Dugaan Penyimpangan Pajak ‘Dianaktirikan’
SEPEKAN terakhir, Kejati Sulteng disibukkan dengan penyelidikan dugaan penyimpangan pembangunan gedung Biro Perlengkapan Umum dan Aset Daerah (Perlum) senilai Rp3,5 miliar. Sikap trengginas Kejati mengendus dugaan Penyimpangan Perlum patut diapresiasi positif. Namun demikian, Kejati seperti melupakan dan menganaktirikan dugaan penyimpangan pajak daerah sebesar Rp47 miliar.
Sikap Kejati ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri bagi publik Sulteng. Pasalnya, dugaan penyimpangan pengelolaan pendapatan asli daerah itu, menjadi temuan BPK dan dimuat dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) tahun 2010. Malah BPK sempat mengancam Pemprov dan DPRD Sulteng, jika tidak menindaklanjuti temuan tersebut.
Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, Permendagri No. 13 tahun 2010 tentang pedoman pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap tindaklanjut temuan BPK ataupun Peraturan BPK No. 2 tahun 2010, Deprov dan Gubernur harus menindaklanjuti rekomendasi BPK. Jika rekomendasi tidak ditindaklanjuti, BPK bisa membawa kedua institusi ke jalur hukum, tegas Kepala BPK Perwakilan Sulteng, Dadang Gunawan, saat menyerahkan LHP dalam paripurna DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng beberapa waktu lalu.
Sementara dugaan penyimpangan pembangunan gedung Perlum, berdasar pengakuan beberapa anggota Deprov, tidak masuk dalam temuan dan rekomendasi BPK. Proyek yang didanai APBN 2008 dan masuk dalam APBD tersebut, tiba-tiba menyeruak ke permukaan, setelah Aspidsus Kejati membuat pernyataan ke Pers, telah melakukan pemeriksaan dan memanggil mantan Karo Perlum, Yuliansyah.
Belum ditindaklanjutinya temuan BPK oleh Kejati, kerapkali disandarkan pada ketentuan Pasal 8 UU No. 15 tahun 2004 ayat (3) dan ayat (4), dimana dinyatakan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut dan laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Padahal, sebagai aparat penegak hukum Kejaksaan etikanya ketika melihat ada dugaan pelanggaran, tidak boleh terhalang pada proses administrasi belaka. Belum dilaporkannya dugaan pidana oleh BPK, tidak menghalangi Kejati melakukan proses hukum. Apatah lagi, BPK telah menjalin kerjasama dengan Kejaksaan (25 Juli 2007) dan Kepolisian (21 November 2008). Kedua instansi ini sebagaimana kesepakatan (MoU) berkewajiban menindaklanjuti temuan BPK yang terindikasi melanggar ketentuan hukum (korupsi).
Dugaan penyimpangan pengelolaan pajak daerah sendiri telah disampaikan BPK Perwakilan Sulteng pada Pemprov dan Deprov Sulteng.
Dalam temuannya, BPK menduga ada penyimpangan sekira Rp47 miliar. Diantara yang terungkap dalam temuan BPK adalah sekira Rp1,4 miliar pajak kendaraan bermotor (PKB) yang seharusnya masuk ke kas daerah, tidak jelas keberadaanya. Dana sebesar itu, terdiri dari dispensasi PKB Rp688.908.850 dan kekurangan denda PKB dan Bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sebesar Rp754.878.593.
Selain itu, upah pungut pajak senilai Rp1.149.887.679 tidak masuk ke kas daerah sebesar Rp622.857.8921. Upah pungut pajak tersebut diberikan pada pejabat tertentu yang terkait dengan pengelolaan pajak, berdasarkan surat keputusan gubernur. BPK juga menemukan pemakaian nota pajak tidak sesuai prosedur dan merugikan keuangan daerah sebesar Rp178,98 juta.
Dalam beberapa kesempatan, anggota Deprov seperti Asgar Djuhaepa, Irwanto Lubis, Suprapto Dg Situru, Nawawi Sang Kilat, Huisman Brant Toripalu dan Zainal Daud mendesak agar aparat hukum menyeriusi temuan BPK tersebut. Menurut mereka, temuan BPK merupakan bukti permulaan yang kuat untuk ditindaklanjuti dalam penyelidikan.
