Sekolah Mahal, Pelanggaran Konstitusional !
PALU, MERCUSUAR-Sekolah mahal kembali menjadi isu hangat jelang pembukaan pendaftaran SMA dan SMP. Hal tersebut menyulut keprihatinan masyarakat pendidikan Sulteng.
Anggota Dewan Pendidikan Daerah Sulteng, Mustar Labolo, secara tegas menyatakan pendidikan merupakan hak dasar rakyat. Pemerintah kata Mustar, mempunyai kewajiban untuk menyediakan sarana pendidikan dan membuka ruang yang sama bagi seluruh rakyat.
“Pendidikan itu layanan dasar sebagaimana kesehatan yang jadi hak rakyat. Itu hak konstitusional yang dijamin UUD 1945. Tidak boleh ada sekolah mahal. Seharusnya pihak sekolah mengomunikasikannya pada pemerintah dan DPR/DPRD, untuk mencari jalan keluar, agar kebutuhan pembiayaan sekolah terpenuhi dan tidak ada lagi pungutan yang membebani siswa. Mari kita duduk bersama untuk membicarakan dan mencari solusinya,” ujar Mustar, kemarin (30/5).
Jika sekolah mahal, lanjut Mustar, pada akhirnya banyak anak usia sekolah tidak melanjutkan pendidikannya. Hal tersebut dikatakannya bukan saja berpengaruh pada sumberdaya manusia (SDM) kedepan, namun juga mengebiri hak konstitusional rakyat.
Hal yang sama dikemukakan anggota Komisi IV DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng, I Nyoman Slamet. Dikatakan politisi PDIP itu, pendidikan merupakan investasi jangka panjang bangsa. Untuk itu perlu dicarikan jalan bersama, agar sekolah bisa dinikmati seluruh rakyat. “Saya tidak sepakat pendidikan gratis, tapi pendidikan murah berkualitas. Nah, agar pendidikan berkualitas dan terjangkau, perlu intervensi pemerintah dalam pembiayaan. Untuk itu dibutuhkan konsistensi kebijakan anggaran 20 persen sebagaimana aturan perundang-undangan. Pemerintah juga harus bertindak tegas terhadap pungutan yang memberatkan atau ilegal,” kata Nyoman.
Keluhan sekolah mahal, bagi Sekretaris Komisi IV Moh Ilham Chandra Ilyas, perlu ditindaklanjuti pemerintah. Menurut Chandra, perlu dievaluasi dan dipilah sekolah mana yang mahal. Ini untuk melihat kewenangan untuk pembenahannya. “Ada sharing kewenangan untuk sekolah. SD dan SMP misalnya, itu ditangani Pemkab/kota. Untuk SLTA menjadi kewenangan provinsi. Namun demikian, tentu Pemprov punya tanggungjawab moral dan politik terhadap pendidikan di Sulteng. Ada beberapa daerah di Sulteng setahu saya yang memprogramkan pendidikan gratis dari SD sampai SMA,” katanya via Ponsel, kemarin.
Mahalnya biaya pendidikan lanjut Chandra, juga disebabkan rendahnya anggaran pendidikan. Diakuinya, anggaran pendidikan Sulteng belum memenuhi ketentuan perundang-undangan, minimal 20 persen dari total APBD. “Kalau provinsi dan kabupaten/kota konsisten terhadap ketentuan 20 persen APBD untuk pendidikan, saya kira tidak ada lagi istilah sekolah mahal. Apalagi APBN juga mengucurkan anggaran dalam bentuk DAK, BOS dan block grant. Perhitungan saya, jika APBN, APBD Provinsi dan kabupaten/kota tersedot 20 persen untuk pendidikan, pendidikan bias sangat murah,” ujarnya.
Sayangnya, selama ini pemerintah berlindung dibalik alasan anggaran pendidikan tersebar diseluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD), bukan hanya Dikda. “Ini alasan klasik, karena yang dimaksud anggaran pendidikan itu yang melekat dan dikelola Dinas Pendidikan atau kalau di APBN yang ditangani Kementerian Pendidikan Nasional,” tekannya. TMU
Komentar
Posting Komentar