Mewaspadai Pengerahan PNS dalam Pilgub Sulteng
PEGAWAI Negeri Sipil (PNS) merupakan pemilih potensial yang diincar semua kandidat dalam perhelatan Pemilukada. Tidak mustahil, dalam Pilgub Sulteng 6 April nanti, suara PNS juga akan diperebutkan.TotalPNS di Sulteng dari semua instansi sekira 67 ribu.
Memberikan suara merupakan hak pilih PNS sebagaimana warga sipil lainnya. Namun demikian, PNS secara tegas dilarang terlibat aktiv dukung-mendukung kandidat yang ada. Artinya, hak PNS hanya sekadar memilih. PNS tidak boleh terlibat kampanye kandidat kepala daerah/wakil kepala daerah.
Netralitas PNS adalah amanah Pasal 3 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang juga dijabarkan dalam PP No. 37/2004 yang mengisyaratkan hanya ada dua opsi untuk PNS: Pertama, jika sudah bertekad aktif dalam politik praktis, maka harus meninggalkan status PNS. Kedua, jika ingin mengabdi sebagai PNS, maka harus meninggalkan arena politik. Larangan PNS terlibat dalam kancah politik juga tertuang dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang dijabarkan melalui pasal 61 ayat (1) dan pasal 62 PP No. 6/2005, serta Surat Edaran Mendagri nomor 270/4627/sj tertanggal 21 Desember 2009, yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia agar menata semua jajaran PNS untuk menjaga sikap netralnya dalam Pemilukada.
Terakhir, PP No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS juga secara tegas mengharamkan PNS terlibat dukung-mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Dalam Pasal 12 ayat (9) ditegaskan PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah, dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Jika ada oknum PNS yang menyalahi ketentuan pasal diatas, maka akan diberikan sanksi disiplin, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (3). PNS bersangkutan akan diberikan sanksi penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.
Selain berpotensi mendapatkan sanksi, keterlibatan PNS secara aktiv dukung-mendukung calon, juga berisiko pada posisinya pascapemilihan. Keterlibatan PNS baik secara individu maupun institusional, akan menimbulkan konflik kepentingan, yang pada akhirnya memengaruhi kinerjanya sebagai abdi masyarakat. PNS yang terlibat Pilgub berhadapan pada dua kemungkinan, jika calonnya menang karirnya meningkat. Sebaliknya, jika kalah kemungkinan karirnya drop, karena dinilai berseberangan dengan pemimpinnya.
Dalam konteks Pilgub Sulteng, Panwas dan masyarakat patut melakukan pengawasan secara ketat atas potensi keterlibatan oknum PNS baik atasnama pribadi maupun institusional. Pengawasan ini tentu dalam konteks peningkatan kualitas demokrasi Sulteng, bukan dalam rangka saling jegal dan menjatuhkan. Beberapa hal yang mungkin dilakukan oknum PNS yang terlibat aktiv dalam dukung-mendukung kandidat diantaranya seperti kampanye terselubung yang dikemas dengan rapat dinas, penggunaan anggaran dan fasilitas negara seperti mobil dinas, rumah dinas serta kantor pemerintah dan kelengkapannya bagi parpol atau kandidat tertentu, atau pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan mengarahkan bawahannya.
Pengawasan terhadap potensi keterlibatan oknum PNS bukan saja pada Sekretariat dan SKPD di lingkup Pemprov Sulteng, namun juga seluruh institusi/lembaga pemerintahan kabupaten/kota dan vertikal, termasuk perguruan tinggi.
Hal ini didasarkan pada pemikiran, kandidat yang saat ini tampil memiliki hubungan dengan institusi-institusi tersebut. Berdasarkan catatan redaksi, tidak ada bupati yang tidak memiliki keterkaitan dengan kandidat dan partai politiknya. Demikian pula dengan hubungan famili antara kandidat dan pejabat yang ada di daerah.