“Kalau masalah yang tidak ada dalam temuan BPK saja bisa, saya kira aparat hukum juga bisa menindaklanjuti temuan BPK. Tidak perlu menunggu laporan, LHP BPK itu bisa dijadikan bukti permulaan melakukan penyelidikan. Ini soal pendapatan daerah, soal uang rakyat,” ujar Asgar Djuhaepa, ditemui di Musala Deprov beberapa waktu lalu.***
Sikap Kejati ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri bagi publik Sulteng. Pasalnya, dugaan penyimpangan pengelolaan pendapatan asli daerah itu, menjadi temuan BPK dan dimuat dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) tahun 2010. Malah BPK sempat mengancam Pemprov dan DPRD Sulteng, jika tidak menindaklanjuti temuan tersebut.
Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, Permendagri No. 13 tahun 2010 tentang pedoman pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap tindaklanjut temuan BPK ataupun Peraturan BPK No. 2 tahun 2010, Deprov dan Gubernur harus menindaklanjuti rekomendasi BPK. Jika rekomendasi tidak ditindaklanjuti, BPK bisa membawa kedua institusi ke jalur hukum, tegas Kepala BPK Perwakilan Sulteng, Dadang Gunawan, saat menyerahkan LHP dalam paripurna DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng beberapa waktu lalu.
Sementara dugaan penyimpangan pembangunan gedung Perlum, berdasar pengakuan beberapa anggota Deprov, tidak masuk dalam temuan dan rekomendasi BPK. Proyek yang didanai APBN 2008 dan masuk dalam APBD tersebut, tiba-tiba menyeruak ke permukaan, setelah Aspidsus Kejati membuat pernyataan ke Pers, telah melakukan pemeriksaan dan memanggil mantan Karo Perlum, Yuliansyah.
Belum ditindaklanjutinya temuan BPK oleh Kejati, kerapkali disandarkan pada ketentuan Pasal 8 UU No. 15 tahun 2004 ayat (3) dan ayat (4), dimana dinyatakan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut dan laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Padahal, sebagai aparat penegak hukum Kejaksaan etikanya ketika melihat ada dugaan pelanggaran, tidak boleh terhalang pada proses administrasi belaka. Belum dilaporkannya dugaan pidana oleh BPK, tidak menghalangi Kejati melakukan proses hukum. Apatah lagi, BPK telah menjalin kerjasama dengan Kejaksaan (25 Juli 2007) dan Kepolisian (21 November 2008). Kedua instansi ini sebagaimana kesepakatan (MoU) berkewajiban menindaklanjuti temuan BPK yang terindikasi melanggar ketentuan hukum (korupsi).
Dugaan penyimpangan pengelolaan pajak daerah sendiri telah disampaikan BPK Perwakilan Sulteng pada Pemprov dan Deprov Sulteng.
Dalam temuannya, BPK menduga ada penyimpangan sekira Rp47 miliar. Diantara yang terungkap dalam temuan BPK adalah sekira Rp1,4 miliar pajak kendaraan bermotor (PKB) yang seharusnya masuk ke kas daerah, tidak jelas keberadaanya. Dana sebesar itu, terdiri dari dispensasi PKB Rp688.908.850 dan kekurangan denda PKB dan Bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sebesar Rp754.878.593.
Selain itu, upah pungut pajak senilai Rp1.149.887.679 tidak masuk ke kas daerah sebesar Rp622.857.8921. Upah pungut pajak tersebut diberikan pada pejabat tertentu yang terkait dengan pengelolaan pajak, berdasarkan surat keputusan gubernur. BPK juga menemukan pemakaian nota pajak tidak sesuai prosedur dan merugikan keuangan daerah sebesar Rp178,98 juta.
Dalam beberapa kesempatan, anggota Deprov seperti Asgar Djuhaepa, Irwanto Lubis, Suprapto Dg Situru, Nawawi Sang Kilat, Huisman Brant Toripalu dan Zainal Daud mendesak agar aparat hukum menyeriusi temuan BPK tersebut. Menurut mereka, temuan BPK merupakan bukti permulaan yang kuat untuk ditindaklanjuti dalam penyelidikan.
“Kalau masalah yang tidak ada dalam temuan BPK saja bisa, saya kira aparat hukum juga bisa menindaklanjuti temuan BPK. Tidak perlu menunggu laporan, LHP BPK itu bisa dijadikan bukti permulaan melakukan penyelidikan. Ini soal pendapatan daerah, soal uang rakyat,” ujar Asgar Djuhaepa, ditemui di Musala Deprov beberapa waktu lalu.***
Komentar
Posting Komentar