Pansus GW ‘Kayak Keong’
Pantia Khusus (Pansus) DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng untuk penelusuran pembongkaran gedung wanita (GW), berjalan sangat lamban. Memasuki bulan ketiga, belum ada kejelasan hasil kerjanya. Alih-alih membawa hasil kerjanya ke paripurna, rekomendasipun belum tersusun.
Laporan: Temu Sutrisno
Seperti berkejaran dengan waktu, tim penyidik Kejati Sulteng yang menangani GW selangkah lebih maju dari Pansus. Tim Kejati bahkan berani berbicara ke media, bahwa telah ada minimal tiga calon tersangka dari rekanan dan pejabat. Jelas hal ini jauh dari kinerja Pansus yang ditunggu publik Sulteng. Masyarakat berharap Pansus kali ini berbeda dengan wacana penggunaan hak angket yang disuarakan Deprov periode 2004-2009, yang seiring masa bakti yang berakhir.
Berdasarkan catatan Mercusuar, nyaris tidak ada gebrakan baru dari penelusuran Pansus. Beberapa kali hearing dengan beberapa instansi, persoalan yang muncul selalu sama, yakni alasan pembongkaran. Pansus hanya berkutat pada persoalan administratif dan kebijakan pembongkaran GW. Hal yang sama juga disuarakan Deprov periode sebelumnya.
Padahal jika diikuti serius, ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan Pansus untuk selanjutnya dibawa ke paripurna dan bahkan bisa direkomendasikan ke aparat hukum. Berdasarkan catatan Mercusuar dari setiap hearing, paling tidak ada empat poin yang bisa dijadikan catatan Pansus.
Pertama, kacaunya administrasi dan pelaksanaan tender GW, sebagaimana diungkapkan anggota Pansus Yus Mangun. Diungkapkan Yus, hampir semua administrasi GW dibuat kemudian, untuk memuluskan administrasi setelah kasus tersebut mencuat ke publik melalui media.
Sebagai mantan Ketua Komisi I Deprov 2004-2009 dan Panitia Anggaran, Yus sangat memahami permasalahan GW. Yus mengungkapkan GW ditender sebelum keluar DKB (daftar kebutuhan barang). Setelah proyek bermasalah, barulah muncul surat-surat dan administrasi dibelakang hari. “Setahu saya tidak ada itu tinjauan teknis, keputusan penghapusan aset dan lain sebagainya. Ini muncul setelah dimuat di koran-koran. Saya menduga ini dibuat mundur agar tidak ada yang dipenjara. Kalau mau ditelusuri yang salah itu Nimrot (Mantan Pegawai Biro Perlum). Kenapa ditender kalau belum keluar DKB,” ungkap Yus.
Kedua, Tim teknis dibentuk tanpa sepengetahuan Kadis PU, sehingga kompetensinya diragukan. Kadis PU Noer Mallo mengaku tidak tahu menahu pembentukan tim teknis yang merekomendasikan pembongkaran GW. Tim teknis yang dipimpin Kabag Pengadaan Abidin, di-SK-kan Sekprov Gumyadi. SK tim teknis ungkap Noer Mallo, tertanggal 25 Januari 2007.
Ketiga, adanya kebijakan perubahan desain dari satu lantai menjadi dua lantai dengan basemen sebagai tempat parkir. Hal itulah yang membuat GW dibongkar total, meski pada awalnya hanya direncanakan rehab.
Perubahan desain tersebut menurut Fahmi, konsultan perencana GW, merupakan hasil konsultasi dengan Gubernur HB Paliudju dan tim teknis. “Kami tidak tahu ada penghapusan aset dan seterusnya. Prinsipnya konsultan hanya bekerja by order. Kami ubah desain perencanaan awal atas perintah Bapak Gubernur (Paliudju), saat konsultasi bersama tim teknis. Saya katakan kami tidak mau kerja tanpa surat perintah kerja dan itu ada pada kami,” aku Fahmi saat hearing dengan Pansus.
Keempat, alasan pembongkaran dan penghapusan aset yang dinyatakan mendesak dan membahayakan kepentingan umum, masih bisa diperdebatkan dan multitafsir secara teknis maupun pendekatan aturan perundang-undangan.
Sebagaimana diketahui Rehab Gedung Wanita (GW) di Jalan Moh Yamin Palu yang total alokasi anggarannya sekira Rp10,9 miliar masih dalam tahap penyelidikan Kejati Sulteng. Namun dipastikan nama-nama calon tersangka telah dikantongi penyidik.
Hasil perhitungan volume pekerjaan menjadi temuan penyidik, akibat adanya perubahan fisik bangunan hingga rehab tak sesuai perencanaan awal. Temuan itu terdapat pada seluruh tahapan pada tiga tahun anggaran berbeda. Baik rehab tahap pertama tahun 2007 oleh PT Raymond yang alokasi anggarannya Rp2 miliar, tahap dua tahun 2009 oleh PTTri Jaya dengan alokasi anggaran Rp5 miliar maupun rehab terakhir tahun 2010 oleh PT Wijaya Karya Semesta yang alokasi anggaran Rp3,9 miliar.
