi Moutong 20 kasus, Kabupaten Morowali 14 kasus dan Kabupaten Poso 9 kasus.
Tahun 2008, kasus gizi buruk pada Balita juga terjadi pada hampir semua wilayah Sulteng. Kasus terbesar terjadi di Kabupaten Donggala. Dinas Kesehatan Sulteng menemukan 102 kasus di kabupaten tertua di Sulteng ini. Menyusul Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) sebanyak 39 kasus dan Buol 29 kasus. Kasus gizi buruk pada balita paling sedikit terjadi di Kabupaten Poso, atau hanya 1 kasus.
Berdasarkan data data Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, tingkat prevalensi gizi buruk pada balita di Sulteng 8,9 persen, dari standar Depkes 5,4 persen. Artinya setiap 100 balita di Sulteng, 8-9 yang terkena gizi buruk.
Total balita yang terkena gizi buruk di Sulteng tahun 2008 sebanyak 268 balita. 16 balita diantaranya meninggal dunia.
Anehnya, meski kasus gizi buruk meningkat, anggaran kesehatan untuk penanggulangan gizi buruk tidak mengalami peningkatan signifikan.
Malah untuk tahun 2012, anggaran untuk penanggulangan gizi buruk dan pelayanan kesehatan masyarakat miskin, masih didominasi anggaran aparatur berupa pembiayaan rapat, perjalanan dinas dan makan minum pegawai.
Dalam Buku APBD Sulteng tahun 2012, tercatat anggaran program perbaikan gizi masyarakat dengan kegiatan penanggulangan dan perbaikan gizi masyarakat, anggaran makan minum rapat lebih tinggi dan anggaran makan minum pasien. Anggaran makan mimun rapat Rp160.750.000, sedangkan anggaran pasien Rp157.852.800 dari total anggaran Rp810.367.000.
Contoh lainnya, anggaran makan minum rapat yang juga cukup besar ada pada kegiatan pengembangan promosi kesehatan, teknologi informasi dan edukasi, pada program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Anggaran rapat kegiatan ini mencapai Rp136.600.000. Anggaran makan minum rapat ini jauh lebih besar ketimbang biaya makan minum kegiatan pemberdayaan masyarakat dan keluarga miskin Rp84.750.000. Masih pada program yang sama, juga dianggarkan biaya makan minum rapat kegiatan pemberdayaan masyarakat UKBM sebesar Rp21.900.000.
Sebelumnya juga terungkap anggaran perjalanan dinas atau sebesar Rp4.227.300.700 atau sekira 11 persen dari anggaran yang diterima Dinkesda, Rp39 miliar. Pada item kegiatan peningkatan kesehatan masyarakat, dari total anggaran Rp 885.006.000, biaya perjalanan dinas aparatur mencapai Rp 551.227.200.
Demikian halnya dengan program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Program ini dianggarkan Rp 3.791.574.000. Dari anggaran tersebut dianggarkan perjalanan dinas Rp 194.225.800, biaya makan dan minum rapat Rp 136.600.000.
Sisanya diantaranya digunakan untuk penyediaan promosi kesehatan, teknologi informasi dan edukasi Rp 1.421.094.00. Contoh lainnya adalah program pelayanan kesehatan keluarga miskin (Gakin). Program ini dianggarkan Rp 2 miliar. Pada program ini masuk item kegiatan perjalanan dinas Rp 112.133.400 dan makan minum rapat Rp 84.750.000.
Sekadar perbandingan Tahun 2009, APBD Sulteng hanya menganggarkan Rp3,2 miliar untuk program upaya kesehatan masyarakat (Kesmas), sedikit mengalami kenaikkan dari tahun 2008 yang menganggarkan Rp2,258 miliar. Untuk perbaikan gizi masyarakat, diploting anggaran Rp1 miliar. Anggaran ini sedikit mengalami penurunan dibanding tahun 2008 dengan ploting anggaran Rp1,1 miliar. Sementara program peningkatan kesehatan ibu dan anak dan kesehatan keluarga miskin, masing-masing Rp500 juta dan Rp1,7 miliar.
Pada tahun 2008 untuk dua program itu masing-masing Rp476 juta dan Rp1,5 miliar. Anggaran tersebut rata-rata masih dibebani biaya aparatur.
Jika dibandingkan dengan biaya peningkatan kapasitas aparatur pada tahun 2008 yang mencapai Rp16 miliar, anggaran untuk kesehatan masyarakat terlihat sangat kecil.
Demikian pula jika diperhadapkan pada program lain. APBD Sulteng tahun 2009 yang mencapai Rp1,062 triliun, sekira Rp111 miliar digunakan untuk perjalanan dinas aparat dan anggota DPRD. Anggaran ini mengalami kenaikkan dari tahun sebelumnya, Rp96 miliar. Padahal jika ditilik, anggota DPRD hanya 45 orang dan SKPD di lingkup Pemprov Sulteng tidak lebih dari 50 instansi dengan jumlah pegawai sekira 7000 orang. Sementara masyarakat miskin Sulteng kurang lebih 500 ribu orang. Fantastis! Rp111 miliar untuk ratusan orang dan Rp3,2 miliar untuk 500 ribu rakyat miskin.
Anggota Komisi IV DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng, Mustar Labolo, yang dihubungi via Ponsel menyatakan keprihatinannya atas kasus gizi buruk di Sulteng. Dikatakan Mustar, gizi buruk merupakan wajah buram kesehatan masyarakat (Kesmas). “Kita sangat prihatin, berapa banyak generasi kita yang masa depannya memprihatinkan karena gizi buruk,” katanya, kemarin (25/3).
Dikatakan Mustar, kasus gizi buruk tidak semata-mata tanggungjawab Dinas Kesehatan. Kasus gizi buruk memerlukan langkah multi sektoral untuk penanganannya.
“Ini terkait pola hidup sehat, kemiskinan, pelayanan kesehatan dan diversifikasi pangan. Perlu kampanye dan sosialisasi berkesinambungan untuk pola hidup sehat, pemberdayaan masyarakat miskin dan pelayanan kesehatan secara terpadu,” kata Mustar.
Langkah maju ke depan kata Mustar, Deprov akan mendorong policy anggaran minimal 10 persen anggaran kesehatan dari total APBD.
“Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan anggaran kesehatan minimal 10 persen diluar biaya aparatur. Jika anggaran terbatas, kami akan dorong untuk peningkatan anggaran gizi masyarakat dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Tentu saja ini juga perlu disinergikan dengan kebijakan gubernur. Gubernur harus mendorong Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk memprioritaskan anggaran kesehatan masyarakat,” katanya. ***
Komentar
Posting Komentar