PD Sulteng Hanya Setor Rp1 Miliar!
PALU, MERCUSUAR-Meski Perusahaan Daerah (PD) Sulteng dan Dinas Kehutanan menyangkal data pemanfaatan kayu ebony DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng, anggota Komisi II Asghar Ali Djuhaepa tetap mempertanyakan sumbangan pihak ketiga yang seharusnya disetor PD Sulteng. PD Sulteng mengklaim menyetor pendapatan Rp1 miliar pada tahun 2009.
“Apanya yang dibantah, saya kira jelas SK Gubernur soal pemanfaatan kayu ebony. PD Sulteng buka saja semua secara transparan supaya masyarakat tahu dan menilainya. Buka saja supaya tidak ada polemik,” ujar Asghar via Ponsel kemarin (30/3/2010).
Dalam dokumen APBD secara gamblang dinyatakan kontribusi pendapatan PD Sulteng yang disetor ke kas daerah Rp700 juta. “Uang lainnya dikemanakan? Ini yang menjadi tanda tanya anggota Deprov,” kata Asghar.
Jika benar PD Sulteng telah menyetor pendapatan Rp1 miliar pada tanggal 2 Januari 2010, maka tetap menjadi pertanyaan. Pasalnya, PD Sulteng pada saat bersamaan menyatakan menerima sumbangan pihak ketiga dari pemanfataan kayu ebony sekira Rp2 miliar. “Berapapun sumbangan pihak ketiga, harus disetor ke kas daerah. Uang itu terpisah dari keuntungan PD Sulteng, karena sesuai SK Gubernur telah diberikan keuntungan dan biaya operasional dari pemanfaatan kayu ebony,” jelasnya.
Sebelumnya Dinas Kehutanan Sulteng menyatakan, berdasarkan hasil pengukuran dan laporan Dinas Kehutanan Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong, realisasi penjualan kayu Ebony di kedua daerah itu pada tahun 2009 adalah 1.089, 5852 meter kubik. Bukan 1.800 meter kubik sebagaimana yang ditudingkan Anggota DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng Asghar Djuhaepa beberapa waktu lalu.
Kepala Dinas Kehutanan Sulteng, Nahardi yang dihubungi Senin (29/3), mengatakan, rincian penjualan kayu ebony di kedua daerah tersebut masing-masing 264,2637 meter kubik untuk penjualan kayu ebony di Kabupaten Donggala dan 825,3215 meter kubik untuk penjualan kayu ebony di Kabupaten Parigi Moutong.
Ia mengatakan, masalah ini juga telah diketahui tim pengendali tata niaga ebony, yang dibentuk Gubernur Sulteng.
Sumber di PD Sulteng juga mempertanyakan data yang disampaikan Asghar Ali Djuhaepa, itu. Kata sumber, akumulasi penjualan kayu ebony selama tahun 2009 mencapai 1.089 meter kubik, inilah yang kemudian dikalikan dengan sumbangan pihak ketiga senilai Rp3 juta per meter kubik.
Setelah dibagi dengan pemerintah Kabupaten Parigi Moutong, Pemerintah Provinsi mendapat hak Rp2.000.030.773,350 dari penjualan itu. Sisanya, Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong mendapat bagian Rp1.237.982.000,25. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Donggala tidak menerima bagian penjualan karena tidak mengusulkan sumbangan kepada pemerintah provinsi.
PD Sulteng sebagai pelaksana tata niaga juga mendapat keuntungan dari penjualan ini. Target penerimaan tahun 2009 juga sudah sesuai yakni Rp1 miliar. Sampai Desember 2009, omsetnya sudah dihitung Rp1 miliar, tapi baru dibayar penuh pada 2 Januari 2010.
Tata niaga ebony di Sulteng ini diatur berdasarkan Surat keputusan Gubernur Nomor: 180/374/RO.HUK-GST/2009. Dalam SK ini Gubernur juga menetapkan biaya izin faktur kayu olahan (Fako) ebony seharga Rp9.103.000 per meter kubik, bukan Rp9.145 .000 sebagaimana yang ditudingkan.
Untuk tata niaga ebony, mulai dari pengangkutan kayu di Parigi dan Donggala serta penjualan senantiasa diketahui Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah. Sementara setiap akhir bulan, laporan Mutasi Kayu (LMK) ebony itu disampaikan pula kepada Kapolda dan Kajati Sulteng. TMU/DAR
“Apanya yang dibantah, saya kira jelas SK Gubernur soal pemanfaatan kayu ebony. PD Sulteng buka saja semua secara transparan supaya masyarakat tahu dan menilainya. Buka saja supaya tidak ada polemik,” ujar Asghar via Ponsel kemarin (30/3/2010).
Dalam dokumen APBD secara gamblang dinyatakan kontribusi pendapatan PD Sulteng yang disetor ke kas daerah Rp700 juta. “Uang lainnya dikemanakan? Ini yang menjadi tanda tanya anggota Deprov,” kata Asghar.
Jika benar PD Sulteng telah menyetor pendapatan Rp1 miliar pada tanggal 2 Januari 2010, maka tetap menjadi pertanyaan. Pasalnya, PD Sulteng pada saat bersamaan menyatakan menerima sumbangan pihak ketiga dari pemanfataan kayu ebony sekira Rp2 miliar. “Berapapun sumbangan pihak ketiga, harus disetor ke kas daerah. Uang itu terpisah dari keuntungan PD Sulteng, karena sesuai SK Gubernur telah diberikan keuntungan dan biaya operasional dari pemanfaatan kayu ebony,” jelasnya.
Sebelumnya Dinas Kehutanan Sulteng menyatakan, berdasarkan hasil pengukuran dan laporan Dinas Kehutanan Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong, realisasi penjualan kayu Ebony di kedua daerah itu pada tahun 2009 adalah 1.089, 5852 meter kubik. Bukan 1.800 meter kubik sebagaimana yang ditudingkan Anggota DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng Asghar Djuhaepa beberapa waktu lalu.
Kepala Dinas Kehutanan Sulteng, Nahardi yang dihubungi Senin (29/3), mengatakan, rincian penjualan kayu ebony di kedua daerah tersebut masing-masing 264,2637 meter kubik untuk penjualan kayu ebony di Kabupaten Donggala dan 825,3215 meter kubik untuk penjualan kayu ebony di Kabupaten Parigi Moutong.
Ia mengatakan, masalah ini juga telah diketahui tim pengendali tata niaga ebony, yang dibentuk Gubernur Sulteng.
Sumber di PD Sulteng juga mempertanyakan data yang disampaikan Asghar Ali Djuhaepa, itu. Kata sumber, akumulasi penjualan kayu ebony selama tahun 2009 mencapai 1.089 meter kubik, inilah yang kemudian dikalikan dengan sumbangan pihak ketiga senilai Rp3 juta per meter kubik.
Setelah dibagi dengan pemerintah Kabupaten Parigi Moutong, Pemerintah Provinsi mendapat hak Rp2.000.030.773,350 dari penjualan itu. Sisanya, Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong mendapat bagian Rp1.237.982.000,25. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Donggala tidak menerima bagian penjualan karena tidak mengusulkan sumbangan kepada pemerintah provinsi.
PD Sulteng sebagai pelaksana tata niaga juga mendapat keuntungan dari penjualan ini. Target penerimaan tahun 2009 juga sudah sesuai yakni Rp1 miliar. Sampai Desember 2009, omsetnya sudah dihitung Rp1 miliar, tapi baru dibayar penuh pada 2 Januari 2010.
Tata niaga ebony di Sulteng ini diatur berdasarkan Surat keputusan Gubernur Nomor: 180/374/RO.HUK-GST/2009. Dalam SK ini Gubernur juga menetapkan biaya izin faktur kayu olahan (Fako) ebony seharga Rp9.103.000 per meter kubik, bukan Rp9.145 .000 sebagaimana yang ditudingkan.
Untuk tata niaga ebony, mulai dari pengangkutan kayu di Parigi dan Donggala serta penjualan senantiasa diketahui Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah. Sementara setiap akhir bulan, laporan Mutasi Kayu (LMK) ebony itu disampaikan pula kepada Kapolda dan Kajati Sulteng. TMU/DAR
Komentar
Posting Komentar