Pada akhirnya gerak lamban Pansus akan menjadi penilaian masyarakat Sulteng terhadap Deprov secara kelembagaan. Apatah lagi jika nantinya tidak ada kesimpulan yang berarti dari kerja sekian lama. Walhasil masyarakat tidak akan merubah carapandangnya terhadap lembaga legislatif. ‘Berteriak keras, jika ada maunya’.***
Laporan: Temu Sutrisno
Seperti berkejaran dengan waktu, tim penyidik Kejati Sulteng yang menangani GW selangkah lebih maju dari Pansus. Tim Kejati bahkan berani berbicara ke media, bahwa telah ada minimal tiga calon tersangka dari rekanan dan pejabat. Jelas hal ini jauh dari kinerja Pansus yang ditunggu publik Sulteng. Masyarakat berharap Pansus kali ini berbeda dengan wacana penggunaan hak angket yang disuarakan Deprov periode 2004-2009, yang seiring masa bakti yang berakhir.
Berdasarkan catatan Mercusuar, nyaris tidak ada gebrakan baru dari penelusuran Pansus. Beberapa kali hearing dengan beberapa instansi, persoalan yang muncul selalu sama, yakni alasan pembongkaran. Pansus hanya berkutat pada persoalan administratif dan kebijakan pembongkaran GW. Hal yang sama juga disuarakan Deprov periode sebelumnya.
Padahal jika diikuti serius, ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan Pansus untuk selanjutnya dibawa ke paripurna dan bahkan bisa direkomendasikan ke aparat hukum. Berdasarkan catatan Mercusuar dari setiap hearing, paling tidak ada empat poin yang bisa dijadikan catatan Pansus.
Pertama, kacaunya administrasi dan pelaksanaan tender GW, sebagaimana diungkapkan anggota Pansus Yus Mangun. Diungkapkan Yus, hampir semua administrasi GW dibuat kemudian, untuk memuluskan administrasi setelah kasus tersebut mencuat ke publik melalui media.
Sebagai mantan Ketua Komisi I Deprov 2004-2009 dan Panitia Anggaran, Yus sangat memahami permasalahan GW. Yus mengungkapkan GW ditender sebelum keluar DKB (daftar kebutuhan barang). Setelah proyek bermasalah, barulah muncul surat-surat dan administrasi dibelakang hari. “Setahu saya tidak ada itu tinjauan teknis, keputusan penghapusan aset dan lain sebagainya. Ini muncul setelah dimuat di koran-koran. Saya menduga ini dibuat mundur agar tidak ada yang dipenjara. Kalau mau ditelusuri yang salah itu Nimrot (Mantan Pegawai Biro Perlum). Kenapa ditender kalau belum keluar DKB,” ungkap Yus.
Kedua, Tim teknis dibentuk tanpa sepengetahuan Kadis PU, sehingga kompetensinya diragukan. Kadis PU Noer Mallo mengaku tidak tahu menahu pembentukan tim teknis yang merekomendasikan pembongkaran GW. Tim teknis yang dipimpin Kabag Pengadaan Abidin, di-SK-kan Sekprov Gumyadi. SK tim teknis ungkap Noer Mallo, tertanggal 25 Januari 2007.
Ketiga, adanya kebijakan perubahan desain dari satu lantai menjadi dua lantai dengan basemen sebagai tempat parkir. Hal itulah yang membuat GW dibongkar total, meski pada awalnya hanya direncanakan rehab.
Perubahan desain tersebut menurut Fahmi, konsultan perencana GW, merupakan hasil konsultasi dengan Gubernur HB Paliudju dan tim teknis. “Kami tidak tahu ada penghapusan aset dan seterusnya. Prinsipnya konsultan hanya bekerja by order. Kami ubah desain perencanaan awal atas perintah Bapak Gubernur (Paliudju), saat konsultasi bersama tim teknis. Saya katakan kami tidak mau kerja tanpa surat perintah kerja dan itu ada pada kami,” aku Fahmi saat hearing dengan Pansus.
Keempat, alasan pembongkaran dan penghapusan aset yang dinyatakan mendesak dan membahayakan kepentingan umum, masih bisa diperdebatkan dan multitafsir secara teknis maupun pendekatan aturan perundang-undangan.
Sebagaimana diketahui Rehab Gedung Wanita (GW) di Jalan Moh Yamin Palu yang total alokasi anggarannya sekira Rp10,9 miliar masih dalam tahap penyelidikan Kejati Sulteng. Namun dipastikan nama-nama calon tersangka telah dikantongi penyidik.
Hasil perhitungan volume pekerjaan menjadi temuan penyidik, akibat adanya perubahan fisik bangunan hingga rehab tak sesuai perencanaan awal. Temuan itu terdapat pada seluruh tahapan pada tiga tahun anggaran berbeda. Baik rehab tahap pertama tahun 2007 oleh PT Raymond yang alokasi anggarannya Rp2 miliar, tahap dua tahun 2009 oleh PTTri Jaya dengan alokasi anggaran Rp5 miliar maupun rehab terakhir tahun 2010 oleh PT Wijaya Karya Semesta yang alokasi anggaran Rp3,9 miliar.
Pada akhirnya gerak lamban Pansus akan menjadi penilaian masyarakat Sulteng terhadap Deprov secara kelembagaan. Apatah lagi jika nantinya tidak ada kesimpulan yang berarti dari kerja sekian lama. Walhasil masyarakat tidak akan merubah carapandangnya terhadap lembaga legislatif. ‘Berteriak keras, jika ada maunya’.***
Komentar
Posting Komentar