Deprov Jangan Hanya Menonton!
DANA bagi hasil (DBH) pajak daerah 2010 dari Pemprov untuk Pemkab/kota, hingga kini belum seluruhnya ditransfer. Anehnya, DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng yang pertamakali mengungkap kasus ini, malah diam dan menjadi penonton polemik DBH antara Pemprov versus Pemkab/kota. Padahal jelas dalam aturan perundang-undangan, tidak ada fungsi ‘penoton’ yang melekat pada Deprov.
Jika dirunut kebelakang, masalah DBH muncul sekira bulan November 2010 saat siding laporan hasil kunjungan dalam daerah anggota Deprov. Saat itu hamper semua Pemkab/kota mengeluhkan belum dicairkannya DBH tahun 2010. Malah untuk Pemkot Palu, ada sebagian DBH tahun 2008 dan 2009 juga belum tuntas.
Seakan mendapat dukungan politik, pasca sidang Deprov, Pemkab/kota ramai-ramai mempublish pada masyarakat DBH yang menjadi haknya. Mereka juga mengajukan pencairan pada Pemprov. Namun faktanya, hingga kini DBH belum sepenuhnya cair dan diterima Pemkab/kota.
Tak mau malu, Pemprov pada awalnya ngotot pada media telah mencairkan DBH yang jadi hak Pemkab/kota. Setelah mendapat bantahan Pemkab/kota, buru-buru diklarifikasi dan Sekprov Rais Lamangkona, sempat mengumpulkan Sekkab/kota dan Kadis Pendapatan Pemkab/kota.
Kesepakatan dalam pertemuan itu tercapai, Pemprov akan melunasinya dalam Perubahan APBD 2011. Tak lama berselang Sekprov kembali membuat pernyataan, akan menyelesaikan DBH akhir bulan Februari 2011.
Berlepas dari janji Pemprov, harusnya Deprov tidak tinggal diam dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan. Mestinya Deprov berani mengusut DBH yang tidak cair tepat waktu. Penundaan pencairan selama satu sampai dua tahun harus menjadi entry point Deprov melakukan penelusuran, karena patut diduga telah terjadi penyimpangan pengelolaan DBH pajak daerah.
Deprov bias memulai dari pertanyaan sederhana, dikemanakan DBH selama tidak dicairkan? Uang yang jadi hak daerah itu, disimpan di rekening siapa? Pertanyaan ini penting diajukan, karena setiap akhir tahun buku kas daerah ditutup.
Dalam sebuah kesempatan, anggota Komisi II Zainal Daud mempertanyakan DBH. Jelas pertanyaan Zainal tidak kuat, karena bukan suara Deprov secara kelembagaan.
Diungkapkan Zainal, sesuai aturan jika anggaran telah masuk ke kas daerah dan dibuatkan Surat Keputusan (SK) DBH yang menjadi hak kabupaten/kota, maka dana tersebut harus segera dicairkan. “Menjadi persoalan dan harus dipertanyakan, dimana DBH tahun 2008-2009 dan awal 2010 yang telah masuk ke kas, tapi belum dicairkan sebagaimana dikeluhkan Dinas Pendapatan Pemkot? Ini harus ditelusuri kejelasannya, karena telah lewat dua tahun,” katanya.
Jika dana tersebut tidak ada di kas, hal itu bisa dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum. “Pajak daerah, mekanismenya langsung masuk ke rekening Pemprov melalui Dinas Pendapatan, Biro Keuangan dan Kas Daerah. Pada akhir tahun dihitung seberapa besar realisasinya. Setelah dihitung, disisihkan yang menjadi hak kabupaten/kota dan itulah yang harus dicairkan. Pertanyaanya, jika DBH mengendap satu atau dua tahun, disimpan dimana?,” heran Zainal.
Ketua Komisi II, Yus Mangun, sempat mengutarakan akan memanggil pihak-pihak terkait untuk menjernihkan polemik DBH.
“Ini memang sering dikeluhkan Pemkab/kota, saat anggota Deprov reses atau melakukan koordinasi dalam daerah. Kami akan undang Dispenda untuk menjelaskan duduk persoalan DBH,” kata Yus, kemarin (17/1) lalu.
Hearing lanjut Yus, akan dilakukan setelah pemeriksaan internal SKPD dan asistensi APBD selesai. “APBD 2011 dalam proses persiapan realisasi, olehnya kami akan panggil Dispenda dan Karo Keuangan, setelah administrasi APBD selesai, agar tidak terganggu,” ujarnya.
Diungkapkan Yus, keterlambatan pencairan DBH untuk kabupaten/kota biasanya dikarenakan persoalan administratif, khususnya untuk DBH triwulan (TW) IV. DBH TW IV biasanya menyeberang tahun, karena proses administrasi tutup buku akhir tahun.
“Saya harap semua terbuka, Dispenda, Biro Keuangan maupun Kas Daerah, kalau sudah ditransfer perlihatkan saja buktinya, agar tidak ada polemik,” tandas Yus.
Pernyataan yang menarik disampaikan Wakil Ketua Komisi III, Suprapto Dg Situru. Dikatakannya, untuk mengakhiri polemik DBH, sebaiknya kejaksaan turun tangan melakukan penyelidikan. “Kejaksaan hemat saya jangan menunggu Pansus Deprov atau hasil pemeriksaan BPK. Lakukan penyelidikan, jika bukti kuat dilanjutkan ke penyidikan. Jika tidak, harus ditransparansikan dan sampaikan ke masyarakat, tidak ada penyimpangan DBH. Saya kira ini sederhana,” tegasnya.
Suara Zainal, Yus dan Prapto bisa jadi mewakili suara yang sama dari anggota lain. Permasalahannya, kapan Deprov merespon masalah DBH secara kelembagaan? Akankah Deprov menambah fungsinya sebagai ‘penonton, selain fungsi legislasi, budgeting dan pengawasan?***
Jika dirunut kebelakang, masalah DBH muncul sekira bulan November 2010 saat siding laporan hasil kunjungan dalam daerah anggota Deprov. Saat itu hamper semua Pemkab/kota mengeluhkan belum dicairkannya DBH tahun 2010. Malah untuk Pemkot Palu, ada sebagian DBH tahun 2008 dan 2009 juga belum tuntas.
Seakan mendapat dukungan politik, pasca sidang Deprov, Pemkab/kota ramai-ramai mempublish pada masyarakat DBH yang menjadi haknya. Mereka juga mengajukan pencairan pada Pemprov. Namun faktanya, hingga kini DBH belum sepenuhnya cair dan diterima Pemkab/kota.
Tak mau malu, Pemprov pada awalnya ngotot pada media telah mencairkan DBH yang jadi hak Pemkab/kota. Setelah mendapat bantahan Pemkab/kota, buru-buru diklarifikasi dan Sekprov Rais Lamangkona, sempat mengumpulkan Sekkab/kota dan Kadis Pendapatan Pemkab/kota.
Kesepakatan dalam pertemuan itu tercapai, Pemprov akan melunasinya dalam Perubahan APBD 2011. Tak lama berselang Sekprov kembali membuat pernyataan, akan menyelesaikan DBH akhir bulan Februari 2011.
Berlepas dari janji Pemprov, harusnya Deprov tidak tinggal diam dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan. Mestinya Deprov berani mengusut DBH yang tidak cair tepat waktu. Penundaan pencairan selama satu sampai dua tahun harus menjadi entry point Deprov melakukan penelusuran, karena patut diduga telah terjadi penyimpangan pengelolaan DBH pajak daerah.
Deprov bias memulai dari pertanyaan sederhana, dikemanakan DBH selama tidak dicairkan? Uang yang jadi hak daerah itu, disimpan di rekening siapa? Pertanyaan ini penting diajukan, karena setiap akhir tahun buku kas daerah ditutup.
Dalam sebuah kesempatan, anggota Komisi II Zainal Daud mempertanyakan DBH. Jelas pertanyaan Zainal tidak kuat, karena bukan suara Deprov secara kelembagaan.
Diungkapkan Zainal, sesuai aturan jika anggaran telah masuk ke kas daerah dan dibuatkan Surat Keputusan (SK) DBH yang menjadi hak kabupaten/kota, maka dana tersebut harus segera dicairkan. “Menjadi persoalan dan harus dipertanyakan, dimana DBH tahun 2008-2009 dan awal 2010 yang telah masuk ke kas, tapi belum dicairkan sebagaimana dikeluhkan Dinas Pendapatan Pemkot? Ini harus ditelusuri kejelasannya, karena telah lewat dua tahun,” katanya.
Jika dana tersebut tidak ada di kas, hal itu bisa dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum. “Pajak daerah, mekanismenya langsung masuk ke rekening Pemprov melalui Dinas Pendapatan, Biro Keuangan dan Kas Daerah. Pada akhir tahun dihitung seberapa besar realisasinya. Setelah dihitung, disisihkan yang menjadi hak kabupaten/kota dan itulah yang harus dicairkan. Pertanyaanya, jika DBH mengendap satu atau dua tahun, disimpan dimana?,” heran Zainal.
Ketua Komisi II, Yus Mangun, sempat mengutarakan akan memanggil pihak-pihak terkait untuk menjernihkan polemik DBH.
“Ini memang sering dikeluhkan Pemkab/kota, saat anggota Deprov reses atau melakukan koordinasi dalam daerah. Kami akan undang Dispenda untuk menjelaskan duduk persoalan DBH,” kata Yus, kemarin (17/1) lalu.
Hearing lanjut Yus, akan dilakukan setelah pemeriksaan internal SKPD dan asistensi APBD selesai. “APBD 2011 dalam proses persiapan realisasi, olehnya kami akan panggil Dispenda dan Karo Keuangan, setelah administrasi APBD selesai, agar tidak terganggu,” ujarnya.
Diungkapkan Yus, keterlambatan pencairan DBH untuk kabupaten/kota biasanya dikarenakan persoalan administratif, khususnya untuk DBH triwulan (TW) IV. DBH TW IV biasanya menyeberang tahun, karena proses administrasi tutup buku akhir tahun.
“Saya harap semua terbuka, Dispenda, Biro Keuangan maupun Kas Daerah, kalau sudah ditransfer perlihatkan saja buktinya, agar tidak ada polemik,” tandas Yus.
Pernyataan yang menarik disampaikan Wakil Ketua Komisi III, Suprapto Dg Situru. Dikatakannya, untuk mengakhiri polemik DBH, sebaiknya kejaksaan turun tangan melakukan penyelidikan. “Kejaksaan hemat saya jangan menunggu Pansus Deprov atau hasil pemeriksaan BPK. Lakukan penyelidikan, jika bukti kuat dilanjutkan ke penyidikan. Jika tidak, harus ditransparansikan dan sampaikan ke masyarakat, tidak ada penyimpangan DBH. Saya kira ini sederhana,” tegasnya.
Suara Zainal, Yus dan Prapto bisa jadi mewakili suara yang sama dari anggota lain. Permasalahannya, kapan Deprov merespon masalah DBH secara kelembagaan? Akankah Deprov menambah fungsinya sebagai ‘penonton, selain fungsi legislasi, budgeting dan pengawasan?***
Komentar
Posting Komentar