Kasus Maria dan Susanti; Potret Minimnya Lapangan Kerja di Sulteng
SEBULAN terakhir, masyarakat Sulteng dikejutkan berita dua tenaga kerja wanita (Nakerwan) asal Palu yang disiksa dan tidak digaji oleh majikannya di luar negeri. Nakerwan pertama adalah Maria asal Pesaku kabupaten Sigi, terpaksa pulang dari Malaysia dan kedua Susanti warga Duyu Kota Palu, pulang dengan kaki patah setelah disiksa majikannya di Yordania.
Maria dan Susanti merupakan dua dari sekian banyak warga Sulteng yang memimpikan hidup sejahtera, dengan menjajal kerja di luar negeri. Keduanya mewakili pemikiran banyak orang, kerja di luar negeri lebih menjanjikan secara finansial dibanding kerja di Sulteng. Maria dan Susanti, bisa jadi merupakan gambaran utuh dari kondisi ketenagakerjaan Sulteng, dimana pengangguran masih cukup tinggi dan potensi lapangan kerja dengan tingkat pendapatan tinggi relatif kecil.
Menyimak data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng tahun 2009, angkatan kerja di Sulteng pada Agustus 2009 mencapai 1.215.727 orang. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya (2008) yang mencapai 1.196.988 orang. Terjadi kenaikan 18.739 orang.
Penduduk yang bekerja pada Agustus 2009 bertambah 18.012 orang dibandingkan keadaan Agustus 2008 yaitu dari 1.131.706 orang. Tahun 2009 menjadi 1.149.718 orang. Penduduk laki-laki yang bekerja bertambah sebanyak 16.845, namun perempuan hanya 1.167 orang. Pada Agustus 2009 terjadi sedikit peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 727 orang dibandingkan Agustus 2008 yaitu tercatat dari 65.282 orang menjadi 66.009 orang pada Agustus 2009.
Masih berdasarkan data BPS, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sulteng pada Agustus 2009 mencapai 69,27 persen, turun dibandingkan Agustus 2008 yang tercatat sebesar 69,76 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulteng pada Agustus 2009 sebesar 5,43 persen, lebih kecil dibandingkan Agustus 2008 yang besarnya 5,45 persen. Untuk kabupaten/kota se Sulteng pada Agustus 2009, TPT tertinggi terjadi di Kota Palu sebesar 12,82 persen, sedangkan pada Agustus 2008 yang lalu sebesar 8,30 persen. Kabupaten Donggala merupakan kabupaten dengan TPT terendah di Provinsi Sulteng yaitu 3,39 persen pada Agustus 2009, masih lebih rendah dari TPT Agustus 2008 yaitu 4,79 persen.
LAPANGAN KERJA
Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian menempati urutan teratas dalam penyerapan tenaga kerja pada Agustus 2009 yaitu sebesar 59,12 persen. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 59,30 persen. Sedangkan sektor keuangan dan jasa perusahaan menempati urutan terbawah dalam penyerapan tenaga kerja, sebesar 0,58 persen.
Persentase penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan utama baik berusaha sendiri maupun dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar merupakan yang terbesar di Provinsi Sulteng pada Agustus 2009 mencapai 46,89 persen. Persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan pada Agustus 2009 tercatat hanya 18,91 persen.
Mencermati data diatas, lapangan kerja terbesar adalah sektor pertanian, yang terkonsentrasi di pedesaan-pedesaan. Dalam beberapa kesempatan Gubernur HB Paliudju dalam beberapa kesempatan mengatakan, penduduk miskin Sulteng, terkonsentrasi sebagian besar di pedesaan baik secara absolut maupun relatif dengan persentase 85,50 persen di pedesaan dan 14,50 persen di perkotaan. Tahun 2009 angka kemiskinan Sulteng mencapai 349 ribu jiwa, turun dari tahun 2008 yang mencapai 524.700 jiwa. “Hampir tiap tahun angka kemiskinan turun 2 persen,” ujar Gubernur dalam pidato pengantar nota keuangan APBD 2010, akhir tahun lalu.
