Kasus Tataniaga Ebony, Deprov Dorong ke Jalur Hukum
PALU, MERCUSUAR - Jika tataniaga ebony terindikasi melanggar hukum, DPRD Provinsi (Deprov) tidak segan-segan akan mendorong penyelesaian secara hukum. Demikian ditegaskan anggota Komisi II Zaenal Daud, kemarin (20/4/2010).
“Kita akan lihat nanti hasil Panitia Khusus (Pansus) yang dibentuk untuk menelusuri tataniaga ebony dan keuangan PD Sulteng secara umum. Jika benar, kita sampaikan benar. Jika melanggar hukum, kita akan rekomendasikan untuk ditindak secara hukum,” ujar Zaenal Daud.
Ada beberapa hal yang janggal dan patut ditelusuri dari kinerja PD Sulteng terkait tataniaga ebony. Diungkapkan Zaenal, rapat mitra Komisi II yang dihadiri PD Sulteng bulan Februari, dilaporkan realisasi tataniaga ebony 1800 kubik. Dikemudian hari laporan tersebut dibantah dan diklarifikasi, hanya 1.089,5 kubik. “Kedua, PD Sulteng menagku telah menyetor dana sumbangan pihak ketiga dari tataniaga ebony sekira Rp2 miliar, faktanya data APBD menyebutkan kontribusi penerimaan daerah dari PD Sulteng hanya Rp700 juta,” papar Zaenal.
Kapan Pansus mulai bekerja? “Kita tunggu SK dari Ketua Deprov. Saya tidak tahu masuk atau tidak, tapi saya akan sampaikan agar pansus bekerja secara profesional dan transparan. Rapat-rapatnya harus terbuka hingga wartawan dan yang lain bisa mengawasi,” tegasnya.
Terpisah, Pemegang Kas Daerah Provinsi Sulteng, Rudy Dewanto membenarkan statemen Anggota Deprov Sulteng bahwa setoran PD Sulteng sumbangan pihak ketiga untuk tataniaga ebony pada 2009, ke instansinya sebesar Rp700 juta.
“Sama dengan yang disebutkan dalam berita bahwa setoran PD Sulteng, adalah Rp700 juta. Itu pun bukan dalam bentuk uang tunai, hanya dalam bentuk bukti dari setoran PD Sulteng, kepada bank tertentu,” katanya, saat dikonfirmasi, kemarin (20/4/2010).
Menurutnya, bukti setoran tersebut, selain diberikan kepada Kas Daerah juga ditembuskan ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Sulteng, agar kedua lembaga pemerintah itu saling melakukan kroscek pada jumlah dana yang disetorkan.
Dia menambahkan, pada tahun ini, PD Sulteng juga menyetor sejumlah dana kepada Kas Daerah. Namun, jumlah setoran PD Sulteng tahun ini secara pasti, belum diketahuinya.
“Berkas-berkas setoran sangat banyak, saya lupa jumlah setoran PD Sulteng untuk 2010, yang pasti ada setoran baru,” tukasnya.
GUBERNUR KELIRU
SK Gubernur No. 522.21/107/Ro.Huk/2009 tentang Penunjukan PD Sulteng untuk Mengkoordinir Pemanfaatan Kayu Ebony Eks Tebangan Lama/Rakyat di Sulteng dinilai anggota Komisi I, Huisman Brant Toripalu keliru. SK yang menurut staf ahli bidang hukum gubernur, Rasyid Thalib disandarkan pada Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang percepatan pemberantasan illegal logging kurang tepat.
Dalam kacamata Brant, pemanfaatan ebony tebangan lama, tidak bisa dikategorikan illegal logging. Pengertian illegal logging adalah perambahan hutan dengan cara melakukan penebangan, baik dilakukan rakyat atau perusahaan tanpa izin. “Kayu ebony sebagaimana surat Menhut No. S.140/Menhut-VI/2009 Tanggal 3 Maret 2009 adalah tebangan lama. Jelas bukan hasil perambahan saat SK Gubernur dibuat. Kayu itu lebih tepat sebagai temuan dan miliki negara, olehnya harus dilelang,” katanya.
Direktur Lembaga Informasi Pembagunan dan Keuangan daerah (Lipkada) andi Ridwan, menguatkan pernyataan Brant. Menurut Andi, istilah tebangan lama eks HPH telah berakhir tahun 1988 sebagaimana SK Dirjen Perlindungan Hutan No.114/kpts/IV-TIB/88.
“Berdasarkan SK Menhut No. 31/KPTS/IV/86, jelas dilarang melakukan penebangan kayu ebony, khususnya di Sulteng. SK itu dikuatkan lagi dengan SK Menhut No. 950/IV-TPHH/90,” terang Andi Ridwan.
Berdasarkan aturan tersebut, seharusnya tidak ada lagi penebangan ebony di Sulteng. Namun faktanya masih ada ribuan kubik ebony tebangan. Hal itu mengindikasikan, ada praktik illegal logging kayu ebony di Sulteng. “Berdasarkan UU No. 41/1999 tentang kehutanan, siapapun yang menebang tanpa izin, melanggar hukum. Jika SK Gubernur tentang penunjukan PD Sulteng untuk tataniaga ebony, membenarkan pembelian ebony, berarti telah melanggar UU kehutanan,” terang Andi.
Saat ini lanjut Andi, Lipkada telah menyelesaikan kajian hukum atas tataniaga ebony di Sulteng. Pekan ini Divisi Hukum Lipkada akan ke Jakarta, melaporkan dugaan pelanggaran hukum tataniaga ebony di Sulteng ke KPK. “Jika kuota 2.400 kubik dilelang dengan harga Rp20 juta/kubik, dihasilkan Rp48 miliar. Artinya dari tataniaga saat ini, daerah dirugikan Rp48 miliar. Kami akan laporkan ke KPK,” tegas Andi. TMU/STY
“Kita akan lihat nanti hasil Panitia Khusus (Pansus) yang dibentuk untuk menelusuri tataniaga ebony dan keuangan PD Sulteng secara umum. Jika benar, kita sampaikan benar. Jika melanggar hukum, kita akan rekomendasikan untuk ditindak secara hukum,” ujar Zaenal Daud.
Ada beberapa hal yang janggal dan patut ditelusuri dari kinerja PD Sulteng terkait tataniaga ebony. Diungkapkan Zaenal, rapat mitra Komisi II yang dihadiri PD Sulteng bulan Februari, dilaporkan realisasi tataniaga ebony 1800 kubik. Dikemudian hari laporan tersebut dibantah dan diklarifikasi, hanya 1.089,5 kubik. “Kedua, PD Sulteng menagku telah menyetor dana sumbangan pihak ketiga dari tataniaga ebony sekira Rp2 miliar, faktanya data APBD menyebutkan kontribusi penerimaan daerah dari PD Sulteng hanya Rp700 juta,” papar Zaenal.
Kapan Pansus mulai bekerja? “Kita tunggu SK dari Ketua Deprov. Saya tidak tahu masuk atau tidak, tapi saya akan sampaikan agar pansus bekerja secara profesional dan transparan. Rapat-rapatnya harus terbuka hingga wartawan dan yang lain bisa mengawasi,” tegasnya.
Terpisah, Pemegang Kas Daerah Provinsi Sulteng, Rudy Dewanto membenarkan statemen Anggota Deprov Sulteng bahwa setoran PD Sulteng sumbangan pihak ketiga untuk tataniaga ebony pada 2009, ke instansinya sebesar Rp700 juta.
“Sama dengan yang disebutkan dalam berita bahwa setoran PD Sulteng, adalah Rp700 juta. Itu pun bukan dalam bentuk uang tunai, hanya dalam bentuk bukti dari setoran PD Sulteng, kepada bank tertentu,” katanya, saat dikonfirmasi, kemarin (20/4/2010).
Menurutnya, bukti setoran tersebut, selain diberikan kepada Kas Daerah juga ditembuskan ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Sulteng, agar kedua lembaga pemerintah itu saling melakukan kroscek pada jumlah dana yang disetorkan.
Dia menambahkan, pada tahun ini, PD Sulteng juga menyetor sejumlah dana kepada Kas Daerah. Namun, jumlah setoran PD Sulteng tahun ini secara pasti, belum diketahuinya.
“Berkas-berkas setoran sangat banyak, saya lupa jumlah setoran PD Sulteng untuk 2010, yang pasti ada setoran baru,” tukasnya.
GUBERNUR KELIRU
SK Gubernur No. 522.21/107/Ro.Huk/2009 tentang Penunjukan PD Sulteng untuk Mengkoordinir Pemanfaatan Kayu Ebony Eks Tebangan Lama/Rakyat di Sulteng dinilai anggota Komisi I, Huisman Brant Toripalu keliru. SK yang menurut staf ahli bidang hukum gubernur, Rasyid Thalib disandarkan pada Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang percepatan pemberantasan illegal logging kurang tepat.
Dalam kacamata Brant, pemanfaatan ebony tebangan lama, tidak bisa dikategorikan illegal logging. Pengertian illegal logging adalah perambahan hutan dengan cara melakukan penebangan, baik dilakukan rakyat atau perusahaan tanpa izin. “Kayu ebony sebagaimana surat Menhut No. S.140/Menhut-VI/2009 Tanggal 3 Maret 2009 adalah tebangan lama. Jelas bukan hasil perambahan saat SK Gubernur dibuat. Kayu itu lebih tepat sebagai temuan dan miliki negara, olehnya harus dilelang,” katanya.
Direktur Lembaga Informasi Pembagunan dan Keuangan daerah (Lipkada) andi Ridwan, menguatkan pernyataan Brant. Menurut Andi, istilah tebangan lama eks HPH telah berakhir tahun 1988 sebagaimana SK Dirjen Perlindungan Hutan No.114/kpts/IV-TIB/88.
“Berdasarkan SK Menhut No. 31/KPTS/IV/86, jelas dilarang melakukan penebangan kayu ebony, khususnya di Sulteng. SK itu dikuatkan lagi dengan SK Menhut No. 950/IV-TPHH/90,” terang Andi Ridwan.
Berdasarkan aturan tersebut, seharusnya tidak ada lagi penebangan ebony di Sulteng. Namun faktanya masih ada ribuan kubik ebony tebangan. Hal itu mengindikasikan, ada praktik illegal logging kayu ebony di Sulteng. “Berdasarkan UU No. 41/1999 tentang kehutanan, siapapun yang menebang tanpa izin, melanggar hukum. Jika SK Gubernur tentang penunjukan PD Sulteng untuk tataniaga ebony, membenarkan pembelian ebony, berarti telah melanggar UU kehutanan,” terang Andi.
Saat ini lanjut Andi, Lipkada telah menyelesaikan kajian hukum atas tataniaga ebony di Sulteng. Pekan ini Divisi Hukum Lipkada akan ke Jakarta, melaporkan dugaan pelanggaran hukum tataniaga ebony di Sulteng ke KPK. “Jika kuota 2.400 kubik dilelang dengan harga Rp20 juta/kubik, dihasilkan Rp48 miliar. Artinya dari tataniaga saat ini, daerah dirugikan Rp48 miliar. Kami akan laporkan ke KPK,” tegas Andi. TMU/STY
Komentar
Posting Komentar