Belajar dari kasus Pemilukada Tangerang Selatan yang hasilnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) dan dilulang, seyogyanya PNS di Sulteng tidak terlibat secara aktiv dukung-mendukung kandidat. Jika terbukti PNS terlibat dan diadukan ke MK, maka kerugian bagi daerah. Pilgub berpotensi diulang, sementara Sulteng memiliki keterbatasan anggaran. Bukan hanya itu, PNS yang terbukti terlibat juga akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam PP No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.***
Memberikan suara merupakan hak pilih PNS sebagaimana warga sipil lainnya. Namun demikian, PNS secara tegas dilarang terlibat aktiv dukung-mendukung kandidat yang ada. Artinya, hak PNS hanya sekadar memilih. PNS tidak boleh terlibat kampanye kandidat kepala daerah/wakil kepala daerah.
Netralitas PNS adalah amanah Pasal 3 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang juga dijabarkan dalam PP No. 37/2004 yang mengisyaratkan hanya ada dua opsi untuk PNS: Pertama, jika sudah bertekad aktif dalam politik praktis, maka harus meninggalkan status PNS. Kedua, jika ingin mengabdi sebagai PNS, maka harus meninggalkan arena politik. Larangan PNS terlibat dalam kancah politik juga tertuang dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang dijabarkan melalui pasal 61 ayat (1) dan pasal 62 PP No. 6/2005, serta Surat Edaran Mendagri nomor 270/4627/sj tertanggal 21 Desember 2009, yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia agar menata semua jajaran PNS untuk menjaga sikap netralnya dalam Pemilukada.
Terakhir, PP No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS juga secara tegas mengharamkan PNS terlibat dukung-mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Dalam Pasal 12 ayat (9) ditegaskan PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah, dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Jika ada oknum PNS yang menyalahi ketentuan pasal diatas, maka akan diberikan sanksi disiplin, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (3). PNS bersangkutan akan diberikan sanksi penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.
Selain berpotensi mendapatkan sanksi, keterlibatan PNS secara aktiv dukung-mendukung calon, juga berisiko pada posisinya pascapemilihan. Keterlibatan PNS baik secara individu maupun institusional, akan menimbulkan konflik kepentingan, yang pada akhirnya memengaruhi kinerjanya sebagai abdi masyarakat. PNS yang terlibat Pilgub berhadapan pada dua kemungkinan, jika calonnya menang karirnya meningkat. Sebaliknya, jika kalah kemungkinan karirnya drop, karena dinilai berseberangan dengan pemimpinnya.
Dalam konteks Pilgub Sulteng, Panwas dan masyarakat patut melakukan pengawasan secara ketat atas potensi keterlibatan oknum PNS baik atasnama pribadi maupun institusional. Pengawasan ini tentu dalam konteks peningkatan kualitas demokrasi Sulteng, bukan dalam rangka saling jegal dan menjatuhkan. Beberapa hal yang mungkin dilakukan oknum PNS yang terlibat aktiv dalam dukung-mendukung kandidat diantaranya seperti kampanye terselubung yang dikemas dengan rapat dinas, penggunaan anggaran dan fasilitas negara seperti mobil dinas, rumah dinas serta kantor pemerintah dan kelengkapannya bagi parpol atau kandidat tertentu, atau pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan mengarahkan bawahannya.
Pengawasan terhadap potensi keterlibatan oknum PNS bukan saja pada Sekretariat dan SKPD di lingkup Pemprov Sulteng, namun juga seluruh institusi/lembaga pemerintahan kabupaten/kota dan vertikal, termasuk perguruan tinggi.
Hal ini didasarkan pada pemikiran, kandidat yang saat ini tampil memiliki hubungan dengan institusi-institusi tersebut. Berdasarkan catatan redaksi, tidak ada bupati yang tidak memiliki keterkaitan dengan kandidat dan partai politiknya. Demikian pula dengan hubungan famili antara kandidat dan pejabat yang ada di daerah.
Belajar dari kasus Pemilukada Tangerang Selatan yang hasilnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) dan dilulang, seyogyanya PNS di Sulteng tidak terlibat secara aktiv dukung-mendukung kandidat. Jika terbukti PNS terlibat dan diadukan ke MK, maka kerugian bagi daerah. Pilgub berpotensi diulang, sementara Sulteng memiliki keterbatasan anggaran. Bukan hanya itu, PNS yang terbukti terlibat juga akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam PP No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.***
Komentar
Posting Komentar