Baju Dinas Kalahkan Anggaran Kesehatan



Komitmen keberpihakan Gubernur dan Wakil Gubernur Longki Djanggola-Sudarto terhadap kepentingan rakyat Sulteng, mulai diragukan. Bayangkan saja,
kebijakan anggaran dalam perubahan APBD 2011 ada alokasi anggaran sebesar Rp 3,7 miliar untuk pengadaan baju dinas pegawai. Sementara untuk biaya sektor kesehatan yang dialokasikan ke Rumah Sakit Undata hanya Rp 1,3 miliar.
Data yang dihimpun Mercusuar dari perubahan APBD Sulteng 2011 menunjukkan, dari total sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) APBD 2010 sebesar Rp220,7 miliar, hampir 78 persen diantaranya (Rp174 miliar) dianggarkan untuk belanja tidak langsung di sekretariat provinsi.
Alokasi anggaran seperti itu mendapat kritikan dari sejumlah anggota Badan Anggaran DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng. Politikus Partai Demokrat, Mustar Labolo menyatakan, visi kerakyatan Longki-Sudarto tidak nampak dalam politik anggaran yang disusun tim anggaran pemerintah daerah (TAPD).
Mustar Labolo menguraikan, dari total anggaran Silpa 2010 sebesar Rp220,7 miliar, Rp71 miliar merupakan dana bagi hasil (DBH) untuk kabupaten/kota. Sementara dari sisanya berjumlah Rp179 miliar, hampir 90 persen dialokasikan untuk belanja tidak langsung di sekretariat provinsi.
“Komposisi anggaran seperti ini, jelas menunjukkan anggaran aparat lebih besar dari anggaran yang bersentuhan langsung dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat,” kata Mustar Labolo di Palu, Jumat (19/8).
Sekadar pembanding, dalam dokumen rancangan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS) perubahan APBD 2011, Rumah Sakit Undata hanya mendapatkan tambahan anggaran Rp1,3 miliar. Padahal kebutuhan obat habis pakai di Undata mencapai Rp1 miliar dan anggaran makan pasien Rp1,5 miliar. Demikian halnya dengan kebutuhan anggaran Rumah Sakit Madani. Rumah Sakit tersebut hanya ditambah anggaran Rp184 juta dari Rp1 miliar yang diusulkan.
Mustar Labolo menilai, anggaran di sekretariat terlalu besar dibandingkan alokasi anggaran untuk sektor pelayanan kesehatan. Hal itu menunjukkan bahwa tim penyusun anggaran di tubuh pemerintahan Longki-Sudarto, tidak sejalan dengan visi mengedepankan kepentingan publik.
“Alokasi anggaran untuk belanja tidak langsung sekretariat provinsi itu harus dikurangi, dan anggaran yang ada dimanfaatkan seefesien mungkin untuk program-program pro rakyat. Komitmen Longki-Sudarto terhadap keberpihakan pada rakyat miskin patut dipertanyakan,” ujar Mustar.
Kritik serupa juga dikemukakan anggota Deprov Sulteng dari partai pengusung Longki-Sudarto pada Pemilukada Sulteng 2011. Politikus PPP, Asgar Djuhaepa juga menyayangkan kecilnya alokasi anggaran untuk kepentingan rakyat dalam perubahan APBD Sulteng 2011.
“Ada anggaran untuk pengadaan baju dinas pegawai mencapai Rp3,78 miliar. Untuk apa ini dianggarkan dalam perubahan, toh anggaran sebelumnya sudah ada baju dinas. Tiap tahun baju dinas dianggarkan. Menurut saya, ini bisa ditunda sampai APBD 2012,” katanya.
Anggaran dan perubahan APBD 2011 lanjut Asgar, mestinya lebih diarahkan pada program yang diusulkan dalam APBD 2011 dan belum cukup penganggarannya, seperti abrasi pantai dan normalisasi sungai. Setidaknya ada 25 sungai yang diusulkan masyarakat dan pemerintah kabupaten untuk dinormalisasi. “Ini lebih penting dari baju dinas,” sergah Asgar.