Faktor penyebab kemiskinan antara lain, sikap dan kebiasaan hidup tidak produktif, rendahnya tingkat pendidikan dan derajat kesehatan. Kemudian ada juga yang disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja, kalah persaingan dalam kegiatan ekonomi hingga terbatasnya akses terhadap modal dan pasar. Selain itu terbatasnya kapasitas wilayah serta maupun dukungan sistem dan kelembagaan sosial hingga ekonomi dan politik.
Dari data BPS dan pernyataan Gubernur HB Palidju, dapat ditarik benang merah, jika sektor pertanian sebagai lapangan kerja terbesar di Sulteng belum bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Wajar, jika banyak warga Sulteng yang kemudian mencari pekerjaan alternatif diluar pertanian, baik di dalam daerah maupun migran ke luar daerah dan ke luar negeri.
Sayangnya, kondisi laju pertumbuhan tenaga kerja tidak seimbang dengan laju penciptaan lapangan kerja, sehingga jumlah pencari kerja terus meningkat. Disamping itu lapangan kerja yang tersedia tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang tersedia, sedang sektor pendidikan belum sepenuhnya relevan menghasilkan tenaga yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.
Dari sisi pendapatan, lapngan kerja di sulteng juga kurang menjanjikan. Tahun 2009 upah minimum provinsi (UMP) Rp725 ribu dan tahun 2010 naik menjadi Rp777.500. Pendapatan ini jika dibandingkan upah kerja di luar negeri, relatif kecil. Belum lagi masih banyak perusahaan di Sulteng yang belum memberlakukan UPM pada tenagakerjanya.
Masih tingginya angka kemiskinan, rendahnya tingkat pendapatan dan laju penciptaan lapangan kerja yang lemah, pada akhirnya menggiring sebagian warga Sulteng menjadi tenaga kerja migran di luar negeri, meski pada kenyataanya perlindungan tenaga kerja di luar negeri rapuh dan upah tinggi yang diharapkan juga tidak sepenuhnya terwujud.
Pada akhirnya, kasus Maria dan Susanti menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Sulteng untuk menciptakan lapangan kerja yang baik bagi masyarakat. Bukankah Sulteng memiliki sumberdaya alam (SDA) yang melimpah dan berpotensi digarap secara mandiri oleh daerah dan masyarakat Sulteng?. Sudah saatnya berlaku pepatah ‘Lebih baik hujan emas di negeri sendiri daripada hujan batu di negeri orang’, bukan sebaliknya ‘Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang’. ***
Maria dan Susanti merupakan dua dari sekian banyak warga Sulteng yang memimpikan hidup sejahtera, dengan menjajal kerja di luar negeri. Keduanya mewakili pemikiran banyak orang, kerja di luar negeri lebih menjanjikan secara finansial dibanding kerja di Sulteng. Maria dan Susanti, bisa jadi merupakan gambaran utuh dari kondisi ketenagakerjaan Sulteng, dimana pengangguran masih cukup tinggi dan potensi lapangan kerja dengan tingkat pendapatan tinggi relatif kecil.
Menyimak data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng tahun 2009, angkatan kerja di Sulteng pada Agustus 2009 mencapai 1.215.727 orang. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya (2008) yang mencapai 1.196.988 orang. Terjadi kenaikan 18.739 orang.
Penduduk yang bekerja pada Agustus 2009 bertambah 18.012 orang dibandingkan keadaan Agustus 2008 yaitu dari 1.131.706 orang. Tahun 2009 menjadi 1.149.718 orang. Penduduk laki-laki yang bekerja bertambah sebanyak 16.845, namun perempuan hanya 1.167 orang. Pada Agustus 2009 terjadi sedikit peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 727 orang dibandingkan Agustus 2008 yaitu tercatat dari 65.282 orang menjadi 66.009 orang pada Agustus 2009.
Masih berdasarkan data BPS, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sulteng pada Agustus 2009 mencapai 69,27 persen, turun dibandingkan Agustus 2008 yang tercatat sebesar 69,76 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulteng pada Agustus 2009 sebesar 5,43 persen, lebih kecil dibandingkan Agustus 2008 yang besarnya 5,45 persen. Untuk kabupaten/kota se Sulteng pada Agustus 2009, TPT tertinggi terjadi di Kota Palu sebesar 12,82 persen, sedangkan pada Agustus 2008 yang lalu sebesar 8,30 persen. Kabupaten Donggala merupakan kabupaten dengan TPT terendah di Provinsi Sulteng yaitu 3,39 persen pada Agustus 2009, masih lebih rendah dari TPT Agustus 2008 yaitu 4,79 persen.
LAPANGAN KERJA
Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian menempati urutan teratas dalam penyerapan tenaga kerja pada Agustus 2009 yaitu sebesar 59,12 persen. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 59,30 persen. Sedangkan sektor keuangan dan jasa perusahaan menempati urutan terbawah dalam penyerapan tenaga kerja, sebesar 0,58 persen.
Persentase penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan utama baik berusaha sendiri maupun dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar merupakan yang terbesar di Provinsi Sulteng pada Agustus 2009 mencapai 46,89 persen. Persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan pada Agustus 2009 tercatat hanya 18,91 persen.
Mencermati data diatas, lapangan kerja terbesar adalah sektor pertanian, yang terkonsentrasi di pedesaan-pedesaan. Dalam beberapa kesempatan Gubernur HB Paliudju dalam beberapa kesempatan mengatakan, penduduk miskin Sulteng, terkonsentrasi sebagian besar di pedesaan baik secara absolut maupun relatif dengan persentase 85,50 persen di pedesaan dan 14,50 persen di perkotaan. Tahun 2009 angka kemiskinan Sulteng mencapai 349 ribu jiwa, turun dari tahun 2008 yang mencapai 524.700 jiwa. “Hampir tiap tahun angka kemiskinan turun 2 persen,” ujar Gubernur dalam pidato pengantar nota keuangan APBD 2010, akhir tahun lalu.
Faktor penyebab kemiskinan antara lain, sikap dan kebiasaan hidup tidak produktif, rendahnya tingkat pendidikan dan derajat kesehatan. Kemudian ada juga yang disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja, kalah persaingan dalam kegiatan ekonomi hingga terbatasnya akses terhadap modal dan pasar. Selain itu terbatasnya kapasitas wilayah serta maupun dukungan sistem dan kelembagaan sosial hingga ekonomi dan politik.
Dari data BPS dan pernyataan Gubernur HB Palidju, dapat ditarik benang merah, jika sektor pertanian sebagai lapangan kerja terbesar di Sulteng belum bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Wajar, jika banyak warga Sulteng yang kemudian mencari pekerjaan alternatif diluar pertanian, baik di dalam daerah maupun migran ke luar daerah dan ke luar negeri.
Sayangnya, kondisi laju pertumbuhan tenaga kerja tidak seimbang dengan laju penciptaan lapangan kerja, sehingga jumlah pencari kerja terus meningkat. Disamping itu lapangan kerja yang tersedia tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang tersedia, sedang sektor pendidikan belum sepenuhnya relevan menghasilkan tenaga yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.
Dari sisi pendapatan, lapngan kerja di sulteng juga kurang menjanjikan. Tahun 2009 upah minimum provinsi (UMP) Rp725 ribu dan tahun 2010 naik menjadi Rp777.500. Pendapatan ini jika dibandingkan upah kerja di luar negeri, relatif kecil. Belum lagi masih banyak perusahaan di Sulteng yang belum memberlakukan UPM pada tenagakerjanya.
Masih tingginya angka kemiskinan, rendahnya tingkat pendapatan dan laju penciptaan lapangan kerja yang lemah, pada akhirnya menggiring sebagian warga Sulteng menjadi tenaga kerja migran di luar negeri, meski pada kenyataanya perlindungan tenaga kerja di luar negeri rapuh dan upah tinggi yang diharapkan juga tidak sepenuhnya terwujud.
Pada akhirnya, kasus Maria dan Susanti menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Sulteng untuk menciptakan lapangan kerja yang baik bagi masyarakat. Bukankah Sulteng memiliki sumberdaya alam (SDA) yang melimpah dan berpotensi digarap secara mandiri oleh daerah dan masyarakat Sulteng?. Sudah saatnya berlaku pepatah ‘Lebih baik hujan emas di negeri sendiri daripada hujan batu di negeri orang’, bukan sebaliknya ‘Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang’. ***
tulisannya saya kutip di Blogku yah,,tetap saya tulis sumber aslinya, bukan plagiat.
BalasHapussoalnya tulisan ini bagus, menyentuh banget