Bukan hanya PPAS perubahan APBD 2011 yang mendapat kritikan dan mengesankan Longki-Sudarto tidak pro rakyat. PPAS 2012 juga mendapatkan kritikan yang sama.
Ketua Komisi III Deprov Sulteng, Nawawi S Kilat menyatakan, visi dan misi Gubernur Longki sudah tepat untuk Sulteng dan sangat fokus.
“Fokus karena bidang garapnya jelas agribisnis dan kelautan. Fokus berikutnya, karena acuan daerah hanya kawasan timur Indonesia. Ini lebih memudahkan dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD),” papar Nawawi di Palu, Selasa (16/8).
Dalam penjabaran visi dan misinya, Longki memprioritaskan program peningkatan sumberdaya manusia (SDM) melalui bidang pendidikan dan kesehatan serta program peningkatan infrastruktur.
“Namun ketika kita cermati KUA, sepertinya visi dan misi berubah. Tapi di PPAS, tidak terlihat skala prioritas dan plafon anggaran menggambarkan visi, misi dan KUA,” kata Nawawi.
Dicontohkan Nawawi, anggaran infrastruktur dalam PPAS diploting sekira Rp152 miliar. Anggaran itu tidak jauh berbeda dengan APBD 2011. Kondisi ini tentu menumbuhkan keraguan atas peluang Sulteng mampu berdaya saing dengan provinsi lainnya di kawasan timur Indonesia.
“Bagaimana bisa bersaing untuk maju kalau infrastruktur tidak memadai. Kebijakan anggaran juga sangat tidak mendukung. Contoh kecil, kita budidayakan kakao tapi kakao itu sulit dipasarkan karena banyak jalan rusak. Petani tidak bisa bawa hasil produksi kakao keluar untuk dipasarkan. Ini belum kita lihat banyak infrastruktur pertanian seperti irigasi yang memerlukan perbaikan,” jelas Nawawi.
Bukan hanya itu, infrasrtuktur pendidikan juga patut diperhatikan. Sekira sebelas persen sekolah rusak yang disampaikan Mendiknas secara nasional, sebagian ada di Sulteng. “Sarana pendidikan sangat mempengaruhi kualitas pendidikan. Anggaran kita dalam PPAS jauh dari 20 persen sebagaimana aturan undang-undang,” ujarnya.
Terpisah, praktisi pendidikan Supriyadi MPd, menyatakan anggaran pendidikan sangat jauh dari peraturan perundang-undangan. PPAS memploting anggaran pendidikan sekira Rp73 miliar atau 5,8 persen dari total anggaran Rp1,098 triliun.
“Anggaran pendidikan untuk Dikda sepertinya tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Coba lihat, program pelayanan administrasi perkantoran dianggarkan Rp2,13 miliar dengan perincian penyediaan jasa perkatoran seperti surat menyurat, komunikasi, bayar listrik dan air serta perizinan kendaraan operasional Rp1,37 miliar. Anggaran rapat dan koordinasi Rp756,7 juta. Ini menurut saya patut dipertanyakan,” kata Ketua PGRI Donggala itu.
Bukan hanya itu, Supriyadi juga melihat banyak item kegiatan yang lebih bersifat seremonial dan kurang bersinggungan dengan upaya Longki-Sudarto meningkatkan SDM. Kalau visi-misinya meningkatkan SDM, Longki-Sudarto harus memulai dari bidang pendidikan. Anggaran digenjot dan program bidang pendidikan harus benar-benar mengarah untuk itu.
“Menurut saya, jika tidak mampu mengelola bidang pendidikan, sebaiknya pendidikan diserahkan ke pemerintah pusat. Atau cara lainnya, Longki-Sudarto membenahi aparatur bidang pendidikan dengan mencari dan mengangkat orang-orang yang benar-benar memahami dunia pendidikan dan memiliki visi pendidikan yang bagus,” kata Supriyadi. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu